Wawancara dengan Silvester Petara Hurint: Teater Jadi Media Edukasi dan Corong Kritisisme Publik

Larantuka, Ekorantt.com – Hari Teater Internasional dirayakan pada tanggal 27 Maret setiap tahunnya. Kali ini, wartawan Ekora NTT, Yurgo Purab berkesempatan untuk mewawancarai seniman asal Flores Timur, Silvester Petara Hurit.

Untuk diketahui, Silvester Petara Hurit lahir di Lewotala Flores Timur NTT. Alumnus Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) di Bandung (ISBI sekarang). Aktivis Kebudayaan di Flores Timur. Mendirikan Nara Teater pada tahun 2016. Mendorong revitalisasi budaya melalui pelbagai festival dan event kesenian. Dan ia menetap di kampung halamanya Lewotala, Flores Timur.

Bagaimana pandangan Silvester tentang teater, terutama perkembangan teater di Flores Timur, berikut petikan wawancaranya;

Apa arti teater menurut Anda?

Ya, teater pada prinsipnya adalah diri (aktor) yang hadir dalam ruang, dalam konteks yang aktual. Di sana ada subyek (aktor) lengkap dengan tubuh, pikiran, dan batinnya yang mengusung kisah atau peristiwa. Struktur peristiwa melahirkan makna atau pesan. Dalam konteks Lamaholot, teater dekat dengan masyarakat kita yang kaya akan ritus-ritus. Ritus-ritus Lamaholot sangat teatrikal. Atau memiliki unsur-unsur teateral.

iklan

Sejauh ini, apakah seni teater benar-benar tumbuh di Flores Timur?

Masyarakat kita yang kaya akan ritus. Sebenarnya sangat dekat dengan teater. Di sana ada cekaman, ada daya  mantra, musik/nyanyian, gerak, simbol dan pelbagai elemen rupa. Hanya bagaimana cultural performance tersebut dikelola dan dikemas menjadi seni pertunjukan yang bernafas kekinian dan bisa dinikmati.

Soal pertumbuhan teater, iya ada. Cuma teater adalah pertunjukan yang mahal secara produksi. Latihan yang lama dan merupakan kerja kolektif yang melibatkan sekian disiplin seni.

Produksi teater berat jika tanpa dukungan sponsor atau dana. Sejauh ini rata-rata, untuk produksi teater lebih banyak swadaya. Pernah ada festival teater remaja yang diselenggarakan rutin tahunan oleh pemerintah tapi kemudian mati karena ketiadaan dukungan dana.

Adakah ruang yang disiapkan Pemda untuk pemberdayaan bakat dan seni teater di Flores Timur?

Ini persoalan kita. Kami Nara Teater misalnya, yang sudah beberapa kali tampil di event-event teater nasional tak pernah dapat dana produksi dari Pemda. Pernah dijanjikan tapi tak pernah sampai ke tangan kami.

Kecuali dukungan secara pribadi dari satu-dua rekan yang peduli. Padahal sejak dicetuskannya Hari Teater Dunia 27 Maret 1961, teater dipercaya mengemban misi membawa perdamaian dunia melalui kekuatan teater yang menggerakkan dengan daya-dayanya yang khas.

Jika memungkinkan, berapa kelompok seni teater di Flotim?

Sebenarnya ada banyak kelompok terutama teater sekolahan. Ada teater dari SMA Seminari Hokeng, SMAK St. Darius, SMAN 1 Adonara Barat, SMK Suradewa, SMAN 1 Solor Barat, untuk menyebut beberapa. Ada juga teater dari Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka.

Hanya saya tidak tahu, apa masih produktif atau tidak sekarang.  Kalau untuk kelompok dewasa, ada Nara Teater dan Teater dari Sanggar Sinariang Adonara.  Masih ada kelompok yang lain hanya tidak intens bikin pementasan.

Kapan teater bertumbuh di Flotim?

Sudah sangat lama karena ada tradisi pementasan drama dari SMA Seminari waktu liburan. Hanya masih sebatas drama, belum bertumbuh sebagai seni pertunjukan dalam arti luas. Juga persoalan kita adalah tersekat dari pergaulan teater yang lebih luas paling tidak secara nasional.

Kita tidak punya event teater secara rutin bagi kelompok-kelompok yang konsen dan serius menekuni teater. Belum lagi soal infrastruktur yang sangat minim kalau tidak mau dibilang tak ada.

Istimewa (Foto: Dok. Pribadi)

Masa pandemi ini, apakah ruang teater mati suri atau menemukan geliat barunya dalam kreativitas yang lain?

Saat pandemi, seniman teater Flores Timur memproduksi karya “Tani Tani”  yang merupakan proyek kolaborasi Multitute of Peer Gynts tahun 2020. Tana Tani menjadi salah satu dari 11  karya  yang diputar secara simultan selama 30 Oktober-30 November 2020  oleh Garasi Performance Institute di Yogyakarta.

Tahun 2021, Nara Teater memproduksi ‘Sade Bero’  yang tampil secara virtual pada Festival Teater Tubuh Indonesia Tahun 2021  yang berlangsung 16-20 Maret 2021 di Bandung.

Bagaimana sikap Anda sebagai seniman melihat teater dalam kaitan dengan budaya Lamaholot?

Teater adalah kerja kolektif yang solid dan sangat bersandar pada spirit dan mentalitas berproses (berlatih). Sehingga ia bisa menjadi ritus modern dalam merawat kohesivitas dan daya hidup kolektif.

Teater dapat menjadi sarana penggalian segala khazanah kultur dan kemanusiaan kita secara lebih serius dan bertanggung jawab. Pun dapat menjadi media edukasi dan corong kritisisme publik. Ini penting dalam melawan budaya instan, mental konsumtif, termasuk dunia pertunjukan hari ini yang jatuh pada popularisme, hiburan-hiburan cengeng dan sentimentil tanpa tanggung jawab edukasi publik.

Apakah teater itu perlu?

Sangat perlu. Di Eropa  dan negara-negara maju teater jadi tontonan bergengsi. Di kita, ajang yang jadi bintang, jadi puteri ini, putera itu dalam hitungan bulan, yang laris manis dan dikejar banyak orang.

Apa pesan dan harapan Anda pada HUT teater Internasional ini? 

Teater mengajarkan kerja yang serius dan bersungguh-sungguh mulai dari riset, observasi, latihan yang panjang, bagaimana gagasan ditemukan, dimatangkan. Bagaimana konsep pertunjukan sutradara dibaca, diterjemahkan dan dieksekusi oleh aktor, penata musik, penata gerak,  penata busana, penata cahaya,  serta penata  artistik (setting dan property pentas) dalam sebuah proses kreatif yang panjang.

Bagaimana mewujudkan gagasan yang abstrak dalam bentuknya yang konkret melalui kerja sama dan kerja bersama-sama yang solid dan intens dengan tingkat disiplin dan konsentrasi yang tinggi.

Teater mendidik manusia yang kuat, yang sadar ruang, sadar peran, nafas panjang dan artikulatif dalam menggali dan menyampaikan pesan-pesan kehidupan.

Pesannya jangan menyerah oleh kesulitan-kesulitan dalam berteater. Pun, jangan lekas puas. Tugas seniman adalah mencari secara terus menerus untuk menemukan cara pandang baru supaya hidup ini tidak stagnan. Tetap terbuka pada kemungkinan-kemungkinan perubahan. Menemukan kesulitan, kesukaran, mendalami agar kemudian bisa melampauinya

Yurgo Purab

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA