Oleh: Yohanes Sudarmo Dua*
Saat the Royal Swedish Academy of Sciences mengumumkan penghargaan Nobel Fisika 2020 setahun yang lalu, saya dan beberapa rekan di program studi pendidikan Fisika, Universitas Nusa Nipa tengah merampungkan hasil akhir penelitian kami mengenai topik yang (kebetulan) berkaitan erat dengan apa yang dikerjakan oleh para penerima hadiah nobel tersebut. Sebagaimana diketahui, penghargaan Nobel Fisika 2020 telah diterimakan kepada tiga ilmuwan: Roger Penrose, Reinhard Genzel dan Andrea Ghez.
Nama terakhir adalah wanita ke-4 yang berhasil meraih penghargaan prestisius tersebut setelah Maria Sklodowska Curie (1903), Maria Goeppert Meyer (1963), dan Donna Strickland (2018). Ketiga ilmuwan ini dianugerahi Nobel Fisika 2020 atas studi mereka mengenai Lubang Hitam atau Black Holes, yang oleh Panitia Nobel disebut sebagai salah satu objek paling enigmatis di jagat raya.
Roger Penrose dihargai atas kontribusi teoritis matematisnya mengenai pembentukan lubang hitam sebagai konfirmasi kuat terhadap prediksi teori Relativitas Umum Einstein sementara Genzel dan Ghez berhak atas penghargaan tersebut karena penemuan mereka terkait keberadaan objek super masif di pusat Galaksi Bima Sakti.
Meski prediksi keberadaan “benda hitam” di jagat raya telah diwacanakan sejak akhir abad ke-18 oleh ilmuwan seperti astronomer Inggris, John Michell dan matematikawan Prancis, Pierre-Simon Laplace, versi modern pemahaman ilmuwan mengenai lubang hitam didasarkan pada teori Relativitas Umum yang dicetuskan Albert Einstein (1879-1955) pada tahun 1916.
Apa itu teori Relativitas Umum? Secara sempit, teori Relativitas Umum bisa dipahami sebagai teori Einstein mengenai gravitasi. Definisi ini merujuk pada sejarah lahirnya teori Relativitas Umum sebagai upaya Einstein untuk mengoreksi Hukum Gravitasi Newton agar tidak bertentangan dengan teori Relativitas Khusus yang terlebih dahulu Ia cetuskan pada tahun 1905.
Bila Isaac Newton (1643-1727) memandang gravitasi sebagai gaya tarik menarik antara benda-benda bermassa, Einstein merumuskan gravitasi dari perspektif yang sangat berbeda.
Gravitasi, menurut Einstein, adalah manifestasi dari kelengkungan ruang-waktu (spacetime curvature). Yang menarik dari teori gravitasi Einstein adalah bahwa teori tersebut memenuhi prinsip korespondensi: pada kondisi tertentu, teori gravitasi Einstein memberikan hasil yang sesuai dengan apa yang diramalkan Hukum Gravitasi Newton.
Dengan kata lain, Hukum Gravitasi Newton hanyalah aproksimasi atau lebih tepatnya “hal khusus” dari teori gravitasi Einstein.
Sejak pertama kali dipublikasikan 105 tahun silam, teori gravitasi Einstein memang telah melewati aneka tes. Dalam rentang waktu sekitar satu abad terakhir, berbagai prediksi teoritis teori relativitas umum pun satu per satu terkonfirmasi secara eksperimental, mulai dari pergeseran pelihelion planet Merkurius, pembelokan cahaya dan dilatasi waktu oleh medan gravitasi, juga keberadaan gelombang gravitasi yang pendeteksiannya secara eksperimental di tahun 2015 telah mengantarkan Rainer Weiss, Barry C Barish, dan Kip S Thorne meraih Nobel Fisika pada tahun 2017.
Teori Relativitas Umum dalam Kurikulum Pendidikan Sekolah
Pengalaman empiris kami menunjukkan bahwa materi terkait teori gravitasi Einstein dan juga topik-topik populer yang lahir dari rahim teori Relativitas Umum seperti lubang hitam, lubang cacing, gelombang gravitasi, pembelokan cahaya oleh medan gravitasi, waktu yang melambat di dekat massa yang sangat masif, siklus hidup bintang dan lain sebagainya sebenarnya cukup memantik antusiasme dan rasa ingin tahu publik.
Dalam konteks pembelajaran sains (secara khusus Fisika) di sekolah, topik-topik ini masih merupakan topik-topik kontemporer yang sebenarnya cukup menjanjikan untuk membangkitkan rasa penasaran, rasa ingin tahu, dan bahkan meningkatkan motivasi belajar peserta didik. Meski demikian, masih banyak negara di dunia yang belum memasukan teori Relativitas Umum sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di sekolah (Pitts dkk, 2013; Blair dkk, 2016). Dan Indonesia bukan merupakan pengecualian.
Terdapat beberapa alasan mengapa Teori Relativitas Umum/teori gravitasi Einstein ini tidak dimasukkan dalam kurikulum pendidikan sekolah.
Pertama, teori Relativitas Umum dianggap sebagai teori yang sangat rumit dan selalu diidentikan dengan formula matematis yang kompleks. Hal ini bisa dipahami karena teori Relativitas Umum dihadirkan Einstein dalam bahasa matematis yang cukup kompleks yaitu Differential Geometry: teknik matematis yang menggabungkan kalkulus diferensial dan integral serta aljabar multilinear dalam mempelajari persoalan geometri.
Mereka yang tidak menguasai Differential Geometry akan mengalami semacam ‘kendala bahasa’ untuk bisa menikmati keindahan teori Relativitas Umum. Selain itu, kesiapan kompetensi para guru untuk mengajarkan teori tersebut juga masih menjadi kendala utama. Dalam kaitan dengan kompetensi guru, dalam konteks Indonesia, riset kami menunjukkan bahwa hampir tidak ada program studi Pendidikan Fisika (penghasil sarjana pendidikan/guru fisika) di tanah air yang memasukkan Teori Relativitas Umum sebagai mata kuliah yang wajib diprogram oleh para mahasiswa.
Terobosan
Terlepas dari karakter dan bahkan ‘reputasi’nya sebagai salah satu teori yang super sulit, setidaknya terdapat dua alasan mendasar mengapa teori Relativitas Umum perlu segera dimasukkan dalam kurikulum pendidikan di sekolah.
Pertama, dalam kurun waktu 100 tahun terakhir, teori Relativitas Umum telah menjadi ‘pisau beda’ para ilmuwan dalam memahami semesta dan telah membuka pintu bagi berbagai kemajuan dalam bidang Fisika dan Astronomi. Bersama teori Fisika Kuantum, teori Relativitas Umum telah menjadi backbone bagi dunia Fisika masa kini.
Kedua, teori Relativitas Umum berisi topik-topik menarik yang sangat relevan dengan perkembangan sains modern, seperti lubang hitam dan gelombang gravitasi yang dalam tiga tahun terakhir telah menjadi fokus kajian penganugerahan hadiah nobel Fisika.
Dalam konteks ini, setiap kita pasti sepakat bahwa para peserta didik kita berhak untuk diajarkan pengetahuan-pengetahuan paling modern dalam dunia sains agar mereka tidak tertinggal oleh laju perkembangan sains.
Mungkinkah teori Relativitas Umum bisa diajarkan kepada para peserta didik di sekolah? Hasil penelurusan kami terhadap publikasi di jurnal-jurnal internasional menunjukkan hasil yang menjanjikan.
Dalam 10 tahun terakhir, publikasi terkait upaya memperkenalkan Teori Relativitas Umum dan Fisika Kuantum kepada para peserta didik di sekolah menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan beberapa dekade yang lalu.
Bahkan di tahun 2016 yang lalu, bertempat di Gravity Discovery Center, Gingin, Australia Barat, para peneliti di bidang ini, yang terdiri dari para peneliti di Einstein First Project, The University of Western Australia, peneliti di Group ReleQuant dari Universitas Oslo, dan para peneliti dari Universitas Hildesheim, German, telah membentuk International Einsteinian Physics Education Research Collaboration sebagai ajang untuk berkolaborasi, bertukar informasi dan berbagi hasil penelitian terkait upaya memperkenal Einsteinian Physics kepada para peserta didik sekolah menengah.
Pertanyaannya adalah: bagaimana cara membawa teori yang super rumit ini ke sekolah? Yang pasti, kita tidak dapat mengajarkan teori Relativitas Umum kepada peserta didik sekolah menengah dengan pendekatan matematis murni. Mengingat karakter teori relativitas umum yang abstrak dan sangat mengandalkan kemampuan imaginasi, thought experiment (eksperimen pikiran), model, dan analogi, berdasarkan hasil riset, dianggap sebagai cara paling efektif untuk mengajarkan konsep-konsep inti teori Relativitas.
Peneliti di Einstein First Project, misalnya, menggunakan spacetime simulator sebagai model utama untuk memperkenal teori gravitasi Einstein. Di universitas Hildesheim, pasangan suami istri, Corvin Zahn dan Ute Krauss menggunakan sector model untuk memvisualisasikan ruang waktu yang melengkung, lubang hitam, dan lain-lain.
Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa konsep-konsep penting teori relativitas sebenarnya dapat dipahami oleh para siswa sekolah menengah. Dan yang menggembirakan, materi relativitas umum yang diperkenankan sedini mungkin kepada para peserta didik ternyata membawa dampak yang sangat signifikan terhadap perubahan sikap (attitude towards science) dan peningkatan motivasi belajar mereka.
Di Indonesia, penelitian eksploratif yang kami lakukan di tahun 2017 dan di tahun 2020 (yang dibiayai hibah kemenristik dikti) terhadap para peserta didik di kota Maumere, Flores, NTT juga mengindikasikan hasil yang menjanjikan: teori Gravitasi Einstein, secara konseptual, ternyata dapat dipahami oleh para peserta didik kita. Meski, dalam konteks Indonesia, riset terkait upaya memperkenalkan teori gravitasi Einstein ke sekolah masih sangat minim, hasil penelitian kami di kota Maumere, hemat kami, telah menyajikan ‘jalan ke depan’ yang cukup menggembirakan.
Mungkinkah teori gravitasi Einstein akan dapat dimasukkan dalam kurikulum sekolah menengah di tanah air? Ataukah para siswa kita hanya akan terus diajari Hukum Gravitasi Newton (yang hanya merupakan aproksimasi dari teori gravitasi Einstein)? Biarlah waktu yang akan menjawab. Setidaknya, di program studi pendidikan Fisika, Universitas Nusa Nipa, kami telah memulai!
*Penulis adalah Dosen Pendidikan Fisika Universitas Nusa Nipa Maumere, Flores, Alumnus School of Physics and Astronomy, the University of Western Australia