Agama dan Bahaya Privatisasi Iman

Oleh

Pater Dr. Otto Gusti Nd. Madung, SVD*

Ketika agama direduksi kepada ritualisme atau dokrin kosong minus keterlibatan sosial dan perjuangan untuk masyarakat terpinggirkan, agama-agama sibuk mengejar kuasa kesalehan dalam selubung terminologi penodaan agama dan lain-lain.

Kondisi masyarakat post-sekular merupakan peluang bagi agama-agama dan terutama Gereja dalam menjawabi kecenderungan sekularisme dan masyarakat modern yang mendomestifikasi agama atau bahkan Allah di ruang privat. Allah yang dikurung di ruang privat adalah Allah yang tidak diberi kemungkinan untuk mengganggu atau menggugat kemapanan dan kenyamanan pribadi. Di sini, beriman atau hidup menggereja dipandang sebagai urusan personal semata tanpa memperhatikan relevansi sosio-politis.

Spiritualitas direduksi menjadi kesalehan ritualistik personal minus keterlibatan dan pertanggungjawaban sosial. Maka, fenomena paradoksal berikut pun bermunculan dan tak terlalu mengherankan: rajin beribadah dan pada saat yang sama korup, ziarah ke tanah suci atau memberikan sumbangan untuk pembangunan rumah ibadat dengan menggunakan uang hasil korupsi atau keuntungan usaha tambang tanpa NWPP dan yang merusak lingkungan hidup.

iklan

Gereja atau agama akhirnya tak lebih dari obat penghibur batin seperti ditulis teolog J.B. Metz: “Agama seperti ini tidak lebih dari sekadar nama untuk impian akan kebahagiaan tanpa penderitaan, obsesi mistis jiwa atau khayalan psikologis-estetis tentang ketidakbernodaan manusia.”

Hal senada juga diserukan oleh Paus Fransiskus untuk umat Katolik sejagad dalam seruan apostolik berjudul Evangelii Gaudium. Paus menekankan pentingnya aspek politis dan keterlibatan sosial dari iman. Keterlibatan tersebut harus lahir dari relasi pribadi dengan Allah yang diperoleh dari hidup doa.

Tentang pentingnya hidup doa, Paus Fransiskus menulis, “Gereja sungguh-sungguh membutuhkan nafas doa yang dalam, dan saya sungguh bersukacita karena di semua lembaga Gereja berkembanglah kelompok-kelompok doa, kelompok-kelompok para pemohon, kelompok-kelompok pembaca sabda Allah dalam suasana doa dan adorasi abadi Ekaristi.”

Akan tetapi doa hanyalah satu aspek dari kehidupan spiritual. Dia harus diwujudnyatakan dalam tindakan kasih.

“Selalu ada risiko bahwa saat-saat doa bisa menjadi alasan untuk tidak mempersembahkan hidup pribadi bagi perutusan. Gaya hidup yang menekankan lingkup privat dapat mendorong umat kristiani untuk lari ke dalam spiritualitas palsu.”

Hidup doa tanpa tindakan kasih dan keterlibatan sosial adalah sebuah bentuk pelarian. Karena itu, Paus menggarisbawahi pentingnya aspek politis iman. Politik dalam arti perjuangan untuk mewujudkan Kerajaan Allah yang membebaskan.

Gereja tidak boleh menarik diri dari dunia, tetapi harus masuk ke tengah dunia. Gereja harus menjadi Gereja misioner. Itu berarti, Gereja harus mewartakan Sabda Allah yang membebaskan. Ia harus mampu mendengarkan jeritan para tawanan, menyembuhkan yang sakit, mengadvokasi para korban yang dirampas hak-haknya, dan menurunkan semua yang congkak dari singgasana kekuasaan termasuk singgasana imperium ekonomi yang dibangun di atas piramida kurban manusia.

Gereja yang misioner dan terlibat memiliki basis teologis pada peristiwa inkarnasi, peristiwa Allah menjadi manusia dan mengambil bagian dalam sejarah hidup manusia. Dalam peristiwa inkarnasi, Allah menunjukkan radikalitas solidaritasNya dengan manusia dan terutama dengan orang-orang miskin dan para korban yang terpinggirkan. Ia meninggalkan kebesaran dan masuk ke dalam kerapuhan sejarah manusia yang fana. Keterlibatan Allah dalam sejarah manusia bertujuan untuk mengangkat martabat manusia dan memancarkan sinar pengharapan.

Dimensi politis iman berakar pada solidaritas Allah dalam diri Yesus. Solidaritas ini harus menjadi basis solidaritas Gereja terhadap kaum miskin. Kaum miskin dan terpinggirkan mendapat prioritas bukan karena mereka benar, tetapi karena mereka menderita. Secara etis, yang menderita sudah sepatutnya mendapat perhatian khusus.

Paus Fransiskus menekankan pentingnya keberpihakan Gereja untuk orang-orang miskin. Bukan saja karena orang-orang miskin membutuhkan bantuan, tetapi juga terutama karena orang-orang miskin mampu menobatkan Gereja dari Gereja yang triumfalistik menuju Gereja yang melayani dan dialogal. Oleh karena itu, bagi Gereja, orang miskin pada tempat pertama merupakan sebuah kategori teologis, baru pada tahap berikutnya dipandang sebagai kategori sosiologis dan politis.

“Karena itu, saya mencita-citakan sebuah Gereja yang miskin untuk orang-orang miskin.”

Setiap komunitas dalam Gereja yang melupakan kaum miskin akan berada dalam bahaya menghancurkan dirinya sendiri. Sebab, tanpa keberpihakan pada kaum miskin, kegiatan religius tidak menghasilkan buah dan akan mabuk sempoyongan dalam candu spirituality of wellbeing.

*Pastor Katolik, Dosen Filsafat Politik di STFK Ledalero

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA