Cerita Eduardus Ejo: Sarjana Pendidikan yang Raup Jutaan Rupiah dari Kebun Sayur

Sudah enam tahun, Eduardus Ejo, menekuni pekerjaannya sebagai petani sayur.

Borong, Ekorantt.com – Sudah enam tahun, Eduardus Ejo, menekuni pekerjaannya sebagai petani sayur.

Ia yang sejak 2008 bekerja sebagai guru honorer di salah satu sekolah negeri di Manggarai Timur, memilih berhenti mengajar pada 2015. Ia beralih jadi petani.

Ia tahu betul resiko pilihannya itu. Namun, tekadnya sudah bulat. Ia ingin mengubah kondisi keuangan keluarganya lewat pertanian.

“Terakhir saya digaji Rp8 ratus ribu di sekolah. Gaji itu tidak cukup untuk penuhi kebutuhan rumah tangga saya,” ceritanya kepada Ekora NTT, baru-baru ini.

Upah yang demikian menjadi alasan utama Eduardus untuk banting setir jadi petani sayur.

iklan

“Saya lihat peluang. Sayur-sayur yang dijual di Pasar Borong itu banyak didatangkan dari luar Manggarai Timur,” ceritanya.

Setahun sebelum berhenti mengajar, Eduardus mulai menanam berbagai jenis sayur, seperti petsai, seledri, sawi, terung, selada keriting dan beberapa lainnya di atas lahan tidur seluas sekitar setengah hektare di Jati, Desa Golo Kantar, Kecamatan Borong.

“Lahan, saya pinjam dari Bulog Manggarai,” katanya.

Ia tidak gengsi, apalagi malu untuk bertani, meski awalnya ia mendapat cibiran warga sekitar.

“Saya seorang sarjana pendidikan. Pandangan masyarakat, petani itu identik dengan orang-orang kecil, miskin. Petani itu pekerjaan orang-orang yang tidak mengenyam pendidikan tinggi,” ceritanya.

Kendati demikian, Eduardus tidak menyerah, apalagi membalas cibiran itu dengan kata-kata. Ia melawannya dengan kerja keras. Didukung sang istri, ia terus menanam dan merawat sayur.

Eduardus menjual sayur-sayurnya ke Labuan Bajo, Ibu Kota Manggarai Barat dan sebagiannya ia jual di Pasar Borong.

Khusus ke Labuan Bajo, ia jual ke sejumlah hotel dan restauran.

“Yang dijual ke Labuan Bajo itu sayur seledri. Sebelum pandemi COVID-19, satu kilogram biasa jual dengan harga Rp50 ribu. Sayurnya kami titip lewat bus. Uangnya mereka transfer ke nomor rekening kami,” ujarnya.

Sedangkan di Pasar Borong, ia bekerja sama dengan enam pedagang sayur.

Sistemnya, lanjut Eduardus, ia menitipkan sayur ke pedagang. Kemudian, pedagang akan bayar setelah sayur itu laku terjual.

“Kalau dulu, sebelum saya kerja sama dengan mereka (pedagang sayur), mereka beli sayur dulu baru jual. Dengan saya tidak. Mereka jual (sayur) dulu baru bayar ke saya,” jelasnya.

Kini, dari hasil sayur, pria asal Lepeng, Desa Lalang, Kecamatan Rana Mese ini meraup untung Rp5 juta hingga Rp6 juta per bulan.

“Uang datang sendiri di rumah, kami tidak kejar uang,” tuturnya.

Selain menanam sayur, Eduardus juga beternak babi. Menurutnya, bertani dan beternak babi merupakan dua hal yang saling berhubungan.

“Sayur-sayur yang rusak, kami gunakan untuk makanan babi. Kotoran babi, kami jadikan pupuk organik,” katanya.

Beternak babi juga, lanjutnya, sangat menjanjikan, karena selalu dibutuhkan dan harganya cenderung naik tiap tahun.

Ia mengajak generasi muda untuk berani mandiri lewat pertanian dan peternakan.

“Khusus untuk adik-adik yang sarjana, jangan gengsi. Daripada Anda jadi tenaga kontrak atau honorer yang hanya digaji Rp1,5 juta per bulan, lebih baik jadi petani atau peternak, Anda bisa mendapat uang lebih dari Rp1,5 juta sebulan,” pungkasnya.

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA