Sukses Kecil Masyarakat Sipil Memberantas Korupsi

Pada Selasa, 29 Oktober 2019, Kejaksaan Negeri (Kejari) Sikka menahan Kepala Desa (Kades) Dobo Paulus Beni. Si kepala desa dicokok jaksa karena diduga melakukan korupsi dana desa tahun anggaran 2017. Akibat perbuatannya, Negara diperkirakan menderita kerugian sebesar Rp262 juta.

Kami mengapresiasi perjuangan masyarakat sipil dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dobo memberantas korupsi di Dobo. Boleh dikatakan, penahanan Kades Paulus Beni adalah sukses kecil masyarakat sipil memberantas korupsi di Dobo.

Sebab, kasus dugaan korupsi dana desa di Dobo mencuat ke ruang publik karena masyarakat sipil dan BPD Dobo berani mengungkapnya. Andaikan mereka diam, bisa dipastikan kasus tersebut luput dari radar perhatian publik, Aparat Penegak Internal Pemerintah (APIP), dan Aparat Penegak Hukum (APH).

Hal ini memberi kita pelajaran bahwa pertama, gerakan mencegah dan memberantas korupsi mesti menjadi gerakan rakyat atau masyarakat sipil. Berbeda dengan Gramsci yang mengidentifikasi masyarakat sipil sebagai institusi seperti LSM, lembaga agama, dan pers, masyarakat sipil yang kami maksudkan adalah massa rakyat, terutama mereka yang tidak punya akses atau dirampas alat-alat produksinya. Massa rakyat ini, dengan kesadaran kelas dirinya yang tertindas, melakukan aksi massa mencegah dan memberantas korupsi.

Kedua, dana desa sudah menjadi ladang basah korupsi para aparatur desa. Hal ini sekaligus menegaskan tesis yang mengatakan bahwa praktik desentralisasi pasca Reformasi juga turut men-desentralisasi korupsi ke daerah-daerah, termasuk ke desa. Sudah saatnya pemerintah desa di seluruh pelosok Indonesia menciptakan sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) yang transparan. Sistem E-Budgeting a la Mantan Gubernur DKI Jakarta Ahok bisa mulai diterapkan di desa-desa.

Ketiga, semakin banyaknya dana desa yang dikorupsi menunjukkan, birokrasi di desa telah menjadi sumber daya ekonomi politik baru. Pada masa feodal, tanah adalah sumber daya ekonomi terpenting. Menguasai tanah berarti menguasai segalanya.

Akan tetapi, dewasa ini, tanah bukan lagi satu-satunya alat reproduksi yang terpenting. Alat-alat produksi terpenting di Flores dewasa ini adalah lembaga politik, birokrasi, dan Gereja Katolik. Para tuan tanah pada masa lampau dengan segala kekuatan kapital yang ada padanya sudah melakukan mobilitas sosial dan mereproduksi kekuasaan ekonomi politiknya ke dalam lembaga politik, birokrasi, dan Gereja Katolik (Tolo, 2019).

Tidak jarang para turunan aristokrat tradisional ini melakukan korupsi. Pendekatan pemikiran terakhir menawarkan reforma agraria sebagai salah satu solusi mencegah dan memberantas korupsi di Flores.

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA