Merantau untuk Mati (1)

Maumere, Ekorantt.com – “Jadi, No tanya soal anak perempuan saya ini untuk apa? Dia sudah mati, No,” ungkap Keneka Namang (80) saat EKORA NTT bertanya kepadanya tentang anak perempuannya bernama Min Namang yang meninggal di Malaysia pada tahun 2000.

Min adalah satu dari ribuan TKI asal NTT yang meninggal di tanah rantau. TKI NTT yang meninggal di tanah rantau umumnya adalah TKI illegal.

Sudah dua puluh lima tahun, anak perempuan kebanggaannya mati di negeri Jiran Malaysia. Keneka Namang (80) berteriak histeris ketika EKORA NTT bertanya tentang anak perempuannya bernama lengkap Min Namang itu.

Dengan dialek kental khas orang Lamaholot, perempuan tua yang masih lantang bersuara ini berujar, “Jadi, No tanya soal anak perempuan saya ini untuk apa? Dia sudah mati, No.”

EKORA NTT hendak kembali saat anak perempuan sulungnya menahan. EKORA NTT merasa bersalah karena telah mengajukan pertanyaan yang membangkitkan kenangan tentang buah hatinya yang mati di tanah rantau. Tanpa satu pun dokumen resmi.

iklan

 “Tidak apa-apa. Duduk saja. Mama memang akan sangat histeris bila mengenang saudari kami nomor dua itu,” Avelina Namang meminta EKORA NTT bersabar.

Cerita mengalir. Tahun 1993, Min Namang memang harus berangkat untuk bekerja. Tak ada pilihan lain. Hidup susah. Anak bungsunya Maria Namang, harus sekolah. Avelina Namang, si sulung yang sakit-sakitan, memang tak bisa diharapkan. Sang ayah telah meninggal. Pilihan jatuh pada Min, puteri keduanya. 

“Dia itu kepala keluarga untuk kami. Kerja seperti laki-laki. Bisa panjat pohon kelapa juga,” kata Keneka Namang pada EKORA NTT.

Sebelum berangkat ke Malaysia, Min memang jadi andalan untuk jadi kuli pada tetangga yang membutuhkan tenaga harian seperti menyiangi rumput di ladang, pilih kelapa di kebun, dan juga aneka pekerjaan serabutan lainnya. Waktu itu, satu hari dibayar Rp500,00 sampai Rp2.500,00. 

Hendak mengubah nasib keluarga yang terhimpit masalah ekonomi, Min putuskan untuk berangkat ke Malaysia. Cerita tentang Malaysia memang menggiurkan. Di kampung Hokeng pada tahun 1980-1990-an, ada begitu banyak orang yang berangkat ke Malaysia. Beberapa yang telah kembali dan membangun rumah dan punya alat elektronik seperti televisi, tape, dan radio seolah jadi privilese tersendiri.

Min pun berangkat. Hanya dengan ijazah SMP. Dan modal daya tahan tubuh seperti laki-laki. Ia memang paling diandalkan daripada kakak sulungnya. 

Min berangkat pada 1993. Tahun yang sulit secara ekonomi bagi orang Flores kebanyakan. Ada banyak kerugian material akibat gempa bumi pada Desember 1992. 

Memasuki tahun ke-7 di tanah rantau, tak ada lagi kabar tentang Min. Surat lewat Pak Pos dari Kantor Pos Boru, Kecamatan Wulanggitang pun tak ada.  Kiriman uang tak ada. Semuanya hilang tak berkabar. Tepat tahun 2000 datang telegram. Isinya menyayat hati. Min meninggal dan sudah dikuburkan. 

Impian setiap malam Maria Keneka Namang agar buah hati nomor duanya kembali tak kesampaian. Bersama putri sulung dan bungsunya, Avelina dan Marden, mereka berpelukan di kamar dengan teriakan paling menyayat hati. 

“Kami pasrah.Kami tak bisa apa-apa,” ujar Avelina saat telegram kematian adik tengahnya itu tiba.

Maria Keneka Namang tampak lemas usai Avelina mengisahkan kematian Min. 

Lain kisah janda bernama Maria Keneka Namang, lain pula kisah WN (atas permintaan sendiri nama diinisialkan)  dan putrinya NMD. 

Tahun 2017 lalu, istri WN pamit minta bekerja di Malaysia. Musim panas berkepanjangam di Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka membuat mereka tak bisa lagi mengandalkan sawah sebanyak dua petak berukuran 0,5 Ha.

AN, sang istri, memutuskan berangkat ke Malaysia. Lagi-lagi tanpa dokumen sebagai seorang TKW legal. WNl bilang, istrinya jalan dengan keluarga yang sudah berpengalaman di Malaysia, jadi aman. Tak ada sedikit pun rasa khawatirnya.

Ketika ditanyakan soal pentingnya dokumen bagi seorang TKI, WN hanya diam dan menjawab,“Kami tidak tahu,Pak, soal barang-barang begitu. Intinya berangkat dan kerja toh,” ujarnya datar.

Petaka kabar buruk datang pada 9 Desember 2019. AN, sang istri yang dirindukannya meninggal di Malaysia. Kematiannya pun karena bayi perempuan dalam kandungan AN, hasil hubungannya dengan pria lain asal Flores, NTT tak tertolong karena sudah duluan meninggal 4 hari.

AN yang tak tahan sakit pun dibawa melalui jalan tikus ke rumah sakit. Di rumah sakit, nyawa AN tak tertolong. Ia mati bersama bayi perempuan hasil hubungannya dengan pria lain.

Identitas soal keberadaan rumah sakit tempat AN ditolong untuk menjalani perawatan pun tak diketahui keluarganya di kampung. Semua serba tertutup dari keluarga yang ada di Malaysia. AN sudah dikuburkan.

WN dan NMD putrinya seolah tak percaya, tapi faktanya memang demikian. Mereka hanya dikirim pesan via messengerFacebook foto ketika jenazah sang istri dimasukkan ke dalam peti. Hidup seolah hampa.

Sepanjang 2019, Ratusan TKI NTT Meninggal

Kematian AN, dalam daftar catatan Jaringan Nasional Anti TPPO, adalah korban ke-124 sepanjang tahun 2019.

Gabriel Goa, Sekretaris JarNas Anti TPPO pun geram pada pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Provinsi NTT, yang dinilai lamban mengurusi masalah tenaga kerja non prosedural asal NTT yang berada di Malaysia.

Selama Januari-Desember 2019, ada 119 TKI asal NTT yang meninggal. 117 meninggal di Malaysia. 1 orang meninggal di Singapura dan 1 lagi meninggal di Senegal.

117 yang meninggal di Malasyia tanpa dokumen resmi sebagai TKI, sedangkan dua yang meninggal di Singapura dan Senegal terdata di BP3TKI Kupang.  

Demikian data yang dihimpun dari Balai Pelayanan Penempatan Perlindungan TKI (BP3TKI) Kupang.

Siwa, kepala  BP3TKI Kupang pada Jumat (3/1/2020)  menyebut, total kasus pekerja migran yang ditangani oleh BP3TKI Kupang selama tahun 2019 adalah sebanyak 411 kasus.

Dari jumlah tersebut yang diselesaikan 371 kasus atau 90,27% sedangkan sisanya 40 kasus atau 9,73 % sedang dalam proses. Terkait riwayat atau proses penempatan  bahwa 411 kasus tersebut terdiri dari 395 orang berangkat secara non prosedural atau tidak terdata di BP3TKI Kupang dan 16 orang terdata di BP3TKI Kupang.

Kasus-kasus yang terjadi terdiri dari kasus meninggal dunia, kasus gaji, kasus pemulangan/deportasi, sakit, putus komunikasi dan minta dipulangkan.

Dari 119 jenazah pekerja migrant tersebut 112 jenazah sudah dipulangkan, 6 jenazah dimakamkan di Malaysia sedangkan 1 jenazah sedang dalam proses.  

Siwa juga mengemukakan, pihaknya terus bersinergi dengan berbagai elemen masyarakat yang peduli dengan masalah TKI.

“Selama ini kami terus membangun kerja sama dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat untuk mensosialisasikan tentang pentingnya kelengkapan administrasi berkas sebagai TKI yang legal. Kedepannya kerja-kerja bersama terus digalakkan untuk menekan laju keberangkatan TKI non prosedural,” ujar Siwa.

Gabriel Goa, Sekretaris Jaringan Nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (JarNas Anti TPPO) mengungkapkan, jumlah TKI asal NTT yang meninggal setiap tahunnya selalu bertambah.

Menurutnya Pemerintah Republik Indonesia mesti segera membuat MoU dengan Pemerintah Malasyia terkait tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia.

Menurut Gabriel, MoU yang lama sudah kedaulawarsa sehingga perlu MoU yang baru lagi.

Masih menurut Gabriel, data dari JarNas TPPO TKI yang meninggal berjumlah 124 orang. 119 orangnya terdata dan melalui BP3TKI Kupang sedangkan dua lainnya proses pemulangannya diurus oleh keluarga sedangkan 3 lainnya dikuburkan di Malaysia. (Bersambung)

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA