STFK Ledalero, Nama Besar, dan Bahaya Romantisme

Oleh

Romo Loius Jawa

Kebijaksanaan sejati hanya bisa diperoleh kalau mampu memeluk antara idealisme dan realisme. Yang idealis serentak realis. Jangan menjadi ‘budak idealisme’ dan ‘hamba realisme’.

(Paulus Budi Kleden dalam Misa Syukur Emas STFK Ledalero)

iklan

Gegap gempita malam pameran dan pementasan 50 tahun STFK Ledalero tetap membekas dalam ingatan. Ingatan itu mengental mesra dalam kenangan beberapa malam di bukit Ledalero yang masyhur dan terkenal itu. Malam itu, tergerus hasrat untuk terus bertahan mengalami kebahagiaan bersama para alumni STFK Ledalero, meski tak sebanyak yang diperkirakan.  Euforia bahagia pun semakin bergelora di tengah desakan berjubel umat. Betapa kegembiraan atas kiprah STFK itu pun patut dirayakan.

Seorang sahabat mengusik keindahan malam itu, “Pastor, pastinya 25 tahun lagi, perayaan lebih meriah lagi di bukit ini. Seabad saja begini, apalagi dua abad.”

Kata-kata itu terus mengusik pikiran di tengah pementasan dan pertunjukan, ketika menyaksikan bentangan sejarah dan profil STFK terurai lengkap. Begitu mengagumkan. Kami terus terus berbagi kisah.

Saat itu, pikiran ini berbisik dalam keramaian ,”sahabatku, jangan sampai 25 tahun lagi, perayaan malah tak semeriah ini. Saat gereja-gereja mulai sepi dan kosong. Saat umat menjadi lebih sekular dan mungkin tak peduli (apatis) lagi dengan pendidikan filsafat yang bernafaskan kekatolikan. Ketika gereja dan biara-biara kosong, dilepaskan dan dijual entah jadi apa – hotel, bar, atau gelanggang olahraga.”

Hentakan pemikiran ‘senakal’ atau ‘sekotor’ ini mungkin tak patut lahir di malam itu. Terasa aneh, mungkin. Namun, terjelma nyata dan pasti di tengah zaman yang akan selalu berkembang. Euforia kebahagiaan itu beriringan bersama sebuah peradaban yang semakin maju dan canggih, semakin dahsyat dan menakjubkan. Ada banyak identitas dan nama yang tercipta dalam kesatuan entitas seperti sekularisme, modernisme, dan humanisme universal.

Ibarat sebuah kereta, mengutip Antonny Giddens, bergerak sangat cepat, analogi kemajuan itu pun berkembang pesat tak terkendali. Bisa jadi, ada manusia yang ketinggalan kereta kemajuan.

“Tempusflugit.” Demikian adagium tua melukiskan waktu yang terbang begitu cepat dalam zaman. Ia tidak hanya terbang kosong, tetapi juga terbang bersama pengaruh-pengaruhnya. Zaman pun menghadirkan alternatif, menggugat takhta magis STFK Ledalero dan membungkam monolitik jalan kebenaran.

Hentakan Tsunami Peradaban

Tak mudah beriman di tengah geliat zaman yang semakin sekular, mendunia, dan mengental dalam tsunami peradaban. Dunia pernah dihentakkan oleh sebuah masa pencerahan, Aufklarung, ketika sebuah kesadaran kemanusiaan perlahan-lahan mempertanyakan iman dan terutama legitimasi institusi keagamaan. Gelombang kesadaran itu terus berpacu dalam sebuah revolusi betapa hidup beriman bukanlah satu-satunya dogma kemajuan.

Zaman bisa berkembang tanpa agama sekalipun. Tempat Tuhan Allah pun dapat digeser oleh sejuta perkembangan. Institusi Gereja pun mengalami betapa kerasnya kesadaran sejarah manusia dalam fase antitesis ini.

Perguliran perubahan cepat sudah dialami sejak peralihan sistem pertanian tradisional yang dikuasai pemilik hak ulayat dan warisan monarki. Getaran itu terus bergelora dalam perombakan sistem industri manual, kerja tangan menuju industri mesin. Tenaga kerja manusia digeser oleh mesin-mesin industri, yang bisa memproduksi secara lebih efektif dan efisien. Tsunami peradaban itu pun semakin mengental dalam arus cepat perubahan yang ditimbulkan oleh derap cepat revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Inosentius Sutam, Dosen Teologi STKIP Ruteng, menguraikan konsep tanda-tanda zaman dalam Konstitusi Gaudium et Spes. Inilah sebuah dokumen konsili yang menampung pelbagai masalah Gereja yang tidak tertampung dalam dokumen-dokumen yang lain, yakni roh sekular, roh demokrasi, kebebasan dan kemerdekaan dan roh persaingan yang mengarah pada konflik, kekerasan, dan perang.

