Ende, Ekorantt.com – Matahari perlahan merangkak naik pada Jumat (4/6/2021). Langit cerah. Marta Ndao (40) dan Maria Imakulata Ima (46) sibuk mengikat benang dengan tali untuk meracik motif tenun. Dua kakak beradik ini baru saja memulai pekerjaan. Jari-jari mereka tampak lincah mengikat benang. Sesekali bertukar cerita dibumbui pertengkaran kecil ala kakak adik.
Kediaman mereka di Kelurahan Roworena Barat, Kecamatan Ende Utara, pinggiran Kota Ende berbalut rimbunnya pepohonan. Terasa sejuk. Rumah itu sudah menjadi kantor bagi kedua penyandang disabilitas ini. Mereka terlahir dengan kelainan genetik dwarfisme. Akibat pertumbuhan terganggu, Marta dan Maria bertubuh kerdil.
Dengan keadaan demikian, mereka pernah mengalami perisakan. Cukup menyakitkan. Tapi tak membuat keduanya minder atau putus asa. Mereka tidak mengeluh dan malah berusaha untuk hidup mandiri dengan menenun.
Baik Marta maupun Maria belajar menenun dari almarhumah ibu. Mulanya hanya sekadar membantu. Lalu, keterampilan menenun itu terwariskan dengan sendirinya saat sang ibu menghadap Sang Khalik.
Kebutuhan hidup, mau tidak mau, menuntut mereka untuk bekerja. Pilihan satu-satunya adalah menenun. Pekerjaan ini dirasa lebih enteng karena bisa dikerjakan di rumah.
Sejak tahun 2015, usaha menenun mulai ditekuni secara serius. Dari pagi hingga malam, mereka mengerjakan kain tenun pesanan pelanggan. Di sela-sela kesibukan itu, mereka mengambil waktu jeda untuk melepas lelah, juga untuk mengisi kampung tengah saat lapar. Selebihnya rutinitas harian mereka diisi dengan aktivitas menenun.
Waktu untuk menghasilkan sehelai kain tenun, tutur Marta, sangat bergantung pada tingkat kesukaran motifnya. Motif yang sukar bisa memakan waktu tiga bulan pengerjaan. Sementara untuk motif kain tenun dengan motif yang tidak rumit bisa diselesaikan dalam waktu tiga minggu.
Menurut Marta, bagian yang memakan waktu lama adalah saat mengikat benang. Penenun tidak sembarang mengikat. Pola ikatnya pula sangat bergantung pada motif yang diinginkan.
“Kalau belum ada yang pesan tenun, kami minta upah dari penenun lain. Kami bantu ikat. Ada yang tidak tahu ikat untuk buat motif. Kami yang ikat. Setelah habis, kami antar,” tutur Marta.
Harga kain tenun berkisar 500-1 juta rupiah. Untuk pasarnya, Marta bilang, mereka dibantu oleh perantara yang membantu untuk menjual kain tenun. Ada pula pelanggan yang memesan langsung ke kediaman mereka.
“Ada yang pesan sesuai dengan motif mereka sendiri, kami tinggal kerja. Bahan kami siap. Pas hasilnya jadi, tinggal mereka bayar uang,” kata Marta yang diamini Maria.
Dalam sebulan, Marta dan Maria bisa mendapatkan penghasil 1 juta rupiah lebih dari menenun. Penghasilan itu sudah bisa membuat mereka hidup.
“Lumayan, buat beli makan,” ujar Maria singkat.
Cerita senada dialami Hardianto Wenggo (34), warga Onekore, Kota Ende. Ardian, demikian sapaannya, mengalami dwarfisme atau little people.
Ardian awalnya punya hobi untuk ‘bongkar bangkir’ barang elektronik. Karena minatnya kuat, pria yang bernama beken Fruz ini mengikuti dua kesempatan pelatihan yang difasilitasi oleh Dinas Sosial Kabupaten Ende. Pelatihan pertama di Makassar Sulawesi Selatan, lalu berlanjut di Bogor Jawa Barat
Sepulang dari pelatihan, Ardian merintis usaha servis barang elektronik dengan nama Fruztachion elektron pada tahun 2015. Ia menerima panggilan servis hingga ke luar Kota Ende, bahkan di kabupaten lain.
