Saat Penenun di Flores-NTT Mengakses Layanan (Digital) Perbankan

Maumere, Ekorantt.com – “Kami mau beli beras bagaimana, kalau tidak tenun,” ujar Marselina Emilia Gau (40) dengan nada tegas sembari menyeka keringat di dahinya.

Langit biru sudah tidak tampak, tertutup awan putih. Tapi hawa udara sangat panas. Tidak heran bila badan terasa gerah. Marselina acuh tak acuh dengan kondisi cuaca sore itu.

Di dalam dapur, ia duduk beralaskan sak semen bekas dengan kedua kaki menjulur ke depan. Kedua tangannya merapikan benang yang terbentang di atas kaki, menggunakan sebuah kayu. Benang-benang itu telah diracik sehingga membentuk kain motif belah ketupat.

Ia sudah menenun selama seminggu. Kalau tidak ada halangan, kain bermotif belah ketupat itu akan selesai seminggu lagi.

“Saya biasa tenun satu kain selama dua minggu. Itu saya kerja dari pagi sampai sore. Saya istirahat pas makan siang saja,” kata Marselina kepada Ekora NTT yang mendatangi kediamannya di Desa Nelle Urung, Kecamatan Nelle, Kabupaten Sikka, akhir Januari lalu.

iklan

Marselina biasanya menyelesaikan sehelai sarung tenun ikat selama dua minggu, dari proses ikat, membuat motif, hingga proses menenun itu sendiri.

“Anak saya yang sulung sudah SMA. Dia bisa bantu untuk ikat supaya dia juga belajar,” kata ibu tiga anak ini.

Setalah selesai dikerjakan, Marselina pergi ke Pasar Alok, pasar tradisional di Kota Maumere, untuk menjual sarung tenun ke para pengepul yang sudah menjadi langganannya. Pengepul itulah yang akan menjual sarung tenun kepada para konsumen.

Marselina mematok harga sehelai sarung tenun dengan harga Rp500 hingga Rp700 ribu. Itu sangat bergantung pada motif dan tingkat kerumitan dalam menenun.

Bila dikalkulasi, biaya yang ia keluarkan untuk bahan baku sebesar Rp200 ribu. Artinya, ia mendapat untung Rp300 ribu hingga Rp500 ribu dari sehelai sarung tenun.

Sayangnya, Marselina tidak menghitung biaya tenaga yang ia keluarkan dalam proses pengerjaan selama dua minggu.

“Itu sudah. Kita tenun hanya mau beli beras. Apalagi kalau bulan-bulan begini dapat uang sangat susah. Ya, kita jual kain saja,” tutur Marselina.

Marselina menenun untuk bertahan hidup. Uang hasil jualan sarung tenun dipakai untuk memenuhi kebutuhan pangan sekaligus biaya pendidikan anak.

Dengan pikiran demikian, ia tidak pernah mengakses layanan perbankan demi memperluas usahanya. Ia hanya hidup dari perputaran uang dari menenun itu sendiri.

“Kalau saya dapat uang dari jual tenun, saya beli bahan baku di toko. Nanti saya tenun lagi, lalu jual. Begitu seterusnya,” tutur istri dari Yulius Moa ini.

Baru sekali ia berurusan dengan bank. Saat itu, ia dan suaminya meminjam uang untuk membeli sepeda motor.

“Setelah itu tidak lagi. Saya tidak pernah pinjam uang untuk usaha tenun,” ujarnya.

Magdalena Kartini sedang menenun di pusat sanggat Tati Nahing, Desa Lepolima, Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka

Pengalaman yang berbeda dialami oleh Magdalena Kartini (48), seorang penenun yang merintis sanggar Tati Nahing di Desa Lepolima, Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka. Sanggar ini memiliki 12 anggota yang terdiri dari ibu-ibu, bapak-bapak, dan anak muda.

Karena terorganisir dalam satu wadah bersama, tutur Kartini, para penenun dididik dan mesti belajar manajemen keuangan. Hal itu didukung oleh kelengkapan struktur dalam manajemen sanggar, mulai dari ketua, bendahara, bagian pemasaran, hingga anggota.

Sebagai ketua sanggar, Kartini tidak hanya mahir menenun, tetapi juga mampu mengelola manajemen keuangan sanggar. Hal tersebut dilakukan mengingat bahwa menenun juga adalah aktivitas ekonomi, di samping bahwa menenun itu merupakan sebuah tradisi.

“Kita di sini hidup dari kain tenun. Kita mau tidak mau harus hitung betul sampai biaya sebotol gelas Aqua,” kata Kartini saat ditemui di pusat sanggar Tati Nahing awal Februari lalu.

Berdasarkan pengalamannya selama ini, Kartini mengeluarkan biaya produksi sebesar Rp500 ribu untuk sehelai kain tenun ikat. Dana sebesar itu dipakai untuk bahan baku, tenaga, hingga kebutuhan air minum saat menenun.

“Saat tenun, kita lebih banyak duduk. Minum air harus banyak. Kita hitung juga air yang diminum,” ujarnya.

Sanggar Tati Nahing pun telah mematok pola dan model yang baku dalam menenun. Hal itu memudahkan anggota saat bekerja.

“Kita kan sekarang langgan dengan pembeli di Jakarta. Kita harus jaga kualitas supaya pelanggan tidak kecewa,” tuturnya.

Dalam sebulan, seorang anggota Tati Nahing bisa menghasilkan empat kain tenun ikat. Satu helai dijual dengan harga Rp1,5 juta hingga Rp1,7 juta. Bila dikalkulasi, seorang penenun bisa mendapatkan keuntungan Rp4 juta hingga Rp4,8 juta, setelah dikurangi biaya produksi.

“Nanti 10 persen dari hasil penjualan akan disisihkan untuk organisasi,” tuturnya.

Harga kain tenun di sanggar Tati Nahing terbilang lebih mahal karena para penenun masih mempertahankan proses pewarnaan alami. Semua warna pada kain tenun dihasilkan dari bahan-bahan lokal seperti mengkudu, akar kayu, dan lain-lain.

Saat melakukan pembayaran, kata Kartini, para pembeli mentransfer uang lewat rekening bank milik sanggar. Kalau yang berkunjung langsung ke sanggar, mereka membayarnya secara cash.

Sanggar Tati Nahing telah melayani pembayaran menggunakan QRIS sejak tahun 2020. Kala itu, perbankan gencar mensosialisasikan pembayaran non tunai demi menghindari aktivitas fisik di tengah pandemi.

Kartini menuturkan bahwa dirinya tidak paham dengan sistem pembayaran QRIS. Ia dibantu oleh anaknya yang mengerti menggunakan aplikasi itu lewat handphone android.

Hingga sekarang, belum banyak yang mengaksesnya. Pembeli masih terbiasa dengan pembayaran cash dan sistem transfer.

“Hanya tamu dari Jakarta yang bayar pakai QRIS. Tamu yang lain langsung kasih uang tunai,” ujarnya.

Sonya da Gama telah memanfaatkan metode pembayaran QRIS dalam menjalankan usahanya di Kota Maumere, Kabupaten Sikka

QRIS Membantu Manajemen Keuangan

Sonya da Gama (46), pelaku usaha suvenir berbahan baku tenun ikat memiliki pengalaman sendiri tentang pembayaran dengan QRIS. Kepada Ekora NTT, ia menuturkan, Bank NTT memberikan sosialisasi dan menyarankan pelaku UMKM  yang tergabung dalam organisasi UMKM Nian Tana Sikka (Unitas) untuk menggunakan QRIS pada April 2020.

“Saya bersama beberapa teman yang bergabung dalam Unitas langsung urus. Sampai saat ini sangat membantu saya dalam hal transaksi jual beli,” ujarnya.

Wanita yang merintis usahanya sejak 2012 ini menyediakan berbagai suvenir yang terbuat dari kain tenun. Ada anting, topi, gelang, tas, hingga baju.

Sebagian besar pelanggannya adalah wisatawan yang notabene sudah lumrah menggunakan transaksi berbasis digital. Hal itulah yang membuat QRIS menjadi solusi pembayaran paling efektif untuknya.

“Ketika mau bayar saya biasanya menyarankan untuk menggunakan QRIS, dan pembeli yang datang rata-rata sudah menggunakan sistem pembayaran elektronik jadi sangat memudahkan,” tuturnya.

“Wisatawan yang datang baik domestik maupun internasional kebanyakan pembayaran pakai QRIS. Sekarang lebih banyak bayar pakai digital,” sambungnya.

Menukil data usahanya, sekitar 60 persen pelanggan Sonya, membayar dengan QRIS dan sisanya 40 persen pakai uang tunai.

Diakuinya, penggunaan sistem pembayaran QRIS tidak mendongkrak pendapatan usaha. Tapi, QRIS membantunya dalam hal pembayaran dan manajemen keuangan.

“Berhadapan dengan uang kembalian paling repot. Kita harus cari uang kembalian tapi kalau pakai QRIS pasti pas,” tuturnya.

