Megu Moong Nian Tana: Mewisata Sambil Mengedukasi (3/Habis)

Saudaraku, sekarang, tibalah kita pada bagian pamungkas seri artikel ini. Komunitas Megu Moong Nian Tana mau, API di Teluk Maumere tetap menyala.

Bagaimana mereka menyalakannya? Apa kekhasan yang mereka tawarkan?

Pagi itu, saya menjadi salah satu manusia beruntung karena boleh nikmati trip perdana ke Pulau Babi dan Pulau Pangabatang. Berbekalkan kartu pers di dada, saya boleh nikmati trip seharga Rp150 ribu per/orang ini dengan gratis.

Pangabatang dan Babi terlalu indah untuk ditulis hanya dalam selembar kertas koran. Biarlah kisah ini saya fokuskan pada perihal soal di bawah ini.        

Sesudah selama seharian menjelajahi Pulau Babi dan Pulau Pangabatang di Teluk Maumere, saya temukan minimal tiga (3) kekhasan Komunitas Megu Moong Nian Tana selaku organizer.

iklan

Pertama, komunitas menjadikan para wisatawan sebagai keluarga dan sama saudara. “Kita adalah satu keluarga,” kata Elis, Koordinator Komunitas Megu Moong Nian Tana saat beri briefing peserta tur.

Kalimat itu bukan sekadar kata-kata. Paling kurang bagi diri saya sendiri. Saya sungguh alami suasana kekeluargaan dan persaudaraan di sini.

Tak butuh waktu lama, saya sudah kenal sebagian besar peserta tur dengan segala macam kepribadian mereka yang unik-unik. Ada ABG, para siswi sekolah kejuruan yang sedang praktik di Floressa Wisata.

Ada Arista, seorang gadis manis yang suka berpetualang dan menulis. Ada teman-teman yang sangat energik dari Maumere Diving Community (MDC). Ada Du’a Sonya da Gama yang paham betul soal tenun ikat Flores dan juga politik di tanah air.

Dan masih banyak lagi sama saudaraku lainnya yang kalau semua ditulis, ruang ini tidak akan sanggup menampungnya. Singkat cerita, Saudara akan alami komunitas ini sebagai “rumah.”

Kedua, komunitas terapkan standar pelayanan turisme bertaraf internasional. Manusia adalah yang pertama dan terutama.

Oleh karena itu, komunitas memastikan ketersediaan perlengkapan keselamatan diri seperti P3K, life jacket, peralatan snorkelling, pelampung, power bank, radio/orari, pluit, senter, korek api, air bersih, dan terpal.

Selain perlengkapan, komunitas juga tetapkan beberapa persyaratan standard safety seperti memastikan seluruh peserta masuk ke dalam daftar manifes peserta dan memastikan kapal atau boat dalam kondisi baik atau layak pakai.

Selain itu, jumlah peserta dalam boat maksimal ½ dari kapasitas boat. Dengan kata lain, jumlah peserta tidak boleh sampai memenuhi boat. Pengemudi boat tidak dalam keadaan mabuk. Bahan bakar menyala (BBM) boat terisi penuh.

Komunitas juga menggunakan guide yang profesional di bidangnya. Dalam trip perdana kali ini, komunitas pakai jasa guide dari teman-teman MDC.

“Kami terapkan standar yang tinggi. Dengan demikian, kalau komunitas lain mau ikut seperti yang kami lakukan, maka mereka minimal penuhi standar tinggi yang telah kami tetapkan,” ungkap Elis.

Ketiga, komunitas kembangkan model pariwasata berbasis edukasi. Tagline mereka “Berwisata Sambil Beredukasi.”

Tetiba kami di Pulau Babi, Mbak Cucun Suryana mengarahkan para wisatawan untuk membersihkan sampah di sekitar pantai. 15 menit berlalu. 1 ½ karung sampah berhasil dikumpulkan.

“Tidak semua sampah kita ambil. Hanya sampah yang tidak bisa terurai seperti plastik, botol, kertas, dan lain-lain. Sampah dedaunan tidak perlu diambil,” kata Mbak Cucun.

Inilah program clean up yang menjadi salah satu kekhasan komunitas. Para wisawatan tidak hanya diajak untuk mencumbu alam Teluk Maumere yang indah, tetapi juga diedukasi untuk memeliharanya.

Filosofinya sederhana. “Secakap-cakapnya seseorang, kalau tidak mandi tentu tidak cakap,” demikian perkataan Elis.

Alam sudah memberi kita keindahan dan kenikmatan. Kita wajib membalasnya dengan menjaga keindahan alam tersebut. Tiba di Maumere, sampah diserahkan ke Mbak Susilowati, Pengasuh Bank Sampah yang tinggal di Lokaria. Di tangan Mbak Susi ini, sampah akan didaur ulang menjadi komoditas yang layak jual.

Segala yang indah-indah sudah kita katakan. Sekarang, tiba saatnya kita memberi kritik. Saudari Elish memang teguh mengatakan bahwa bisnis bukanlah tujuan utama komunitas.

Akan tetapi, siapa yang bisa membantah kalau dikatakan pariwisata adalah salah satu bisnis yang paling menguntungkan di dunia?

Dahulu, pada tahun 1975, tiga orang Italia, yaitu Alessandra Ambrosini, Luciano L., dan Nicholeta Paterno merintis berdirinya Hotel Sea World Club (SWC) di Waiara.

SWC didirikan berkat rekomendasi pembukaan wilayah marine resort oleh Laksamana Soedomo, Ketua Persatuan Olahraga Air Seluruh Indonesia (PORASI) sekaligus Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib).

Hotel SWC adalah salah satu fasilitas untuk menunjang keberadaan resort pariwisata di perairan Teluk Maumere.

Hingga sekarang, Hotel SWC setia membayar pajak penghasilan kepada Pemda Sikka. Hotel SWC yang berada di ambang kebangkrutan kemudian diambil alih oleh Pater Heinrich Bolen, SVD melalui Yayasan pembangunan (Yaspem).

Promosi keindahan alam Teluk Maumere terus dilakukan. Misalnya, Biro Perjalanan “Sa’o Wisata” besutan Mantan Menteri Frans Seda pernah membuat program Under Water Festival dan lomba foto taman bawah laut bertaraf internasional.

Artinya apa?

Pertama, sebelum Komunitas Megu Moong Nian Tana, sudah ada banyak pihak baik individu maupun organisasi yang sudah berjuang mempromosikan pariwisata di Nian Tana Sikka, terutama di Gugus Pulau Flores Teluk Maumere.

Dari luar negeri sampai putra daerah Sikka sendiri. Komunitas perlu belajar dari keberhasilan dan kegagalan perjuangan para perintis terdahulu.   

Kedua, menurut Bodewin da Gama, Pensiunan Dinas Pariwisata Kabupaten Sikka, apa yang sudah dimulai oleh Komunitas Megu Moong Nian Tana sudah bagus. Akan tetapi, dari aspek legalitas, komunitas perlu memperjuangkannya di Dinas Pariwisata.

Dengan demikian, status hukum komunitas menjadi jelas. Program komunitas pun bisa mendapatkan dukungan finansial dari pemerintah. Selain bisa menghidupi banyak orang dan diri sendiri, komunitas bisa beri sesuatu untuk tambahan penghasilan asli daerah (PAD) Kabupaten Sikka.

TERKINI
BACA JUGA