“Saya dulu terima servis panggil, sering main di luar kota dan di desa-desa. Saya dulu ada tempat di pantai utara, itu ada di pasar. Tapi sekarang sudah tidak aktif. Kalau ada yang kontak, saya jalan,” kenang Ardian.
Baru dua tahun belakangan, Ardian membuka tempat servis sendiri di Onekore. Tapi ia kadang-kadang keluar daerah kalau ada yang pesan. Sejauh ini, ia menerima jasa perbaikan LCD TV tabung, speaker active, handphone, televisi, rice cooker, kipas angin, dan barang elektronik lainnya.
Ardian menceritakan, modal awal untuk membuka jasa servis barang elektronik tidak sedikit. Ia merogoh kocek hingga puluhan juta untuk memulainya. Itu pun masih belum lengkap dan masih membutuhkan peralatan penunjang.
Bagi Ardian, penghasilan dari jasa servis barang elektronik cukup untuk menyambung hidupnya. Ia juga bisa membantu uang belanja untuk adiknya yang sedang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
Perjuangan untuk hidup mandiri dirasakan juga oleh penyandang disabilitas lain, Lusia Nggei (56). Mama Lusia tinggal di Jalan Udayana, Kota Ende. Ibu satu anak ini sudah mengikuti kursus menjahit sejak tahun 1998. Dua tahun kemudian, ia kembali mengikuti kursus.
Berbekal keterampilan yang dimiliki, Mama Lusia membuka jasa jahit. Ia menerima jasa jahit, mulai dari blus, sarung dari kain tenun, hingga pesanan baju tenun.
“Kalau ramai, bisa dapat Rp1 juta lebih. Kalau sepi, hanya dapat Rp500 rupiah,” terangnya.

Organisasi
Mama Lusia bergabung dalam kelompok Sa Ate, salah satu kelompok penyandang disabilitas yang difasilitasi oleh Yayasan Caritas Keuskupan Agung Ende (KAE). Para penyandang disabilitas yang bergabung pada kelompok itu datang dari berbagai macam latar belakang pekerjaan seperti penjahit, penenun, tukang servis elektronik, penjual oleh-oleh, dan pelaku UKM lain.
Menurut Mama Lusia, kelompok Sa Ate sangat membantu para penyandang disabilitas dalam berekspresi. Sa Ate juga menjadi ruang untuk berbagi pengetahuan antar-sesama penyandang disabilitas.
“Kita sering bertemu. Teman-teman bawa mereka punya hasil tenunan, kue, saya juga bawa saya punya hasil jahitan,” tutur Mama Lusia.
“Saya senang dalam kelompok karena bisa menghibur diri. Istilahnya ada teman banyak. Sering bertemu teman,” sambungnya.
Masih ada beberapa kelompok penyandang disabilitas lain seperti kelompok NdonEtir, Wua Mesu, dan Wolomoni. Setiap kelompok memiliki usaha produktif yang dikembangkan agar anggota hidup mandiri.
Untuk memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas, Yayasan Caritas KAE memfasilitasi terbentuknya Perkumpulan Penyandang Disabilitas Keuskupan Agung Ende (PPD-KAE) yang dideklarasikan pada 28 Mei 2021 silam. Kristina Pero dipercayakan sebagai ketua PPD-KAE.
Mama Tin, sapaan akrabnya, mengatakan, kehadiran PPD-KAE berusaha membantu para penyandang disabilitas dalam menyuarakan hak-haknya. Organisasi ini juga mewadahi usaha-usaha produktif anggota agar bisa hidup mandiri.
“Kita bantu yang sudah punya usaha. Sementara yang belum punya usaha, kita dorong mereka supaya buka usaha. Dengan itu, mereka hidup mandiri,” kata Mama Tin.
Mama Tin menuturkan, pihaknya sedang giat beranjangsana ke lembaga pemerintahan untuk membangun kemitraan. Tak lupa pihaknya bekerja sama dengan Yayasan Caritas KAE untuk melakukan konsolidasi mengingat penyandang disabilitas di Kabupaten Ende belum terdata dengan baik.
Menukil data Yayasan Caritas KAE, ujar Mama Tin, terdapat hampir 4.000. Itu pun masih berpatokan pada data tahun 2015 lalu. Karena itu pendataan jadi fokus PPD-KAE.
Mama Tin menjelaskan, PPD-KAE akan terus mendorong usaha ekonomi anggota komunitas agar diberi ruang promosi dan akses pasar dalam setiap kegiatan pemerintah melalui Dekranasda.
“Kami bangga. Pemerintah sangat memberi ruang kepada kami dalam mengakses berbagai layanan seperti perekaman data kependudukan bagi anggota difabel serta layanan dari badan POM atas berbagai produk kelompok difabel seperti minyak Midwol dan lain-lain,” jelasnya.
Pembangunan Inklusif
Pembangunan inklusif dengan melibatkan penyandang disabilitas terus diperjuangkan Yayasan Caritas KAE. Manajer Program Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM), Yayasan Caritas Keuskupan Agung Ende, Andi Paulino Ginta menegaskan bahwa hak-hak penyandang disabilitas di berbagai bidang, termasuk hak untuk menjadi bagian dari pembangunan yang inklusif harus terpenuhi. Hal ini memiliki pendasaran amanah UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
“UU tersebut telah mengatur secara lebih terperinci hak-hak penyandang disabilitas di berbagai bidang, termasuk hak untuk menjadi bagian dari pembangunan yang inklusif,” katanya.
Andi menjelaskan prinsip pembangunan yang inklusif ditujukan untuk memperbaiki kondisi ketidakmerataan yang terjadi akibat ketidakseimbangan kekuatan, suara serta pengaruh antar-individu atau antarkelompok (termasuk individu/kelompok penyandang disabilitas) dalam proses pembangunan.
“Pembangunan inklusif bisa memperkuat tatanan ekonomi dan tatanan sosial lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan. Tetapi tanpa adanya upaya mewujudkan pembangunan inklusif, penyandang disabilitas akan makin termarginalkan dan akan makin memperparah wajah kemiskinan dan ketimpangan,” tutur Andi dalam Focus Group Discussion (FGD) di Aula Kelurahan Rewarangga Selatan pada akhir Februari 2021 lalu yang kembali ia tegaskan.
Ia menambahkan dalam UU tersebut, dijelaskan, aspek pembangunan inklusif yang terdiri atas aspek kesejahteraan, akses layanan publik, akses terhadap pekerjaan, keberdayaan diri dan partisipasi pembangunan diakui sebagai hak-hak penyandang disabilitas. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pembangunan inklusif hanya akan terwujud jika hak-hak tersebut terpenuhi.
Sementara itu, Ketua Yayasan Caritas Keuskupan Agung Ende, Romo Sipri Sadipun mengajak Pemerintah Kabupaten Ende untuk memberikan kesempatan kepada komunitas penyandang disabilitas mengakses pembangunan di Kabupaten Ende.
Romo Sipri menegaskan bahwa penyandang disabilitas adalah rakyat dan umat. Untuk itu, menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak hidup, hak untuk pendidikan, hak beragama, hak kesehatan, dan hak penghidupan yang layak untuk mereka.
“Mereka terbatas tapi kita jangan batasi hak mereka. Mereka kurang tapi bukan berarti kita mengurangi hak mereka bahkan menghilangkan,” ujar Romo Sipri.
Dukungan Pemerintah
Dukungan Pemerintah Kabupaten Ende terhadap para penyandang disabilitas menunjukkan tanda-tanda baik. Salah satunya melalui pelayanan dokumen administrasi kependudukan.
Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Ende Lambertus Sigasare menjelaskan, penyandang disabilitas memiliki hak untuk memperoleh dokumen adminduk seperti Kartu Keluarga (KK), Akte Kelahiran, KTP-Elektronik, dan dokumen kependudukan lainnya.
“Tentunya peran dari para Camat, Lurah dan Kepala Desa, Kadus, RT dan RW sangat diharapkan dalam melakukan pendataan warga disabilitas pada wilayahnya dan melaporkan ke Disdukcapil,” terang Sigasare.
Bupati Ende, Djafar Achmad pun mengapresiasi langkah PPDKAE dan Caritas Keuskupan Agung Ende dalam memberdayakan kelompok marginal, terutama penyandang disabilitas. Dirinya meminta, perjuangan itu terus menyala demi kesejahteraan masyarakat Kabupaten Ende.
Bupati Djafar pun berkomitmen untuk memberi ruang kepada komunitas penyandang disabilitas dalam mengakses berbagai bidang pembangunan. “Kami apresiasi langkah pemberdayaan yang dimotori Yayasan Caritas bagi kelompok difabel,” kata Bupati Djafar.