Mengapa Aksi Koboi Oknum Polres Ngada Mesti Ditulis dengan Tinta Tebal?

Di malam yang gulita akibat listrik PLN di Ngada yang senantiasa mati suri, Selasa (7/1/2020), sebuah ledakan senjata api terdengar di Desa Beiwali. Ledakan berasal dari senjata api jenis V2 milik oknum Polres Ngada berinisial F. Diduga, F menggunakan senjata itu sehubungan dengan program eliminasi selektif anjing Pemerintah Kabupaten Ngada untuk menuntaskan persoalan rabies di Ngada. 

Ledakan itu bukan ledakan biasa. Bukan pula tembakan biasa sebagaimana oknum F mengakhiri nyawa anjing terduga rabies di Ngada.

Ledakan itu ledakan luar biasa. Sebab, sasarannya bukan binatang biasa, melainkan binatang luar biasa: binatang yang berakal budi alias manusia. Tak heran kalau kemudian anak-anak dan wanita di Beiwali berteriak histeris ketakutan.

Tak jelas asbabun nuzul ledakan. Sejauh yang diperoleh media, kasus penggunaan senjata api ilegal itu bermula dari cekcok antara F dan seorang sopir mini bus di desa tersebut. F, yang tidak mengenakan seragam polisi dan tidak menunjukkan surat tugas, mengambil Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Surat Izin Mengemudi (SIM) si sopir. Tak terima, warga pun menghadang oknum polisi itu dan memintanya mengembalikan STNK dan SIM milik sopir.Usai mengembalikan STNK dan SIM, F melanjutkan perjalanan ke tempat tujuannya.

Tiga puluh menit berselang, terdengar suara ledakan keras dari arah deker di Kampung Beiwali. F menembakkan senjata ke udara. Menurut saksi mata, terdengar 4 kali ledakan yang besar. Setelah melepaskan tembakan di deker, F menuju rumah warga bernama Anis Sani. F menodongkan senjata ke arah pintu rumah Anis, tetapi tidak melepaskan tembakan. Sebagai gantinya, F memecahkan kaca mobil yang parkir di depan rumah Anis dengan gagang senjata.

Tanggapan warga Beiwali atas kasus ini cukup proporsional. Tokoh Masyarakat Desa Beiwali Nikolaus Raga berpendapat, persoalan perusakan kaca mobil sudah diselesaikan secara kekeluargaan, tetapi masalah penggunaan senjata api untuk menakut-nakuti warga mesti diselesaikan berdasarkan aturan hukum positif yang berlaku. Perbuatan F telah menimbulkan trauma bagi perempuan dan anak-anak serta merusak ketentraman dan kedamaian di Desa Beiwali. F mesti diberi sanksi hukum yang tegas.

Koordinator TPDI Wilayah NTT Meridian Dado berpendapat, karena penggunaan senjata jenis V2 oleh oknum anggota Polri dari Polres Ngada di Desa Beliwali telah melenceng dari Perkapolri 8/2009 dan Perkapolri 1/2009, maka oknum polisi itu harus dimintai pertanggungjawabannya secara pidana. Pimpinan Polres Ngada jangan menindak yang bersangkutan hanya dengan sanksi disiplin yang justru tidak memiliki efek jera.

Sementara itu, Wakapolres Ngada Say Nono Yohanes Vianey menjelaskan, terkait masalah penggunaan senjata api, oknum polisi bersangkutan mendapat sanksi kedinasan berupa di-sel. Polres Ngada juga akan menelusuri riwayat kepemilikan senjata api yang bersangkutan.

Kami berpendapat, penggunaan senjata api ilegal oleh oknum Polres Ngada dalam kapasitasnya sebagai alat atau aparatur Negara kontraproduktif atau bertentangan dengan tugas-tugas utama Negara. Terdapat sekurang-kurangnya tiga (3) tugas utama Negara, yaitu melindungi (to protect), memenuhi (to fulfil), dan menghargai (to respect) hak-hak asasi warga Negara. Salah satu hak warga Negara yang harus dilindungi, dipenuhi, dan dihargai oleh Negara adalah hak untuk hidup aman, damai, dan tentram. Alih-alih memenuhi, melindungi, dan menghargai hak asasi warga untuk hidup aman, damai, dan tentram, perbuatan oknum polisi itu malah bikin masyarakat desa hidup dalam bayang-bayang ketakutan yang traumatis. Indonesia punya kisah kelam yang panjang tentang ketakutan traumatis warga Negara yang diproduksi dan direproduksi oleh Negara secara terstruktur, sistematis, dan masif: pembunuhan massal 1965, penculikan dan penghilangan paksa aktivis, dan seterusnya.

“Nasib ditentukan oleh tindak membunuh oleh Negara, dan nasib celaka itu berada kuat-kuat dalam genggaman Negara,” tulis Daniel Dhakidae dalam buku “Menerjang Badai Kekuasaan” (Dhakidae, 2015). Kami berpendapat, kasus ini perlu “ditulis dengan tinta tebal” karena menyangkut persoalan relasi kuasa: Negara vis a vis warga Negara. Jadi, bukan sekadar kasus tembakan biasa. Di sana ada permainan relasi kuasa antara oknum polisi yang punya kewenangan legal untuk melakukan aksi kekerasan (gewaltmonopol) dan warga Negara yang tak punya perisai perlindungan apapun selain kontrak sosial (social contract) bahwa Negara Pancasila akan memenuhi, melindungi, dan menghargai “kemanusiaan yang adil dan beradab” serta “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

spot_img
TERKINI
BACA JUGA