Lonceng Kematian Pariwisata NTT

Oleh: Eto Kwuta*

Pariwisata Nusa Tenggara Timur sedang berada dalam satu musim di mana “bunyi lonceng kematian” perlahan menyebar luas ke dalam ruang-ruang kehidupan masyarakat.

Gemanya terdengar mendesak, sesak, dan akan menciptakan satu periode matinya pariwisata. Sebagai contoh, pemberlakuan kenaikan tarif masuk ke TN Komodo senilai Rp3,75 juta oleh Pemprov NTT. Ini akan mematikan pariwisata di Flores dan secara lebih luas NTT.

Atas dasar itu, mogok massal di Labuan Bajo pada Senin (1/8/2022) yang berujung pembubaran, penangkapan, hingga kekerasan yang dilakukan aparat keamanan, sejatinya adalah bentuk diskriminasi negara kepada pelaku pariwisata dan masyarakat.

Floresa menurunkan berita pada Senin (1/8/2022) dengan judul “Hari Pertama Aksi Mogok Pariwisata di Labuan Bajo: Pegiat Wisata Ditangkap dan Dipukuli Aparat, Situasi Mencekam”.

iklan

Hari yang sama, Tajuk Flores juga menulis, “Polisi Bersenjata Laras Panjang Tangkap Ketua Formapp Mabar di Labuan Bajo, Pelaku Pariwisata Dipukul dan Ditendang”.

Informasi lain terjadi sebelumnya pada Minggu (31/7/2022), Floreseditorial menurunkan judul “Kisruh Wisata Labuan Bajo, Puluhan Turis Asing Beralih dari TNK ke Riung”.

Pada tataran ini, ragam informasi tersebut menunjukkan, ada sebab maka ada akibat. Tentu, pasukan massa yang terdiri dari pelaku pariwisata dan juga masyarakat telah melakukan hal yang benar sebagai bentuk demokrasi. Mengapa? Karena masyarakat adalah tuan atas demokrasi.

Humanisme Ikut Mati

Dalam kenyataan, ketika aksi mogok yang digerakkan itu dikendalikan oleh pihak keamanan (Negara) dengan cara represif, maka demokrasi mati.

Banyak alasan untuk mengatakan, ini adalah segmentasi totalitarianisme yang membumikan aturan hukum dan hak-hak individu berada di bawah badan negara.

Lebih lanjut, adalah sistem politiknya yang menunjukkan satu orang atau partai menjalankan kontrol politik absolut atas penduduk. Selanjutnya, monopoli diaktifkan hingga menjadikan uang sebagai bagian paling sentral. Maka, sisi humanisme tak lagi mempunyai arti.

Manusia pemilik sejati tanah, wilayah, dan bumi (yang memang dipelihara oleh Negara), hanyalah seperti binatang. Lahirlah homo homini lupus est karena manusia dihadapkan dengan konflik kekuasaan.

Secara alamiah manusia akan memerangi manusia yang lain. Manusia akan menjadi serigala bagi manusia lain (Homo Homini Lupus) dan akan terus saling menyerang. Di sini, aspek kemanusiaan tidak dipikirkan lagi. Yang ada hanyalah perang. Siapa kuat dia menang, siapa kalah dia akan mundur.

Realitas ini, menyata dalam konflik kepentingan terkait pariwisata, khususnya kenaikan tarif masuk ke TN Komodo karena ada kelas-kelas bisnis tertentu yang sudah mendapat izin pinjam pakai lahan di dalam kawasan TNK seperti PT Syinergindo Niagatama (17 ha), PT Komodo Wildlife (151 ha) dan PT Flobamor (BUMD milik Provinsi NTT) dan mitranya.

Lonceng Kematian

Labuan Bajo menjadi pariwisata super premium. Apa itu menguntungkan? Melihat sepak terjang kelas-kelas bisnis di dalam kawasan TN Komodo dan besaran kenaikan tiket masuk tersebut, maka lonceng kematian pariwisata Flores sudah dimulai.

Lebih parah lagi, ketika sebegitu cepatnya kelompok-kelompok wisata harus mengumumkan pernyataan mendukung kenaikan tarif Rp3,75 juta. Bagai disambar petir, aksi mogok massal berubah menjadi seperti sebuah cerita dengan ending yang menggantung. Muncul banyak pertanyaan. Mengapa? Ada apa? Kok bisa?

Dinamika ini membawa penulis kepada satu opini bahwa, lonceng kematian pariwisata di Labuan Bajo itu telah berdampak luas ke kabupaten lain di Pulau Flores. Dampaknya seperti apa, konteks ini sudah terjadi dan akan muncul lagi selama tarif itu masih bertengger pada Rp3,75 juta.

Yang sudah terjadi, wisatawan membatalkan kunjungan ke Flores melewati pintu utama di Labuan Bajo. Hal lainnya, dari Labuan Bajo, wisatawan akan memilih untuk melanjutkan perjalanan ke Ngada, Nagekeo, Sikka, sampai Flores Timur.

Pilihan utama ke TN Komodo dan sekitarnya akan dibatalkan. Hasilnya, kabupaten lain di Flores dan NTT secara luas akan menyambut kedatangan wisatawan tersebut. Bukan tidak mungkin, proses ini akan memperlambat perputaran ekonomi kerakyatan di dalam kota super premium itu.

Perang besar yang bakal terjadi, sisi kerakyatan mati, tetapi monopoli korporasi mendominasi hingga kemanusiaan itu diabaikan. Apakah lebih bagus mendukung perusahan atau memilih lebih banyak manusia datang ke Labuan Bajo?

Blessing in Disguise

Percaya atau tidak, blessing in disguise lahir dalam situasi ini. Carut-marut pariwisata yang keras di ujung barat Labuan Bajo akan melahirkan kisah indah. Ada manfaat yang tidak terduga. Ada kekuatan di tengah badai yang datang menghampiri. Mungkin?

Hemat penulis, ketika lonceng kematian tadi sudah menutup ruang gerak pintu masuk di kota premium Labuan Bajo, maka kabupaten lainnya harus membuka mata dan membunyikan ‘lonceng kehidupan’.

Bupatinya tidak boleh tidur. Para Kadis harus melihat dengan jernih, apakah ada keuntungan di tengah perang atas nama pariwisata?

Penulis memberikan 2 (dua) pilihan untuk membentengi pariwisata yang disuarakan oleh Pemkab kepada desa-desa dalam wilayah kabupaten di Flores dan juga di luar Flores.

Pertama, tangkap peluang. Gerbang emas wisatawan yang berkunjung ke Labuan Bajo perlahan menjadi minus. Wisatawan akan berkurang dan siap memilih tur ke kabupaten lain. Maka, kerja keras Pemkab adalah mengakomodir desa-desa wisata supaya menghidupkan pariwisata berbasis masyarakat.

Dengan cara apa? Bupati harus turun ke bawah untuk mengatur kepala desa yang tidak tahu melakukan revolusi desa berbasis pariwisata.

Kedua, membangun infrastruktur sosial. Suatu infrastruktur sosial ditopang oleh tiga kekuatan besar, yaitu konektivitas (connectivity), berbagi (sharing) dan kerja sama (collaboration). Jika Pemkab mempertimbangkan infrastruktur sosial dengan bijak, maka infrastruktur ekonomi akan terbuka lebar.

Pertimbangannya, masyarakat tetap menjadi subyek yang dipakai untuk membangun keberlanjutan pariwisata itu sendiri.

Oleh karena itu, NTT harus belajar dari Bali dalam menata pariwisata berbasis ekonomi kerakyatan secara lebih humanis.

*Editor di Surat Kabar Ekora NTT

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA