Sudah Ditetapkan jadi Desa Wisata, Desa Wae Sano Justru Terancam Proyek Geothermal

Labuan Bajo, Ekorantt.com –
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Manggarai Barat (Mabar) telah menetapkan Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang menjadi desa wisata sejak tahun 2020 lalu. Selain Wae Sano ada 72 desa lainnya yang ditetapkan oleh Pemkab Mabar.

Hal ini tertuang dalam Surat Keputusan (SK), Bupati Agustinus Ch. Dula, Nomor: 237/Kep/HK/2020 tentang perubahan atas lampiran keputusan Bupati Manggarai Barat Nomor: 27/Kep/HK/2020 tentang penetapan desa wisata di Kabupaten Manggarai Barat.

Selain Kecamatan Sano Nggoang, desa wisata itu juga tersebar di beberapa kecamatan, diantaranya Komodo, Mbeliling, Lembor, Lembor Selatan, Boleng, Pacar, Macang Pacar, Welak, Ndoso dan Kuwus.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Manggarai Barat, Agustinus Rinus, yang ditemui Ekora NTT, Rabu (17/3/2021) lalu, mengatakan, melalui penetapan desa wisata diharapkan memberi dampak langsung pada peningkatan ekonomi masyarakat.

Pihaknya kata dia, sudah melakukan kerja sama, Yayasan Sustur untuk melakukan penilaian desa. Ada beberapa aspek yang dinilai, yakni daya tarik wisata alam, daya tarik wisata budaya, sesibilitas, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, kelambagaan dan masyarakat, serta strategi pemasaran dan industri.

iklan

“Setelah nanti dievaluasi, perlahan-lahan nanti kita akan lakukan pembinaan, penataan destinasi, pemberdayaan SDM, ekonomi kreatif, sehingga perlahan nanti kita akan menyerahkan pengelolaan aktifitas ke desa melalui Bumdes maupun lembanga pegelolaan lain yang ada di desa,” ujar Agustinus Rinus.

Ia mengakui, pihaknya diperintahkan bupati dan wakil bupati agar memperkuat community based tourism. Khususnya berkaitan dengan sustainable tourism, dan juga pemberdayaan kepada masyarakat desa.

Dalam konsep jangka pendek pemerintah daerah akan melakukan kerjasama dengan asosiasi pariwisata internasional (API), juga bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung.

“Ini upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka memenuhi standar tenaga kerja di sektor pariwisata,” ujarnya.

Tetapi dalam skema jangka panjang pemerintah sedang memperjuangkan pembangunan, SMK Negeri Pariwisata dan Politeknik Pariwisata Negeri di Labuan Bajo.

Agustinus Rinus menjelaskan, tantangan terbesar Kabupaten Manggarai Barat saat ini, sumber daya manusia. Dari 256.000 penduduk, angkatan kerja 147.000 yang bekerja 122.000 penganggurannya 5.000, atau 3,72 persen dari total angkatan kerja.

“Dari total yang bekerja, 69 persen bekerja di sektor primer seperti pertanian, perikanan, peternakakan dan beberapa sektor lain. Dari 69 persen ini 63 persen berijazah SD. Berdasarkan kondisi sumber daya manusia, maka skema yang dibangun pemerintah daerah adalah pemberdayaan ekonomi kreatif,” ujarnya.

Maka Pemda kata dia, akan melakukan pendampingan dan pelatihan ekonomi kreatif. “Dalam jangka pendek ini kita memberdayakan ekonomi kreatif yang sudah ada di masyarakat. Sehingga dapat memberi dampak bagi kesejahteraan masyarakat,” katanya.

Respon Wakil Bupati

Sementara itu Wakil Bupati Yulianus Weng yang ditemui, Kamis (18/3/2021) lalu menjelaskan, STP Bandung salah satu Sekolah Tinggi Pariwisata Negeri terbaik yang ada di Indonesia, selain Bali.

STP Bandung akan membangun sekolah Diploma Satu (D1) pariwisata dan bekerja sama dengan Pemda. “Sistem belajar mereka itu 80 persen praktek di Hotel, 20 persen di teori. Mereka menjanjikan setiap yang sudah tamat langsung bekerja,” ujarnya.

“Hanya saja jumlahnya terbatas 100 orang, uang SPP nya nanti dicicil selama 10 kali setahun. Kita buat MOU dalu nanti,” tambahnya.

Ia menegaskan, penetapan 73 desa wisata bukan sekadar SK, tetapi berdampak pada peningkatan masyarakat yang ada di desa.

“Sehingga bukan hanya desanya saja yang ditetapkan sebagai desa wisata, tetapi tidak memberi dampak, misalnya peningkatan perekonomian masyarakat,” tegasnya.

Warga Tidak Butuh Geothermal

Kendati demikian penetapan Desa Wae Sano, justru diperhadapkan oleh wacana pembangunan proyek geothermal di desa itu. Proyek ini sudah diwacanakan sejak 2017 lalu. Hal ini pun memicu pro kontra dari warga sekitar.

Valentinus Emang (55), warga Nunang, Desa Wae Sano, Sabtu (15/5/2021), mengatakan, wilayah tersebut sangat cocok untuk mengembangkan potensi wisata.

“Tetapi kalau pariwisata digandengkan dengan geothermal, saya sangat tidak setuju,” tegasnya.

Valentinus menginginkan hidup aman dan tidak mau diganggu oleh orang lain. Ia juga menegaskan tidak menginginkan orang lain datang untuk membujuk, agar mendukung proyek geothermal.

“Kalau hanya pariwisata yang diprogam pemerintah, yang terpenting tidak mengganggu saya. Tetapi kalau geothermal yang diutamakan oleh pemerintah, saya otomatis tolak. Sampe saya mati,” tegasnya.

Warga lainnya Herman Hemat (70) mengatakan, semestinya pemerintah daerah mendorong untuk pengembangan desa wisata di desa Wae Sano.

“Sebaiknya seperti itu. Barang kali di sini, dilihat dari obyek yang ada lebih baik dorong itu wisata, dari pada geothermal. Apalagi geothermal letaknya berada pada pemukiman masyarakat,” ujarnya.

Herman menegaskan, ia tetap menolak pembangunan geothermal di desa itu. “Penolakan masyarakat adat sudah dimulai sejak 14 Mei 2018 silam. Dan sampai sekarang kami tetap pada prinsip menolak geothermal,” pungkasnya.

Sandy Hayon 

TERKINI
BACA JUGA