Oleh: Gerardus Kuma Apeutung
Sebulan sudah safari literasi Duta Baca Indonesia Mas Gol A Gong menyambangi Nusa Flobamora. Hampir semua kabupaten di NTT didatangi rombongan Duta Baca Indonesia. Di setiap tempat yang dikunjungi rombongan Duta Baca Indonesia disambut gembira.
Sejak penerimaan (titik awal) di Labuan Bajo hingga pelepasan (titik akhir) di Timor, acara-acara digelar dengan sangat meriah. Aneka kegiatan digelar. Pembacaan puisi, pelatihan menulis, mendongeng, bincang-bincang literasi, seminar literasi, pertemuan dengan pejabat pemerintah, dan beragam kegiatan edukatif lainnya.
Kunjungan Duta Baca Indonesia bertujuan untuk menyebarkan virus membaca. Dengan tagline “Membaca itu Sehat, Menulis itu Hebat”, kampanye manfaat membaca digelorakan.
Membaca juga tidak hanya memperluas cakrawala pengetahuan dan menambah perbendaharaan kosa kata, tetapi juga menyehatkan jiwa dan menyegarkan pikiran.
Manfaat membaca bagi kesehatan sangat besar. Karena itu penting meluangkan waktu untuk membaca.
Mengutip Kompas.com, riset membuktikan orang yang membaca buku secara teratur memiliki tingkat stres dan depresi lebih rendah, juga perasaaan relaksasi yang lebih kuat dibandingkan mereka yang menonton televisi atau gemar memainkan ponsel (Kompas.com, 7 September 2018).
Tidak hanya kampanye tentang literasi, Duta Baca Indonesia juga membawa serta buku bacaan untuk dibagikan kepada masyarakat.
Fakta ini menunjukkan, membaca dan bahan bacaan adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Ketersediaan bahan bacaan merupakan suatu kemutlakan dalam upaya membangun budaya baca masyarakat.
Bagaimana mengajak orang membaca bila tidak ada bacaan yang tersedia? Sebagaimana terjadi selama ini, kampanye literasi membaca menghadapi kendala kurangnya bahan bacaan.
Pertanyaannya, bagaimana gerakan literasi kita setelah safari literasi Duta Baca Indonesia usai? Apakah euforia (baca semangat) akan kehadiran Duta Baca Indonesia masih kita hidupi kini? Atau sebaliknya semangat literasi yang dibawa Duta Baca Indonesia telah hilang tak berbekas seiring kembalinya Duta Baca Indonesia.
Sebulan lebih pasca safari literasi Duta Baca Indonesia, aktivitas literasi kita tetap biasa-biasa saja. Tidak ada gebrakan luar biasa yang kita buat. Sebagaimana aktivitas sebelumnya, gerakan literasi kini kembali sepi.
Literasi seperti kembali ke jalan sunyi. Sebuah situasi yang kita hadapi selama ini yang dapat dimaknai dalam dua hal berikut.
Pertama, jalan sunyi literasi berkaitan dengan budaya membaca masyarakat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa budaya membaca bangsa ini begitu rendah. Survei terkait budaya membaca kita selalu membentangkan indeks fakta yang memprihatinkan.
Pada tahun 2020, Perpustakaan Nasional mencatat Indeks Kegemaran Membaca Indonesia sebesar 55,74 persen atau masuk kategori sedang, di mana kegiatan membaca masyarakat empat kali dalam sepekan. Durasi membaca rata-rata 1 jam 36 menit. Jumlah buku yang dibaca rata-rata dua buku per tiga bulan. Jelas ini bukan kondisi yang kita banggakan.
Bila ditelisik, banyak faktor yang memengaruhi budaya membaca Indonesia. Secara sosiologis, ada persoalan pelik terkait budaya membaca. Masyarakat menganggap aktivitas membaca adalah tugas para pelajar. Kegiatan membaca hanya dilakukan orang-orang berpendidikan. Masyarakat biasa tidak perlu membaca.
Secara ekonomis, tantangannya sangat serius. Ini berkaitan dengan kemampuan masyarakat membeli bahan bacaan. Ketika kebutuhan pokok hidup belum terpenuhi, orang akan berpikir berkali-kali untuk membeli buku. Secara budaya juga terdapat kendala. Masyarakat Indonesia diwarisi budaya lisan secara turun-temurun. Karena itu transformasi budaya lisan ke budaya baca-tulis tidak bisa terjadi secara instan. Butuh waktu yang lama dan proses yang panjang.
Kedua, jalan sunyi literasi berkaitan dengan keterlibatan dalam mengentaskan persoalan rendahnya budaya membaca Indonesia. Gerakan literasi sebagai lokomotif peningkatan budaya membaca kurang diminati. Tidak banyak orang yang mau bergelut dalam gerakan ini.
Jalan literasi memang tidak mendatangkan keuntungan material. Hanya orang tulus dan mereka yang mau berkorban serta teguh menapaki lorong sunyi literasi. Jalan literasi adalah jalan pengorbanan. Di jalan literasi banyak yang dikorbankan. Waktu, tenaga, biaya. Tidak heran kita temukan ada banyak orang yang ikut tak terlibat dalam gerakan literasi.
Tagih Komitmen Pemerintah
Esensi dari gerakan literasi adalah kolaborasi di mana semua elemen perlu terlibat secara bersama. Pemerintah, masyarakat, LSM, pegiat literasi, pengelola taman baca masyarakat, pendidik perlu bekerja sama dalam mengampanyekan pentingnya membaca. Hanya dengannya jalan sunyi literasi dapat diretas.
Problem gerakan literasi selama ini salah satunya adalah belum terjalinnya kolaborasi. Jangankan bekerja sama, keterlibatan semua elemen dalam gerakan literasi pun belum nampak. Sejauh ini kampanye pentingnya membaca lebih banyak dilakukan oleh pegiat literasi, pengelola TBM, juga pendidik di lingkup sekolah. Lalu pemerintah?
Jangan tanyakan. Pemerintah paling terlibat dalam kegiatan-kegiatan seremonial. Sebagaimana dalam kunjungan Duta Baca Indonesia, pemerintah setiap daerah tampil terdepan dalam menyambut rombongan Duta Baca Indonesia. Kondisi yang berbanding terbalik dengan keterlibatan pemerintah dalam mendukung gerakan literasi selama ini.
Beberapa kabupaten/kota di NTT telah mendeklarasikan diri sebagai kabupaten literasi. Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur pun telah memiliki Perda Literasi. Namun, hal itu hanya sebatas narasi tanpa diikuti langkah konkret.
Pemerintah belum menunjukkan tekad yang serius dan komitmen yang kuat dalam mendukung gerakan literasi. Intervensi pemerintah secara nyata belum ada.
Gerakan literasi bukan selebrasi. Bukan pula hanya sekedar wacana yang dibahas dalam seminar. Atau dibicarakan dalam acara talk show. Apalagi hanya sebatas perda yang dijilid rapi. Tidak. Gerakan literasi menuntut komitmen dan butuh aksi nyata. Keterlibatan secara langsung dalam gerakan di lapangan.
Pada titik ini, komitmen pemerintah dalam mendukung gerakan literasi harus ditagih. Bila pemerintah peduli, gandenglah komunitas-komunitas literasi yang bergerak secara swadaya selama ini. Dukunglah semangat para pegiat literasi yang menyala dengan dana yang memadai!
Secara teknis, Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Daerah sebagai OPD yang mengurusi masalah baca-tulis jangan dibiarkan merana. Fungsinya yang strategis dalam membangun peradaban bangsa harus didukung oleh alokasi anggaran yang cukup. OPD ini jangan dibiarkan sekarat dengan menjadikannya tempat buangan aparatur bermasalah.
Sebaliknya, dinas ini harus diperkuat dengan dukungan politik anggaran yang memadai sesuai fungsi yang diemban. Di sisi lain, perlu didukung dengan penempatan ASN yang memiliki komitmen dan kreativitas sehingga mampu menciptakan inovasi dalam mengembangkan budaya literasi.
Berkaca pada kunjungan Duta Baca Indonesia, pejabat pemerintah harus lebih rajin blusukan untuk melihat dari dekat aktivitas literasi di kampung-kampung.
Dan untuk mengatasi kekurangan bahan bacaan, setiap pejabat yang mengunjungi suatu desa wajib membawa serta bahan bacaan untuk disumbangkan ke masyarakat dan atau komunitas baca di wilayah tersebut.
Kini rombongan Duta Baca Indonesia telah meninggalkan kita. Adalah tugas kita merawat spirit membaca yang disebarkan. Karena gerakan literasi tidak hanya tanggung jawab pihak tertentu saja, tetapi kolaborasi menjadi penting. Dan bila ini didukung penuh oleh pemerintah daerah, niscaya jalan sunyi literasi bisa diretas. Yakinlah!
*Penulis adalah Guru dan Pendidik di SMPN 3 Wulanggitang