Roh sekular sudah mulai muncul pada masa renaisans (akhir Abad Pertengahan). Ia berkembang di Barat didorong oleh kebudayaan yang berbasis IPTEK, komunisme, kapitalisme, kebudayaan pop, dan kebudayaan massa yang muncul di tahun 1960-an. Pada Abad Pertengahan, kekristenan adalah faktor yang mempersatukan semua peradaban. Gereja menjadi penguasa sosial dan budaya terbesar. Namun, di zaman yang semakin sekular, Gereja tidak lagi menjadi sumber harmoni bagi kebudayaan. Keberadaannya dipertanyakan.

Gagasan di atas diperkaya oleh pendapat Ignas Kleden dalam tulisannya “Globalisasi dan Implikasi Sosial Budaya”( 2000;18-25). Tulisan itu menunjukkan kekuatan globalisasi informasi. Pertama, mengecilnya ruang dan waktu (time space compression) yang membuka setiap isolasi. Kedua, batas-batas teritorial suatu Negara menjadi tidak relevan. Ketiga, gejala yang amat dahsyat pengaruhnya melalui era Cyberspace, yakni tidak relevannya kategori-kategori dalam social space atau ruang sosial. Ada banyak kemudahan yang terasa dan juga ada banyak efek penyalahgunaan kebebasan dalam kemajuan itu.

Selebrasi dan Bahaya Romantisme

Rangkaian perayaan emas STFK Ledalero tergolong akbar dan memukau. Rangkaian selebrasi kegembiraan teolog, filsuf dan kandidat-kandidatnya. Di tengah perhelatan akbar yang berpuncak dalam perayaan Ekaristi pada 8 September 2019, ada sebuah awasan paling penting agar tidak terjebak dalam selebrasi semata dan tenggelam dalam nama besar di masa lalu atau bahaya romantisisme berlebihan. Simposium internasional kurang lebih tiga hari, sungguh menghadirkan pesona intelektual dengan tepuk tangan membahana dari mahasiswa-mahasiswi STFK Ledalero.

Ketika teolog, misiolog, dan filsuf dari bukit Ledalero dengan retorika filosofisnya membius ribuan audiens, ada kritik pula pada orang-orang hebat itu. Apakah ide-ide itu dapat dengan mudah dihidupi oleh pengagum dan dapat menjadi inspirasi yang kuat untuk bisa mengubah dunia, mulai dari sekitar Ledalero hingga ke belahan dunia lain? Ketika John Prior menjadi sebuah prototipe misiolog pendobrak dengan gaya berpikir yang melawan kemapanan dan menjadi figur idola mahasiswa pembenci kemapanan, kita tetap sampai pada sebuah  gugatan paling mendalam, seberapa kuat kita akan konsisten pada cita-cita perjuangan melawan kemapanan yang tidak adil, rezim yang korup, dan biadab?

Saya sependapat dengan suara Superior General SVD sejagat, Paul Budi Kleden pada puncak perayaan, perlu ada keseimbangan antara idealisme dan realisme.

“Jangan menjadi ‘hamba idealisme’ dan ‘budak realisme’. Hamba idealisme hanya bisa membawa dan menghasilkan moralis kejam, menjadi hakim yang melacak dan menghakimi kelemahan dan kekurangan orang lain tanpa ampun. Sebaliknya, budak realisme menghasilkan pribadi pragmatis yang melegalkan segala cara (mengorbankan kemanusiaan) untuk kepentingan pribadi. Jadilah pribadi yang mampu membongkar tembok kemapanan (status quo), berani keluar dari situasi yang menindas, entah karena nasib atau karena sebuah sistem.”

STFK Ledalero bisa ada pada dua tegangan ini: antara idealisme dan realisme. STFK Ledalero memang tidak mungkin membentuk sebuah manusia sebagai paket jadi (to have), tetapi ia menghadirkan inspirasi bagi manusia yang akan menjadi (to be) di tengah perjalanan hidupnya. Hati-hati dengan selebrasi atau pujian. Ketika idealisme itu hanya menjadi penghias dari kebanggaan berlebihan STFK di masa silam, bahaya romantisme mengintip.

*Pastor Desa, Pegiat Pendidikan Orang Muda

TERKINI
BACA JUGA