Maumere, Ekorantt.com – Wolomotong merupakan nama salah satu desa di Kecamatan Doreng, bagian selatan Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur. Letaknya yang memang jauh di pedalaman dengan teksur topografi berupa lembah, lereng juga hutan lebat membuat kebanyakan warga desa ini berprofesi sebagai petani. Hasil-hasil buminya pun berupa kopi, cengkih, vanili, kelapa, jagung dan kakao.
Namun tentu tak hanya itu. Wolomotong sebagai kampung juga memiliki beberapa benda yang dikultuskan sebagai bagian dari ritus adat masyarakat setempat. Benda-benda ini dianggap punya pengaruh dan menjadi aspek esensial bagi perjalanan hidup orang-orang Wolomotong.
Salah satunya adalah watu mahe; batu menhir zaman megalitikum yang memiliki beberapa varian bentuk. Ada yang melonjong, datar, pipih, ada juga yang bulat dan melengkung tajam.
Rata-rata semua suku yang menetap di Wolomotong memiliki watu mahe-nya masing-masing. Suku-suku itu adalah Wodon, Utapara, Keytimu, Mana, Lio, Buang Baling, Sogelaka dan Weweniur.
Dan untuk konteks Kabupaten Sikka sendiri, berkenaan dengan keberadaan suku-suku tadi, Wolomotong memberikan keunikan tersendiri. Musababnya, ia menjadi salah satu kampung yang di dalamnya terdapat banyak suku. Biasanya, satu kampung hanya punya satu rumpun suku saja.
Barangkali karena tiap suku punya mahe-nya sendiri-sendiri, tidak berlebihan jika orang-orang Wolomotong memberi julukan kampung mereka sebagai “Negeri Seribu Mahe”.
Saya mendapatkan informasi lebih jauh soal watu mahe ini tatkala mengikuti ritus Lodo Kusang yang berlangsung dalam suku Keytimu pada tanggal 19 Februari 2019.
Ritus Lodo Kusang ini berkaitan dengan penghantaran arwah orang yang telah meninggal dunia ke tempat peristirahatan terakhir. Dan, tempat peristirahatan terakhir ini, menurut kepercayaan masyarakat di situ, tidak lain, tidak bukan, adalah watu mahe tersebut.
Dalam amatan saya, ada proses panjang sebelum arwah dihantar ke watu mahe. Misalnya, arwah itu harus diberi makan terlebih dahulu dengan rangkaian ritusnya. Juga didoakan agar terlepas dari hal-hal duniawi sehingga dapat menikmati kebahagiaan kekal.
Tentu saja, dalam rangkaian itu, berkunjung ke watu mahe memang menjadi kewajiban yang tak boleh terelakkan. Menurut Klemens Sawan (70), Ketua Adat masyarakat Wolomotong, menyambangi watu mahe berarti meminta restu agar laku suasana yang terjadi bisa berjalan lancar dan kondusif. “Semuanya harus kembali ke mereka (leluhur),” tutur dia.
Toh secara lebih khusus, watu mahe bagi orang-orang Wolomotong dianggap sebagai lambang kebesaran Du’a Moan Watu Pitu. Du’a Moan Watu Pitu ini adalah sosok yang punya peran penting dalam tatanan kehidupan masyarakat. Mereka menjadi representasi wujud ibu dan bapak yang melahirkan leluhur orang-orang Wolomotong.
Masih menurut Klemens, nenek moyang merekalah yang kemudian membuat watu-watu mahe itu sebagai tempat persemayaman Du’a Moan Watu Pitu.
“Makanya, watu mahe sungguh dilihat sebagai tempat sakral dan tidak digunakan sembarangan. Hanya untuk upacara-upacara tertentu yang dianggap penting saja. Salah satunya, penghantaran arwah atau ritus Lodo Kusang tadi,” tutur dia.
Selain itu, upacara-upacara lain yang dapat juga dilakukan di area watu mahe, yaitu minta hujan, syukuran panen, dan pada zaman dahulu kala, mohon restu sebelum turun perang.
Hanya saja, sejauh perhatian saya, beberapa watu mahe di Wolomotong itu telah mengalami pemugaran dan memiliki pagar pembatasnya. Namun, Klemens Sawan bilang bahwa rehabilitasi itu dibuat tanpa menghilangkan wujud aslinya, apalagi sampai harus dipindahkan. Itu sudah pasti memakan korban jiwa dan kalaupun hendak dipindahkan, semuanya mesti melewati proses adat yang panjang, demikian tambahnya.
Adapun tanah atau lokasi di mana watu mahe itu berada disebut wisung. Wisung menjadi spesial, sebab berdasarkan kesepakatan masyarakat adat Wolomotong, lokasinya tak dibuatkan sertifikat tanah, dalam artian kepemilikan orang perorangan.
Dengan demikian, wisung menjadi milik seluruh anggota suku yang kemudian bertanggung jawab penuh atas isi di dalamnya. Barangkali tak mengherankan bila di sekitaran watu mahe berdiri rumah-rumah penduduk. Sebagai simbol bahwa masyarakat pun secara lahiriah sungguh-sungguh menjaga eksistensi watu mahe itu.
Watu mahe memang tidak sembarangan digunakan. Ketika ada orang yang mendekati watu mahe, itu berarti ada urusan penting yang hendak dilakukan. Apabila tidak, musibah fatal bisa saja datang melanda.
Di Wolomotong, hanya suku dari mahe itulah yang boleh masuk ke dalam lingkaran wisung. Jika ingin diselenggarakan acara adat, kepala suku atau pemangku adat wajib dilibatkan. Mereka-mereka yang terlibat ini dikenal sebagai orang Tana Puan (tuan tanah).
Misalnya, dalam ritus Lodo Kusang tadi, yang boleh masuk ke dalam pagar pembatas watu mahe adalah orang-orang dari suku Keytimu saja bersama ketua adat. Sementara masyarakat umum ataupun kelompok suku lainnya hanya bisa menyaksikan dari area luar saja.
Pada akhirnya, kekayaan ataupun keunikan adat/budaya/alam semacam itu tentu merupakan hal yang baik dan istimewa. Ia bisa memberikan pantulan kepada kita manusia untuk senantiasa melihat diri di semesta yang mahaluas ini.