Sonya menambahkan bahwa ketika menggunakan QRIS, dia dapat mengontrol pemasukannya dengan baik dibandingkan sistem pembayaran secara tunai.

“Contohnya, saat pembayaran secara tunai cenderung tercampurnya antara uang pribadi dan usaha dan tidak mencatat transaksi pembayaran. Tapi pakai QRIS semua sudah tercatat dan aman,” ungkapnya.

Menurutnya juga, QRIS  mendata semua pemasukannya dan langsung dipindahkan ke rekening Bank. Jadi lebih memudahkannya memanajemen keuangan.

“Dari situ kita bisa hitung berapa pendapatan sehari, sebulan, sampai setahun,” ujarnya.

Sonya juga menjelaskan ketika menggunakan QRIS ia selalu diperhatikan oleh Bank terkait untuk permodalan dan pendampingan keuangan.

Biasanya, kata Sonya, Bank NTT juga selalu memberi ruang bagi para UMKM yang sudah menggunakan QRIS untuk memamerkan produknya dalam acara-acara besar Bank NTT.

“Kita selalu mendapatkan ruang, saat ulang tahun Bank NTT kita diberikan ruang khusus untuk memamerkan produk. Dan itu sangat membantu usaha kami,” terangnya.

Ketua Unitas, Isye Fernandez mengonfirmasi bahwa hampir semua pelaku UMKM yang bergabung dalam Unitas telah menggunakan metode pembayaran QRIS.

“Kami punya 63 anggota dan sudah pakai QRIS, kecuali anggota yang bergerak di usaha jasa perjalanan wisata. Tamu mereka biasa pakai transfer lewat rekening,” kata Isye.

Hadirnya QRIS, kata Isye, merupakan upaya yang positif di tengah badai pandemi. Saat itu, banyak pelaku UMKM keteteran akibat pembatasan aktivitas sosial.

“Semua pembelanjaan yang offline otomatis turun. Penjualan produk UKM kita jauh di bawah 50 persen,” cerita Isye.

QRIS yang hadir bersamaan kampanye pembayaran non tunai, kata Isye, memberikan semangat baru bagi pelaku UMKM. Bahkan hingga sekarang, anggota Unitas lebih nyaman menggunakan QRIS.

“Sekarang kan tamu hanya membawa uang sedikit di dompet. Lebih banyak simpan di rekening,” kata Isye.

Sepervisor Dana Bank NTT Cabang Maumere, Sekundus Wolfhadus Olga

Masih Banyak yang Belum Paham

Sekundus Wolfhadus Olga selaku Sepervisor Dana Bank NTT Cabang Maumere mengatakan, hingga Desember 2022, sekitar 682 pelaku UMKM dan pedagang telah menggunakan sistem pembayaran dengan metode QRIS, seperti toko, warung, dan kios. Rata-rata penggunanya adalah mereka yang memiliki handphone androrid dan juga aplikasi pembayaran elektronik.

“Setiap yang dapat menggunakan sistem pembayaran elektronik sudah bisa pakai QRIS,” kata Sekundus.

Khusus di Kabupaten Sikka, kata Sekundu, dibutuh sosialisasi secara berkelanjutan demi meningkatkan pengguna. Masih banyak masyarakat yang belum memahaminya.

“Masyarakat masih merasa QRIS adalah hal yang baru, jadi banyak yang belum paham dan banyak yang belum menerima hal itu. Namun kita dan juga bank lainnya tengah gencar sosialisasi agar banyak yang menggunakan QRIS,” kata Sekundus.

Bank NTT juga getol dalam mendampingi ibu-ibu kelompok tenun di tingkat desa maupun tingkat sanggar. Pendampingan itu berupa akses pembiayaan, permodalan, hingga penggunaan sistem pembayaran elektronik seperti QRIS.

“Ibu-ibu penenun yang memiliki handphone android yang baik, kita dorong agar menggunakan QRIS. Banyak kelompok penenun binaan Bank NTT yang sudah menggunakan QRIS,” tuturnya.

Sejauh ini, jelas Sekundus, program Desa Binaan Bank NTT juga menyasar kelompok-kelompok penenun, kelompok tani, dan masyarakat yang mempunyai usaha pribadi. Lewat program ini, Bank NTT memberikan pendampingan untuk mendapatkan modal dan juga QRIS.

“Kita berusaha sosialisasi dari tingkat desa. Kalau masyarakat desa juga sudah paham, saya rasa untuk tingkat masyarakat kota tidak terlalu sulit. Di kalangan menengah ke atas juga belum tentu ada yang pakai QRIS. Jadi kita mulai dari desa dulu,” tandasnya.

Komitmen Tingkatkan Penggunaan QRIS

Data Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT menunjukkan bahwa 137.459 penduduk NTT melakukan transaksi menggunakan QRIS sepanjang tahun 2022. Angka ini meningkat tajam dari tahun sebelumnya, yang hanya 15 ribu orang. Bank Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan penggunaan QRIS, baik dari supply (merchant QRIS) dan demand (pengguna QRIS).

Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT, Donny H. Heatubun mengatakan bahwa Bank Indonesia meluncurkan program pasar SIAP QRIS demi menggenjot merchant QRIS. Program ini sudah berjalan di beberapa pasar tradisional, minimarket, dan supermarket di NTT.

Dampaknya, 141.727 pedagang telah menggunakan QRIS. Tercatat pula 952.073 transaksi QRIS dengan total nominal sebesar Rp 129,83 miliar dari Januari hingga Oktober 2022.

“Dari sisi demand, tantangan untuk meningkatkan pengguna QRIS adalah masyarakat yang belum terinformasi dan merasakan cara dan manfaat dari penggunaan QRIS. Maka dari itu, Bank Indonesia telah melakukan 29 kali sosialisasi selama 2022 di berbagai komunitas,” ungkapnya.

Masyarakat yang mencoba menggunakan QRIS, kata Donny, telah merasakan manfaat pembayaran non-tunai seperti lebih cepat, tidak memerlukan kembalian, dan terbebas dari risiko uang palsu.

Memasuki tahun 2023, jelas Donny, Bank Indonesia mematok target minimal 150 ribu pengguna baru di NTT. Hal itu merupakan bagian dari komitmen untuk mendigitalisasi sistem pembayaran di Provinsi NTT.

Sejalan dengan itu, OJK NTT akan memperkenalkan literasi keuangan dan juga mengarahkan inklusi keuangan kepada masyarakat. Kepala Otoritas Jasa Keuangan NTT, Japarmen Manalu mengatakan, pihaknya akan bekerjasama dengan pemerintah daerah di NTT dan Bank Indonesia dalam memberikan sosialisasi kepada masyarakat.

“Kerja sama lainnya adalah dengan melakukan sosialisasi kepada lembaga pendidikan tinggi, lembaga keagamaan dan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya,” kata Japarmen.

“Dalam waktu dekat, sudah ada permintaan secara lisan dari Bhayangkari Polda NTT, dan juga sekolah-sekolah atau perguruan tinggi. Programnya kita pertahankan dan meningkatkan kualitasnya,” tutupnya.

Japarmen memaparkan, indeks literasi keuangan di NTT mencapai 51,95 persen pada tahun 2022, naik signifikan bila dibandingkan dengan tahun 2016, yang hanya mencapai 27,82 persen.

“Sedangkan untuk indeks inklusi keuangan di NTT di tahun 2022 mengalami kenaikan di angka 85,97 persen. Di mana pada tahun 2016 lalu hanya berada di angka 60,63 persen,” papar Japarmen.

Beberapa Aspek Evaluasi

Pengajar Ekonomi Universitas Nusa Nipa Maumere, Paul Lamawitak tak menampik bahwa pembayaran non tunai menjadi pilihan yang lebih baik karena lebih praktis; cukup dengan HP di tangan, semua proses pembayaran atau transaksi dapat dilakukan.

Tapi pada kondisi sekarang, kata Paul, metode transaksi dengan QRIS masih jarang digunakan oleh masyarakat Kabupaten Sikka. Karena itu ia menyoroti beberapa aspek.

Pertama, lemahnya proses sosialisasi terhadap masyarakat (konsumen) terkait penggunaan QRIS; mulai dari metode top up sampai pada metode pembayaran. Aspek ini menjadi salah satu alasan mengapa QRIS jarang digunakan.

Kedua, belum banyak tempat belanja yang menggunakan metode pembayaran menggunakan QRIS. Konsumen terbanyak masih ada pada pasar tradisional yang mana metode pembayaran QRIS jarang atau tidak digunakan.

Menurutnya, evaluasi yang perlu diperhatikan oleh pemegang kebijakan (bisa pemerintah, atau asosiasi-asosiasi bisnis) adalah mendorong penggunaan QRIS sebagai metode pembayaran yang wajib untuk beberapa tempat belanja.

“Jadi ada satu tempat belanja yang memang diwajibkan untuk membayar menggunakan QRIS. Jika ini dilakukan maka konsumen secara sukarela belajar untuk menggunakan QRIS. Saya kira secara perlahan konsumen akan beralih ke metode pembayaran digital ini,” pungkasnya.

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA