Webinar Literasi Manggarai di Persimpangan Jalan: Jangan Remehkan Komunitas Literasi

Ruteng, Ekorantt.com – Kerja membangun literasi yang baik harus dikeroyok banyak pihak. Bukan monopoli pemerintah atau pemerintah daerah. Jangan remehkan komunitas literasi. Mereka adalah ujung tombak yang harus didukung. Dukungan terhadap mereka harus konkret. Rangkul mereka dan biarkan komunitas-komunitas itu berjalan.

Ini harapan dari webinar yang dilaksanakan oleh Lima Pilar Foundation, pada Sabtu (29/5) yang mengambil tema, Literasi di Manggarai, Berada di Persimpangan Jalan.

Webinar tersebut menghadirkan 150 peserta dan empat narasumber, yakni Dr Mantovany Tapung (Unika St Paulus Ruteng), Dr. Frans Asisi Datang (UI), Tarsi Gantura, M.Pd (Pegiat literasi di Jakarta) dan Mikael Ambong (pengelola Taman Baca Jari-Jari Kasih, Ruteng). Webinar dipandu oleh Sixtus Harson, wartawan UcaNews sekaligus founder Lima Pilar Foundation.

Dr. Manto mengatakan bahwa komunitas literasi tidak muncul begitu saja. Di sana pasti ada kegelisahan dan keresahan untuk berbuat sesuatu atas kenyataan yang dilihat. Komunitas muncul sebagai respon terhadap kondisi rendahnya kualitas literasi. Mereka bagian dari Gerakan Literasi Nasional (GLN).

Namun ada ancaman terhadap hadirnya komunitas ini karena ketergantungan pada pihak lain (sumber dana dan kontribusi lain), mudah putus asa karena merasa “kami tidak didukung”, minimnya inovasi dan kreativitas, tidak memiliki alat ukur capaian dan melaksanakan kegiatan yang sekedar menyenangkan diri sendiri.

iklan

Namun Mikael Ambon dari Jari-Jari Kasih mengatakan bahwa tujuan awal, komitmen dan genuitas (keaslian) gerakan harus menjadi spirit dalam setiap kegiatan. Apapun pasti ada tantangan dan kesulitan. Tidak ada yang mudah.

“Komunitas Jari-jari Kasih tidak punya apa-apa dari awal sampai sekarang. Tapi saya mobilisasi semua jaringan saya di Jakarta untuk bersama-sama membangun dan mengembangkan literasi di tanah Manggarai ini. Beberapa sekolah di Jakarta menjadi mitra komunitas ini,” kisahnya.

“Mereka mengirim buku-buku, tas, seragam dan lainnya. Saya membagikan semua itu secara gratis dengan anak-anak sekolah di sini. Anak-anak datang baca dan manfaatkan wifi gratis yang kita punya. Mereka senang, kita bahagia,” sambung Mikael.

Karena itu, menurut Mikael, kekuatan komunitas bukan pada modal finansial, tapi modal sosial yakni jejaring. Jejaring ini harus dioptimalkan.
“Saya percaya, setiap gerakan yang baik akan mendapatkan dukungan dari banyak pihak, siapa pun itu,” ujar pendiri Fidei Press ini.

Namun Mikael mengingatkan pentingnya ketersediaan buku yang sesuai dengan level usia dan keinginan anak.

“Di sini ada banyak buku. Kita biarkan anak-anak untuk memilih sesuai dengan keinginan anak. Jangan paksa anak untuk membaca buku yang kita suka. Dia harus membaca yang dia suka. Yang paling penting adalah membangun kebiasaan membaca. Orang tua atau guru boleh datang menemani,” tegas Mikael.

Karena pentingnya literasi baca ini, Tarsi sangat mengharapkan agar sekolah- sekolah juga dapat mengikuti pola yang dibangun oleh komunitas.

Dalam pandangan Tarsi, sekolah saat ini bukan lagi tempat yang asyik untuk membaca. Anak-anak hampir tidak punya waktu sedikit pun untuk membaca di sekolah. Kurikulumnya tidak memberikan ruang itu. Mereka dijejali pelajaran dari pagi sampai siang.

Sekolah, kata Tarsi, tidak punya waktu khusus untuk membaca. Perpustakaan hanya untuk menumpuk buku pelajaran. Hampir tidak ada buku cerita di sana.

Karena itu, menurut Tarsi, sekolah-sekolah harus mendesain waktu khusus untuk membantu membangun kebiasaan membaca anak, sebagaimana kebiasaan di komunitas. Buku-buku cerita anak harus diadakan oleh sekolah-sekolah dan buku tersebut sesuai dengan konteks sosial-ekonomi anak.

“Buku-buku anak Jakarta atau Jawa secara umum tidak sesuai dengan anak-anak yang ada di Indonesia Timur. Kontekstualisasinya tidak masuk dalam pikiran dan imajinasi anak,” ujar Tarsi.

Itu artinya, lanjut Tarsi, keinginan dan harapan akan literasi yang memadai menuntut kebijakan yang baik dari sekolah dan pemerintah/pemda atau pengelola sekolah. Keberpihakan anggaran atau alokasi keuangan untuk pengadaan buku yang sesuai menjadi kebutuhan.

Jangan bicara literasi kalau kebijakan anggaran tidak pernah pro kepada anak-anak atau komunitas literasi. Itu hanya slogan politik yang hanya berbuih sesaat. Mengutip Paulo Coelho, novelis Brasil itu, Tarsi mengatakan ketika mau melakukan sesuatu, jangan lupa membawa cinta.

TERKINI
BACA JUGA