Hak Asasi Manusia, ‘Public Policy’ dan Kurikulum Sekolah Era Pandemi (Bagian Pertama)

Oleh: Louis Jawa*

“Kesehatan dan keselamatan anak harus menjadi prioritas dalam situasi pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid 19),” demikian tesis besar yang boleh saya temukan dalam diskusi sejumlah pakar pendidikan dan kesehatan pada media terkemuka seperti MetroTV dan KompasTV. Sejumlah media massa terkemuka seperti majalah TEMPO malah dengan sangat tegas mengkritik sikap pemerintah yang terkesan menetapkan tahun ajaran baru dengan argumentasi yang berbelit-belit untuk bisa menghindar dari jatuh tempo tanggal 13 Juli.

Saat ini, kita tengah berada dalam sebuah pertarungan nyali paling dahsyat di dunia pendidikan, antara berani memulai asal memulai dengan banyak kompromi atau menunda sebuah proses memulai dengan akibat dan risiko yang menakutkan pada sejumlah bidang kehidupan.

Keputusan bersama 4 menteri, yang dirilis pada 16 Juni 2020 (Pukul 16.30 Wib) memastikan skenario 13 Juli sebagai permulaan sekolah dengan kategori zona hijau dan kategori teknis operasional sekolah lainnya .

Sekolah pada Varian Zona Corona  

iklan

Sekolah akan segera dimulai, dengan batasan pengertian yang unik dan kontekstual, sekolah tanpa kontak fisik, pembelajaran jarak jauh, dan sekolah dengan pembatasan khusus pada daerah aman (zona hijau). Pemetaan zona pun bervariasi berdasarkan penelusuran per wilayah, mulai dari zona hijau, zona kuning hingga zona orange dan zona merah.

Diskusi dan perbincangan tentang pembukaan tahun ajaran baru (webinar 16 Juni 2020) mendapatkan kepastiannya melalui Surat Keputusan Bersama 4 Menteri (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri), dengan sejumlah protokol kesehatan yang ketat.

Sekolah dengan metode konvensional, dengan gaya klasik, seperti tatap muka langsung, belum menjadi sebuah pilihan ketika daerah zona hijau masih 6 %  (90 kabupaten / kota).  Kenyataan ini, begitu berbahaya dan sangat riskan pada penyebaran yang begitu masif bila dipaksakan, bahkan pada daerah yang termasuk dalam zona hijau.

Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dokter Aman B. Pulungan memperingatkan segenap stakeholder di bidang pendidikan untuk berhati-hati dan memprioritas kesehatan serta keselamatan anak-anak (Acara KompasTV Satu Meja The Forum 4 Juni 2020). Dalam nada yang sangat keras, dokter Aman mengawaskan kepunahan satu generasi anak bangsa, dan karenanya memaksakan sekolah dengan standar fasilitas dan keamanan kesehatan sekolah yang minim, akan menjadi bumerang sejarah.

Sekolah di Zona Hijau: Paket Uji Coba

Siapa yang harus memulai program pendidikan berisiko pada 13 Juli mendatang? Pertanyaan ini menjadi sangat penting, ketika anak-anak dan persekolahannya tidaklah boleh menjadi kelinci percobaan, dan kelak pada waktunya semua orang ‘cuci tangan’ dan menghindar dari sebuah tanggung jawab.

Dokter Aman secara tegas, dalam talkshow Satu Meja The Dorum, menyatakan alangkah baiknya dimulai dari orang-orang yang memutuskan sekolah pada tanggal 13, dari anak-anak mereka dan dari profesi mereka sendiri.

Donny Gahral, Juru Bicara Kantor Staf Kepresidenan menerima sejumlah masukan penting para pakar, dan sangat berhati-hati dalam sekadar menerapkan rutinitas persekolahan.

Cecep Darmawan, pakar kebijakan pendidikan, mendesak sebuah grand design kurikulum darurat dengan alternatif-alternatif kebijakan.

Memulai sekolah pada saat ini, hemat saya seperti sebuah paket uji coba, terutama bila kita membuat analisis cermat atas narasi Nadiem Makarim dalam webinar tentang SKB 4 Menteri. Dua kata kunci yang menunjukkan itu yakni relaksasi dan fleksibilitas. Dalam sebuah tinjauan tentang pendidikan dan makna hak asasi manusia, saya menemukan dua sudut pandang hermeneutika yang berbeda.

Pertama, pada satu sudut pandang, keputusan untuk memulai sekolah adalah sebuah keberanian untuk memulai, keberanian untuk bergerak maju dan keberanian untuk tidak bertahan di tempat saja. Ringkasnya, sebuah keberanian untuk bertarung nyali di tengah ketakutan akan pandemi virus corona.

Pernyataan Mas Menteri dapat dinarasikan demikian, “Sekolah di daerah zona hijau, boleh memulai pembelajaran tatap muka, dengan memperhatikan protokol kesehatan. Sekolah tetap harus meminta persetujuan orang tua, meskipun berada dalam daerah zona hijau. Bilamana terdapat kasus baru, maka sekolah dihentikan untuk jangka waktu tertentu”.

Kedua, sebuah sudut pandang yang sedikit lebih tajam yakni sistem uji coba yang terlalu dipaksakan dengan standar ganda untuk masing-masing jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah. Berdasarkan pernyataan resmi 4 kementerian pada 16 Juni, maka ditemukan pentahapan persekolahan pada zona hijau, yang dimulai dari Sekolah Menengah Atas (SMA/SMK,sederajat) lalu Sekolah Menengah Pertama (SMP / sederajat) dan berakhir pada bulan keempat dan seterusnya, Sekolah Dasar serta TK / PG Paus.

Pentahapan ini jelas menggambarkan kehati-hatian pemerintah untuk memberlakukan sekolah normal bagi anak-anak usia dini, lantas dalam satu sudut pandang, mengorbankan anak-anak sekolah menengah atas. Pernyataan keras Ketua IDAI jelas menempatkan pemerintah pada tugas untuk menjamin kesehatan dan keselamatan anak. Dengan standar sarana prasarana sekolah yang belum merata di seluruh nusantara Indonesia ini, kita hanya bisa menemukan bahaya baru dari keberanian pemerintah untuk memulai persekolahan yang normal.

Negara dan Hak Asasi Manusia

Hidup harus tetap maju dan sekolah menjadi sebuah medium sangat penting untuk mencerdaskan anak bangsa. Dalam situasi abnormal, sebuah kebijakan new normal akan segera diberlakukan dengan sejumlah klausul pengecualiannya.

Negara harus menjamin hak asasi manusia, dan Indonesia adalah sebuah entitas hukum yang harus memastikan kesehatan dan keselamatan anak sebagai prioritas. Pandangan IDAI membawa sudut pandang pemerintah pada garis tegas dan jelas, dan bukan pada garis abu-abu, apalagi taktik uji coba sebelum makan korban nyawa.

Ketua umum PGRI, Unifah Rosyidi menemukan sebuah celah besar ketika stakeholder Kemdikbud belum menetapkan Kurikulum Sekolah Era Pandemi (KSEP). Inilah satu kelemahan terbesar birokrasi pendidikan di Indonesia, ketika di satu sisi terlalu mengagung-agungkan gerakan merdeka belajar dan akhirnya tidak ada koridor untuk menentukan batasan persekolahan yang sebenarnya.

Sejak bulan Maret, sekolah-sekolah dengan merdeka menafsirkan pembelajaran jarak jauh atau belajar dari rumah, dan belum dengan telaten membangun kurikulum khusus masa darurat Covid-19. Di mata Unifah, sekolah kita menerapkan sekolah darurat namun dengan kurikulum sah dengan content (isi / muatan) yang padat.

Hak asasi manusia peserta didik, inilah yang sedapat mungkin dipenuhi oleh negara. SKB 4 menteri belumlah cukup untuk memulai sekolah, ia mesti secara gambling menetapkan KSEP. Negara telah berjuang keras untuk menghasilkan SKB ini, dan kita pun tetap mendukung langkah-langkah strategis yang telah dirancang ini.

Pada beragam pandangan, kita seakan terbelah antara tekanan politik, desakan ekonomi dan tuntutan kehidupan normal. Tahun ajaran baru tidak sama dengan kegiatan belajar mengajar sepenuhnya atau sebahagian. Sekolah di zona hijau, 13 Juli, selamat berjuang melawan rasa takut sambil ingat: primat keselamatan anak.

* Pegiat Pendidikan dan Dinamika Orang Muda

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA