Oleh: Bayu Tonggo*
Di tengah nyentrik-nya kepemilikan mamon oleh kaum berjubah dan menguatnya pesan Gereja: “kaum berjubah mesti bijak dalam menggunakan mamon”, Seminari Tinggi Interdiosesan St. Petrus Ritapiret melalui Sie Akademik menyelenggarakan Seminar Komunitas bertajuk: “Jebakan Mamon dalam Ziarah Kaum Berjubah (Membedah konsep Kepemilikan Pribadi dari Perspektif Etika Teologis)”.
Seminar ini berlangsung pada Minggu, 6 November 2022 (08:00 – 11:45 WITA) dan bertempat di Saint Peter’s Hall, Ritapiret. Seminar komunitas Ritapiret ini menghadirkan keynote speaker, RD. Dr. Petrus Sina dan Fr. Jean Jewadut sebagai moderator.
Dr. Petrus Sina atau yang akrab disapa Romo Rus adalah seorang Imam Keuskupan Agung Ende. Pada tahun 2014-2016, RD. Rus melanjutkan studi master di Universidad de Navarra, Spanyol.
Kemudian pada tahun 2017 hingga tahun 2021, ia melanjutkan studi doktoral teologi di Universidad Pontificia de Salamanca, Spanyol. Saat ini, ia bekerja sebagai staf formator di Seminari Tinggi Interdiosesan St. Petrus Ritapiret dan sebagai dosen di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero, Maumere.
Tulisan ini akan mengungkapkan beberapa catatan reflektif penulis atas diskursus makalah RD. Rus dalam Seminar tersebut.
Catatan reflektif ini, tentu pertama, sebagai bagian dari pengejawantahan ungkapan khas Sokrates: “Hidup yang tidak direfleksikan (diperiksa) tidaklah layak dijalani”.
Maka dari itu, penulis mengambil fakta seminar ini sebagai ikhtiar diri untuk terhindar dari kedangkalan pengetahuan dengan belajar dari apa yang sudah dilalui sebelumnya.
Kedua, melalui refleksi ini penulis berpikir perlu untuk membagikan butir-butir pemikiran RD. Rus di hadapan pembaca sekalian yang turut bergumul dalam pertanyaan: apakah bisa dibenarkan secara moral Katolik, jika Imam dan calon Imam memiliki mamon? Manakah pengaruh-pengaruh negatif dari mamon terhadap kehidupan Imam dan calon Imam? Bagaimana perjuangan moral untuk mengatasi pengaruh-pengaruh negatif dari mamon? Tiga pertanyaan yang juga menjadi basis penelaahan RD. Rus dalam pemaparan makalahnya.
Pada tempat ketiga, sajian tulisan reflektif ini sebetulnya mau menghidupkan seruan Gereja dalam ragam ajarannya kepada kaum berjubah: “agar mampu keluar dari jebakan mamon”.
Bahwa ketika kaum berjubah terjebak dalam mamon, kaum berjubah harus mampu mengambil keputusan yang cepat dan tepat. Dengan mampu mengambil keputusan secara tepat dan cepat, maka pada saat itulah sebetulnya kaum berjubah mengenakan “kebijaksanaannya”.
RD Rus membagi pemaparan makalahnya ke dalam lima bagian. Pertama, catatan pendahuluan. Kedua, beberapa contoh kasus jebakan mamon dalam ziarah kaum berjubah, yang dibahasakan RD. Rus: “tatkala mamon menembus tembok biara”. Ketiga, konsep kepemilikan pribadi dalam tradisi Gereja. Keempat, gagasan perjuangan moral dari RD. Rus untuk mengatasi jebakan mamon. Kelima, catatan penutup.
Wajah Ganda Mamon
Dalam pemaknaan etimologis, mamon (bahasa Aram) berarti kekayaan, uang, harta milik pribadi, hak milik atau kepemilikan pribadi atas barang-barang duniawi. Sementara teks-teks tua, mengidentikan mamon dengan keserakahan dan hawa nafsu terhadap barang-barang duniawi dan karena itu sering dihubungkan dengan ketidakadilan, ketidakjujuran, dan ketamakan.
Bagi RD. Rus, kepemilikan atas mamon pada ranah kehidupan manusia merupakan sebuah problem antropologis, sosial, ekonomis, politis, dan sudah tentu, moral. Dewasa ini dalam perspektif ekonomi modern, keberadaan mamon telah menciptakan sebuah kondisi fundamental bagi penciptaan nilai.
Mamon telah mengganti fungsi teoretis, praktis dan sosial dari Tuhan. Dia telah menjadi fundamen dari dunia modern, menjadi dasar dari persepsi tentang obyektivitas, kebebasan, kekayaan, dan realitas. Dia menjadi salah satu cara yang diandalkan untuk melihat dan menilai realitas. Dia menjebak manusia dengan janji kekayaan dan ancaman kemiskinan.
Salah satu bentuk penguasaan mamon atas kehidupan manusia menurut RD. Rus saat ini, tampak dalam tindak “devosi kepada mamon”. Manusia meletakkan mamon dalam posisi “ilahi” (ditinggikan). Dengan posisi ini maka keberadaan mamon akan terlihat memerintah dunia dan memaksa manusia hidup di bawah bayang-bayang kekuasaannya, sekalipun manusia harus berhadapan dengan realitas kehidupan yang pahit dan keras.
Meski demikian, menurut RD. Rus, sejatinya mamon an sich memiliki wajah ganda. Pada satu sisi, terdapat konotasi negatif terhadapnya seperti yang tertera dalam teks Injil Matius. “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon” (Mat 6: 19-24). Namun, di sisi lain, terdapat pandangan yang lebih positif terhadap eksistensi mamon atau barang-barang duniawi. “Allah melihat bahwa segala sesuatu yang diciptakan-Nya itu baik adanya” (Kej 1:1-2:7).
Dua pandangan yang berbeda ini, sejatinya menyingkapkan pengaruh-pengaruh esensial dari mamon. Bahwa ia (mamon) dapat membawa pengaruh yang baik sekaligus pengaruh yang buruk dalam kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan kaum berjubah (uskup, imam, biarawan-biarawati, dan calon imam).
Tatkala Mamon Menembus Tembok Biara
De facto, menurut RD. Rus mamon telah menembus tembok biara; telah menjebak kaum berjubah ke dalam suatu lingkaran kehidupan yang tidak etis dan anti-kristiani. Hal itu terbukti lewat kecenderungan yang makin besar dan tidak terkontrol dari para Imam dan calon Imam untuk mengorientasikan hidup mereka pada hal-hal duniawi. Oleh karena keserakahan atas mamon, kaum berjubah telah menciptakan skandal moral publik sekaligus mendestruksi bangunan kehidupan moral personal.
Pada skala kecil, RD. Rus menyebut lima kasus jebakan mamon dalam ziarah kaum berjubah. Pertama, sejumlah Imam telah meninggalkan jalan Imamat lantaran terjebak oleh perkara mamon. Kedua, sejumlah Imam mengabaikan tugas-tugas pokok pelayanan Kerajaan Allah lantaran menomorsatukan urusan mamon.
Ketiga, sejumlah Imam menunjukkan relasi sosial yang tidak harmonis dengan sesama (rekan Imam, calon Imam, dan umat Allah) hanya karena ambisi tak terbendung untuk memperoleh mamon.
Keempat, sejumlah Imam enggan menggunakan mamon untuk kepentingan kesehatan pribadi, alhasil, rekening bank membengkak, sementara kondisi kesehatan mengempis. Kelima, sejumlah Imam melakukan kerja sama bisnis dengan kapitalis tertentu dengan tujuan memperkaya diri dan keluarga, tetapi mengabaikan prinsip-prinsip etika bisnis seperti kejujuran, truth, fairness, konfidensialitas, dll.
Keenam, pada sketsa yang lain tapi sekiblat, terpapar fakta bahwa para calon Imam dewasa ini gandrung mengejar kenikmatan korporal melalui rokok, minuman beralkohol, kecanduan bermain game, dan pola hidup boros atau berfoya-foya dengan uang pemberian orangtua.
Kemudian pada tataran mondial, RD. Rus menyebut contoh kasus Uskup Jerman, Frans-Peter Tebartz-van Elst, yang diberhentikan oleh Paus Fransiskus pada tahun 2013, akibat tindakannya menghabiskan uang 40 M euro untuk membangun rumahnya. Selain itu RD. Rus juga menyebut kasus pada tahun 2021, publik Spanyol dihebohkan oleh kasus Uskup Keuskupan Solsona, Xavier Novel, yang terjebak oleh kuasa mamon lalu menikahi seorang penulis novel erotis.
Dari beberapa contoh kasus tersebut, RD. Rus menyimpulkan bahwa sebagai sarana universal, perolehan mamon telah menjadi tujuan itu sendiri. Manusia modern, tak terkecuali kaum berjubah, semakin peduli dan mencurahkan perhatian yang lebih besar terhadap perolehan mamon. Di sini, manusia menemukan “keilahian mamon”.
Mamon yang semula sebagai ukuran harga dan alat pembayaran, kini dikonversikan menjadi nilai tertinggi, yang digunakan untuk mengukur semua nilai lainnya dan melalui mana mereka dapat diperoleh.
Konsep Kepemilikan Pribadi dalam Tradisi Gereja
Dalam tradisi Gereja, sebetulnya terdapat konsep-konsep kepemilikan pribadi, di antaranya sebagaimana ditampilkan RD. Rus, dari perspektif Kitab Suci Perjanjian Lama, Kitab Suci Perjanjian Baru, perspektif era patristik (Bapa-bapa Gereja) dengan merunut secara khusus pemikiran St. Agustinus, era Tomistik (Abad Pertengahan) dengan menilik pandangan St. Thomas Aquino, era modern dengan tradisi filosofis-yuridis-nya, era deklarasi-deklarasi pertama tentang HAM (abad XVIII), serta era ASG, mulai dari Rerum Novarum (1891) di abad XIX hingga abad XXI.
Dengan menilik beberapa konsep kepemilikan pribadi sepanjang sejarah Gereja tersebut, RD. Rus mengambil lima poin penting yang bisa disimpulkan, pertama, kepemilikan pribadi terhadap mamon adalah hak kodrati.
Kedua, fungsi sosial dari kepemilikan pribadi dan intervensi publik. Ketiga, dalam kasus konfliktual antara hal yang pertama dan kedua di atas, ditegaskan keunggulan fungsi sosial dari kepemilikan pribadi atas hak kodrati terkait kepemilikan pribadi.
Keempat, tujuan universal dari barang-barang material ciptaan Allah. Kelima, penggunaan yang arif dan bijak terhadap mamon.
Perjuangan Moral Mengatasi Jebakan Mamon
Untuk menghadapi ragam kasus jebakan mamon dalam ziarah kaum berjubah, terdapat dua hal yang menurut RD. Rus dapat diperjuangkan. Pertama, kebijaksanaan moral dan kedua, kemiskinan injili.
Kebijaksanaan Moral
Kebijaksanaan moral (prudencia) merupakan salah satu dari empat keutamaan kardinal dan didefinisikan sebagai habitus (kebiasaan yang mesti diulang-ulang) yang memungkinkan rasio membuat pertimbangan secara lurus dan menentukan sesuatu yang harus dilakukan.
Thomas Aquinas menyebut kebijaksanaan sebagai “aturan atau pedoman yang lurus dari tindakan” dan ia adalah “ibu dari segala keutamaan” (la madre de todas las virtudes). Karena itu, kebijaksanaan adalah keutamaan yang mengorientasikan dan memimpin semua keutamaan yang lain, karena dia menunjukkan tentang “apa”, “kapan” dan “bagaimana” harus bertindak.
Selain itu, dia menentukan apakah perlu atau tidak perlu mengabaikan suatu tindakan, atau juga apakah layak memilih suatu opsi tertentu di antara sekian banyak kemungkinan. Dengan ini, kebijaksanaan berguna sebagai petunjuk yang aman bagi tingkah laku moral yang lurus. Dalam mengenakan kebijaksanaan, ada beberapa momen yang mesti diperhatikan untuk dilewati: pertama, pertimbangan inteligencia; kedua, keputusan kehendak; ketiga, meminta nasihat; keempat, doa.
Bagi RD. Rus, kebijaksanaan merupakan keutamaan moral yang penting dalam menyikapi jebakan mamon, mengingat manusia selalu disuguhkan atau dibanjiri setiap detik oleh godaan akan mamon. Tanpa kebijaksanaan moral, kaum berjubah akan terjebak oleh kekuasaan destruktif dari mamon.
Sebaliknya, dengan kebijaksanaan moral kaum berjubah akan selalu mencari apa yang adil dan baik, membuat discerment terhadap kehendak Allah yang terungkap dalam hukum Ilahi (ley divina), dan mampu membaca data-data pengalaman manusiawi dan tanda-tanda zaman dalam terang Kebijaksanaan Ilahi.
Kemiskinan Injili
RD Rus mengutarakan, keberagaman argumentasi dari tatanan historis dan eksistensial telah berkontribusi pada kelahiran dan perkembangan teologi kemiskinan injili atau kemiskinan spiritual.
Secara gradual, telah terjadi peralihan dari pertimbangan tentang kemiskinan sebagai fenomena sosial kepada pemahaman yang lebih spiritual, sambil membangun pengertian tentangnya sebagai suatu tindakan fundamental dari iman, karakteristik dari bangsa baru yang terpilih dan Mesias masa depan.
Selain itu, RD. Rus juga menambahkan, perjuangan mengatasi realitas kemiskinan sosial melalui jalan kemiskinan spiritual adalah perjuangan yang menuntut kesetiaan dan kontinuitas, tanpa harus menjanjikan penghapusan absolut atas faktum kemiskinan di dunia ini.
Itulah sebabnya, realisme Kristen, di satu pihak, mengapresiasi upaya-upaya kreatif untuk mengentas kemiskinan, tapi di sisi lain berhati-hati terhadap aneka posisi ideologis dan keyakinan mesianik yang menyokong ilusi bahwa ada kemungkinan untuk mengentaskan secara absolut semua realitas kemiskinan dari dunia ini.
Komitmen moral untuk menghidupi kemiskinan spiritual, menurut RD. Rus mesti dinyatakan juga dalam perubahan gaya hidup seseorang berhadapan dengan mamon yang diciptakan oleh kebaikan Allah dan diproduksi oleh aktivitas manusia. Perubahan gaya hidup yang mengikuti garis-garis orientatif dari Injil memang sangat dituntut dari setiap anggota Gereja, terutama dari kaum berjubah.
Itulah sebabnya, di hadapan kekuasaan destruktif dari mamon yang tampak melalui konsumerisme, hedonisme, dan individualisme, Paus Fransiskus mengingatkan Gereja, terutama kaum berjubah, tentang pentingnya membangun gaya hidup baru.
Gaya hidup baru yang meninggalkan gaya hidup konsumeristis, hedonistis, dan individualistis, menuju gaya hidup hemat, sederhana, miskin dan solider sesuai ajaran Injil. Dengan adanya perubahan gaya hidup sekurang-kurangnya akan membawa tekanan yang sehat pada mereka yang memegang kekuasaan politis, ekonomis, dan sosial (Laudato Si no. 204. 206. 208).
Dalam catatan penutupnya, RD. Rus menegaskan, sejatinya kaum berjubah tidak dilarang untuk memiliki mamon. Sebab kepemilikan atas mamon merupakan hak kodrati yang melekat secara inheren pada dimensi kebebasan dasariah manusia.
Yang terutama harus diperhatikan adalah fungsi sosial dari mamon dan tujuan universal dari barang-barang duniawi tersebut. Pengabaian secara sengaja, sadar dan bebas terhadap hal-hal tersebut menyebabkan kaum berjubah terjebak dalam skandal atau kasus-kasus moral terkait mamon, yang sudah pasti merugikan diri sendiri dan banyak orang lain.
Manusia menurut RD. Rus bukanlah tuan atau pemilik absolut dari mamon atau barang-barang duniawi, melainkan hanyalah administrator dari barang-barang duniawi yang Allah percayakan di tangannya untuk penggunaan oleh semua dan bagi semua orang. Karena itu, adalah tidak etis jika manusia “mengabdi mamon” atau “menjadikan diri sendiri hamba dari mamon”.
Sebagai catatan akhir, penulis ingin menukil ungkapan RD. Rus dalam pemaparan makalahnya, sebagaimana dikutipnya dari sebait puisi yang ditulis oleh penyair Indonesia, Arswendo Atmowiloto bertajuk “Aku Mendamba Romo yang…”. Sebait puisi itu berbunyi demikian:
“Aku mendamba romo yang…Sekali mengenakan jubah, jangan berubah// jangan pernah mengubah, walau godaan mewabah// bahkan sampai ada laut terbelah// kenakan terus jubahmu”.
Sebait puisi Arswendo ini, sekurang-kurangnya juga menjadi dambaan dan harapan Gereja umat Allah. Bahwa di tengah ragam kasus jebakan mamon yang melanda kehidupan kaum berjubah saat ini, kaum berjubah mesti berbuat sesuatu untuk tetap “bertahan dalam jubahnya”.
Tindakan-perbuatan yang diambil, akan mengukur sejauh mana kebijaksanaan dimiliki oleh kaum berjubah. Selamat bertindak bijak terhadap mamon dan terima kasih untuk RD. Rus.
*Anggota KM Rita English Club (REC) Ritapiret