Maumere, Ekorantt.com – Amran (64) yang akrab dipanggil Opa Amran masih setia bekerja sebagai tukang jahit sejak tahun 1980. Profesi itu ia geluti selama 42 tahun di Block 46, Pasar Tingkat Maumere, Kabupaten Sikka, NTT.
Opa Amran berasal dari Pariaman, Sumatera Barat. Ia bercerita, sejak umur 15 tahun, ia meninggalkan kampung halamannya dan pertama kali menginjak kaki di Flores tahun 1978, tepatnya di Larantuka.
Dua tahun kemudian, ia berpindah ke Maumere dan mulai tekun pada usaha menjahit sejak itu. Usahanya diberi nama Tia Taylor.
Seiring perjalanan waktu, ia mulai merekrut tenaga kerja asal Sikka untuk membantunya dalam usaha menjahit sekaligus membina dan memberi motivasi kepada orang muda agar mampu berdikari.
Terakhir Opa Amran merekrut Sance (22) asal Bola Hale Hebing dan Nelvi (20) asal Nilo, Kecamatan Nita. Sance dan Nelvi adalah alumni SMK Sint Gabriel Maumere pada Jurusan Tata Busana.
Sebagai perantau, Opa Amran hanya bisa memberikan kontribusi kepada Sikka yang ia cintai dengan menularkan keterampilan yang dimiliki kepada generasi muda Sikka.
“Sudah puluhan orang yang saya bina di Tia Taylor. Ada yang 8 tahun dan 5 tahun. Setelah mereka memperoleh keterampilan menjahit dari Tia Taylor mereka membuka usaha menjahit sendiri,” kata opa dari 6 (enam) cucu sambil menyebutkan usaha menjahit dari beberapa anak buahnya di Kota Maumere.
Tahun 2004, cerita Opa Amran, untuk mengencangkan usaha jahitnya, ia meminjam dari KSP Kopdit Pintu Air. “Awal pinjaman sebesar Rp 5 juta. Setelah selesai angsuran saya pinjam lagi Rp 12 juta,” kenang Amran.
Seiring dengan berjalannya waktu usahanya menggeliat. Setiap bulan dirinya bisa mengantongi Rp 5 juta lebih dan anak kerja bisa bawa pulang ke kampung halaman rata-rata Rp 2,5 juta.
Tapi dengan mata menerawang ayah dari 4 orang anak ini merasakan pukulan telak yang dialami selama 2,5 tahun saat pandemi Covid-19 membuat usaha menjahitnya tak berdaya.
“Hasil usaha menjahit tak seberapa bahkan tidak bisa dapat makan sehari. Kalau tidak percaya pak boleh tanya kepada anak Sance yang sudah tiga tahun lebih bersama saya”
“Tapi saya sampaikan kepada anak kerja jangan larut dalam keterpurukan ekonomi tapi bangkit di saat new normal dengan kerja keras dan berdoa. Suatu saat akan kita menuai kesuksesan,” katanya menasihati.
Untuk ongkos jahit, jelas Opa Amran, sangan bervariasi dari kisaran Rp 250 ribu hingga Rp 1,2 juta. “Ongkos jahit yang mahal adalah setelan jas dan celana,” paparnya.
Kepiawaian dalam menjahit Amran warisi dari kedua orang tuanya dan pamannya yang berprofesi juga sebagai penjahit. Walau usia uzur ia akan setia menekuni usaha jahit, sesetia mesin jahit yang menemaninya hingga akhir hayat hidupnya.
Sementara Sance dan Nelvi mengaku bangga dan senang bekerja bersama Opa Amran. Selain mendapatkan upah, keduanya mendapatkan ilmu praktis menjahit serta strategis pemasaran.
Keduanya berjanji suatu saat nanti akan membuka usaha menjahit baik di Bola maupun di Nilo.
“Saya memilih SMK jurusan Tata Busana karena setelah tamat langsung kerja. Lagi pula orang tua hanya seorang petani sehingga tidak ada biaya untuk melanjutkan kuliah,” ujar Sance yang sudah 3 tahun bekerja bersama Opa Amran.
Sedangkan Nelvi berujar merasa senang belajar menjahit di Tia Taylor.
“Selain kami diajarkan untuk menjahit opa Amran juga mengajarkan bagaimana memanage sebuah usaha,” jelas Nelvi.
Yuven Fernandez