Buku Filsafat Seni: Menyoal Seni Sebagai Pengetahuan (2/Habis)

Maumere, Ekorantt.com – Bagian lain dari isi buku Filsafat Seni karya Jakob Sumardjo (ITB, 2000), melanjuti ulasan sebelumnya, berbicara mengenai seni dalam “bentuk” dan “isi” juga seni dalam dialektikanya di ruang-ruang publik yang di dalamnya terdapat apresiasi dan publik seni itu sendiri.

Menurut Sumardjo, seni pada dasarnya dapat memperkaya kehidupan manusia dengan memberikan sebuah pengalaman emosi atau pengalaman keindahan yang tidak diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, kualitas seni itu sendiri mesti memiliki bentuk bermakna. Artinya, bentuk seni itu bisa apa saja, tapi seorang seniman harus punya konsep di dalam bentuk yang apa saja tersebut. Seni bukan soal salah atau benar, baik atau buruk, melainkan punya sesuatu dari dalam diri seniman yang mau disampaikan kepada khalayak penikmat seni.

Tentu saja sesuatu yang dimaksud itu bisa merupakan cerapan dari pikiran, pengetahuan, perasaan, yang kemudian diolah sedemikian rupa dalam wujud objek seni. Oleh karena itu, seorang seniman dituntut untuk peka terhadap realitas-realitas yang berkelindan di sekitar kehidupannya. Dengan kata lain, seniman harus cakap membaca tanda-tanda zaman.

Tapi, pertanyaan lainnya bagaimana seni itu dikomunikasikan dengan kaum penikmat. Inilah yang dinamakan dengan apresiasi seni. Ukuran apresiasi tidak hanya ditilik dari nilai ekonomi semata, tetapi juga mencakupi pembicaraan-pembicaran, diskusi ataupun dialog setelahnya. Mengenai ini, seni harus terbuka terhadap berbagai kemungkinan. Seorang seniman mesti membebaskan pikiran masyarakat dalam menatap karya seninya. Tentu, ini terlepas dari bagaimana modal-modal pengetahuan yang dibawa oleh publik tatkala menikmati karya seni itu.

Di dalam buku ini juga termuat berbagai pandangan tentang seni. Mulai dari para pemikir klasik hingga era kontemporer. Ini menunjukkan bahwa seni senantiasa berdialektika sebagaimana filsafat atau juga ilmu itu sendiri. Selain itu, ada juga suatu perbincangan tentang esensi seni, apakah seni hanya untuk dirinya sendiri ataukah harus menjadi representasi masalah-masalah sosial.

Dalam paparan ini, sang penulis katakan bahwa seni dikreasikan tentu harus untuk seni itu sendiri. Jika seni sebagai representasi persoalan sosial, maka bentuknya tidak mungkin berwujud benda atau karya seni. Meskipun begitu, dalam medan penciptaan karya seni, isu sosial boleh jadi cetuskan inspirasi bagi orang untuk berkarya. Tapi, kapabilitas untuk wujudkan itu harus butuh kecapakan tertentu dari seniman. Sebab, seniman tidak mungkin secara mentah-mentah menerjemahkan suatu masalah ke dalam ciptaan-ciptaannya. Kreativitas sangat dibutuhkan dalam tataran ini.

Akhirnya, membaca buku ini dapat juga sebagai dilihat sebagai pengantar bagi seseorang untuk menciptakan karya seni apa saja, serentak membantu orang untuk melihat sebuah objek seni dari berbagai macam perspektif. Sebagaimana pengetahuan, seni tentu punya tawaran-tawaran berpikir yang membantu manusia untuk melihat situasi di sekelilingnya atau juga melihat ke dalam dirinya sendiri.

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA