Oleh: Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila*
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tengah mengalami gejolak pembangunan. Gejolak tersebut muncul dalam dua bentuk.
Pertama, persoalan struktural yang berimbas pada penghilangan masyarakat (petani) dari alat produksi (tanah).
Kedua, gejolak yang muncul sebagai reaksi atas dinamika dalam masyarakat, yang menggeser entitas sosial-kultural masyarakat setempat akibat dari ekspansi pembangunan negara. Persis, gejolak ini menempatkan masyarakat (NTT) semakin terpinggirkan dari agenda pembangunan.
Tulisan ini mempersoalkan sebagian rupa pembangunan yang hadir di NTT, yang tidak diinisiasi untuk ‘menolong’ masyarakat dari kemiskinan. Melainkan sebaliknya, hadir sebagai suatu kondisi yang dipandu dengan logika ‘pemerataan’. Padahal, situasi di NTT sangat kompleks.
Kompleksitas masalah, di dalamnya berkaitan dengan persoalan kemiskinan, ketidakadilan, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kondisi ini tidak bisa dengan serta merta hanya diselesaikan melalui pembangunan ataupun program teknis.
Tetapi justru negara (Pemerintah Pusat dan Daerah) mengambil lajur pembangunan untuk menekan kemiskinan di NTT. Bukannya menjawab masalah, sebagian pembangunan di NTT justru berbelok pada semakin dalamnya ketimpangan dan pemiskinan yang dialami masyarakat.
Karena itu, aksi protes dan demonstrasi penolakan pembangunan oleh masyarakat merupakan konsekuensi logis atas hadirnya pembangunan yang tidak menjawab masalah, alih-alih disalahgunakan oleh elit-elit di daerah.
Pembangunan sebagai Jalan Keluar?
Ketika masih mahasiswa, saya teringat bagaimana dosen di sela-sela perkuliahan kerap melontarkan dan menyinggung aspek pembangunan sebagai suatu yang sangat dibutuhkan.
Tidak hanya butuh, menurutnya, adanya pembangunan bisa memberikan berbagai kesejahteraan bagi masyarakat. Misalnya, akses terhadap pasar semakin terbuka dan memberikan peluang bagi pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat setempat. Logika ini tampak bersih dan masyarakat memperoleh ‘keuntungan’ sosial-ekonomis dari pembangunan.
Namun, seiring waktu, tepatnya ketika membaca buku Tania Murray Li (2021) yang berjudul, ‘The Will To Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia’, saya harus mengevaluasi dan memikirkan kembali apa yang saya dengar dan terima dari dosen yang pernah mengajar saya. Persis, dalam buku tersebut, Tania Li mengevaluasi dan membeberkan berbagai temuan lapangan bagaimana pembangunan justru bersinggungan dengan persoalan kemiskinan dan ketimpangan.
Sebagaimana dicatat Li (2021), pembangunan yang hadir dalam masyarakat tidak pernah bebas dari berbagai persoalan. Pembangunan itu justru mengait dengan berbagai persoalan lain, kemiskinan dan ketimpangan, yang lahir dari berbagai sisi yang tidak tampak tetapi memiliki efek (destruktif) yang cukup besar bagi penghidupan masyarakat.
Masalahnya menurut Li, pembangunan di Indonesia cenderung menggeser persoalan ekonomi-politik yang ada dalam masyarakat. Negara dan para konsultan pembangunan, sebagaimana dicatat Li justru menjadikan berbagai persoalan yang ada sebagai dan seolah masalah teknis.
Situasi seperti yang digambarkan Li itulah, sebagaimana saya baca terjadi dan dipraktikkan di NTT. Pemerintah pusat dan daerah melihat dimensi kemiskinan di NTT sebagai konsekuensi dari persoalan ‘kurangnya pembangunan’ yang ada dalam masyarakat.
Padahal, jika berkaca pada berbagai persoalan yang terjadi di NTT, kemiskinan dan ketidakadilan itu merupakan konsekuensi dari problem struktural (perampasan tanah/land grabbing), diferensiasi kelas di dalam masyarakat, dan ketimpangan kepemilikan alat produksi (tanah).
Sebagaimana dicatat Emilianus Yakob Seses Tolo dalam artikelnya yang berjudul, ‘Proyek Infrastruktur di Flores: Hanya Memakmurkan yang Kaya? (Tirto.id, 21/02/2019), kepemilikan tanah di Flores dewasa ini mulai terkonsentrasi pada golongan aristokrat dan kaum bermodal.
Tidak heran apabila berbagai proyek infrastruktur pemerintah Jokowi-JK di Flores justru gagal mengatasi ketimpangan ekonomi, karena tidak mampu menganalisis berbagai ketimpangan agraria di Flores (Tolo, 2019). Hal ini menyebabkan problem agraria membawa berbagai persoalan dalam kehidupan masyarakat.
Tidak berhenti di situ, berbagai problem struktural di NTT lahir dari pendekatan negara yang tidak demokratis, alih-alih otoriter. Kita bisa membaca bagaimana konflik masyarakat adat Pubabu dengan Pemprov NTT di Besipae. Pemprov melakukan penggusuran dan pembongkaran rumah-rumah masyarakat dari atas tanah tempat mereka melangsungkan penghidupan. Ironinya, Pemprov NTT abai dalam menganalisis bagaimana dampak penghidupan masyarakat ketika mereka kehilangan tanah beserta ruang hidupnya.
Di tempat lain, misalnya, konflik agraria di Sumba, yang mengorbankan seorang petani bernama Poro Duka karena kegigihannya mempertahankan tanah dan ruang hidupnya. Menurut saya, adalah bagian dari konflik struktural.
Sementara itu, di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, kita menyaksikan bagaimana masyarakat setempat melakukan demonstrasi penolakan proyek geothermal di atas tanah mereka. Dengan berbekal pengalaman proyek geothermal di Mataloko, Kabupaten Nagekoe, yang telah memporak-porandakan basis produksi masyarakat setempat, menjadi spirit bagi warga di Poco Leok melakukan penolakan.
Fakta sebagian pembangunan di NTT, sebagaimana dijelaskan di atas dan masih banyak lagi pembangunan negara yang hadir di tengah masyarakat memberikan bukti bahwa tidak selamanya pembangunan itu menyejahterakan. Memang ada dimensi bahwa pembangunan itu memberikan efek bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat; tetapi sebagian dari pembangunan yang ada justru berbanding terbalik dan memukul masyarakat sendiri. Sialnya, ini dialami oleh masyarakat (petani) yang penghidupannya sangat bergantung pada tanah dan ruang hidup di dalamnya.
Keterlibatan
Pembangunan yang membawa serta kemiskinan dan ketidakadilan harus ditolak. Tentu penolakan itu membutuhkan keterlibatan banyak pihak.
LSM, mahasiswa, media/pers, akademisi, dan gereja, menurut saya, merupakan elemen civil society yang harus memiliki kesadaran yang sama tentang masa depan NTT. Perlu dicatat, kita tidak menolak pembangunan selama itu memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat.
Namun, apabila pembangunan itu membawa serta perampasan tanah dan ruang hidup masyarakat, kita perlu menolaknya. Ini bukanlah semata-mata karena pembangunan itu berdampak pada pemiskinan. Melainkan, yang harus kita cermati ialah, masa depan bumi NTT sebagai suatu daerah yang harus tetap survive dengan cirri khasnya sendiri.
Karena itu, pemerintah dan korporasi perlu melibatkan elemen masyarakat sipil dalam perumusan kebijakan, implementasi, dan evaluasi atas kebijakan pembangunan di NTT.
Tujuannya, dengan adanya partisipasi itu masyarakat memiliki pengetahuan sejauh mana pembangunan itu membawa dampak ekonomi atau berbelok pada pemiskinan dan menceraiberaikan masyarakat di tanah milik mereka sendiri.
*Alumnus Universitas Merdeka Malang-Pogram Studi Administrasi Publik