Sekolah Bebas Sampah: Why Not?

Oleh: Gerardus Kuma Apeutung*

Salah satu sumber krisis ekologi saat ini adalah sampah. KKBI menjelaskan sampah adalah barang atau benda yang dibuang karena tidak terpakai lagi. Dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, dijelaskan bahwa sampah merupakan sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/ atau proses alam yang berbentuk padat.

Sampah sangat erat kaitannya dengan aktivitas manusia. Kehidupan kita setiap hari pasti menghasilkan sampah. Persoalannya, jumlah sampah yang produksi dari hari ke hari semakin banyak. Jumlah sampah yang meningkat tajam ini berserakan di mana-mana dan tidak diolah. Hal inilah yang kemudian menimbulkan bahaya bagi lingkungan dan juga kesehatan manusia.

Saat ini masalah sampah terus membelenggu. Baik di negara maju atau berkembang, di kota dan desa, menghadapi persoalan serius terkait sampah. Bak kanker ganas yang menggerogoti tubuh, masalah sampah menyebabkan lingkungan rapuh dan hancur.

Lihatlah di tempat-tempat umum seperti pasar, terminal, pelabuhan, pantai, sampai di lingkungan terdekat kita yaitu rumah dan sekolah. Sampah tersebut berjenis-jenis. Berdasarkan sifatnya, ada sampah organik yaitu sampah yang dapat diurai kembali melalui proses alamiah; dan sampah anorganik yaitu sampah yang tidak dapat diurai kembali melalui proses alamiah.

iklan

Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, volume sampah di Indonesia pada tahun 2022 mencapai 19,45 juta ton.

Berdasarkan jenisnya, mayoritas sampah nasional pada 2022 berupa sampah sisa makan dengan proporsi 41,55 persen. Sampah plastic di urutan kedua sebanyak 18,55 persen. Sampah berupa kayu/ranting sebanyak 13,27 persen. 11,04 persen adalah sampah kertas/karton. Ada pula sampah kain sebanyak 2,54 persen, sampah kaca 1,96 persen, sampah karet/kulit sebanyak 1,68 persen dan 6,55 persen sampah jenis lainnya.

Berdasarkan sumbernya, paling banyak adalah yang berasal dari rumah tangga yaitu 40,01 persen. Urutan kedua, perniagaan sebanyak 20,64 persen. Berikutnya dari sampah dari pasar sebanyak 16,1 persen. Sampah kawasan sebanyak 7,02 persen. Sampah dari fasilitas umum sebanyak 6,85 persen. Sampah dari perkantoran sebanyak 6,07 persen. Dan lain-lain sebanyak 3.31 persen.

Sekolah Bebas Sampah

Bagaimana dengan lingkungan sekolah kita? Apakah sekolah kita sudah bebas sampah? Ataukah masih berkutat dengan persoalan sampah? Harus diakui, sebagai fasilitas umum, sekolah masih merupakan sumber penghasil sampah. Di semua sekolah, selalu ditemukan sampah dengan jumlah dan jenis yang berbeda-beda.

Mari kita buat perhitungan secara kasar produksi sampah sekolah-sekolah di Flores Timur. Jumlah lembaga pendidikan di Flores Timur, dari TK sampai SMA adalah 737 sekolah. Bila setiap sekolah menghasilkan paling kurang 30 kilogram sampah setiap bulan, maka lembaga pendidikan di Flores Timur menghasilkan 22,11 ton sampah setiap bulan. Dan dalam setahun sebanyak 265,32 ton sampah. Jumlah yang fantastis.

Dalam pengamatan Penulis, sampah yang paling banyak di lingkungan sekolah didominasi sampah kering seperti kertas yang tidak terpakai, botol atau gelas plastik, bungkusan makanan plastik. Dan sampah basah seperti daun, ranting, rumput, dan sisa makanan yang kita makan atau daun pisang pembungkus makanan.

Pertanyaannya, apakah sekolah bisa bebas sampah? Bagaimana cara mewujudkannya? Karena sampah merupakan produksi manusia, membebaskan sampah dari sekolah harus dimulai dari diri sendiri.

Pertama, adanya kesadaran diri untuk menerapkan konsep 3R: reduce atau mengurangi. Kurangi konsumsi terhadap barang jadi sehingga jumlah sampah yang dihasilkan lebih sedikit. Caranya jangan membeli makanan atau minuman yang dijual dalam kemasan.

Reuse atau memakai kembali. Hindari barang-barang sekali pakai. Gunakan barang yang bisa dipakai berulang-ulang. Misalnya botol minuman yang masih dipakai jangan dibuang. Recycle atau mendaur ulang. Sampah yang dapat didaur ulang bisa kita manfaatkan untuk membuat berbagai jenis prakarya yang bisa dijual dan menghasilkan uang.

Kedua, melakukan edukasi untuk membangun kesadaran warga sekolah akan dampak buruk sampah. Edukasi ini bukan hanya dalam retorika semata tetapi harus membumi melalui aksi nyata. Perlu ada tindakan konkret mengajak anak peduli sampah.

Wujudnya berupa agenda rutin aktivitas membersihkan sampah. Misalnya satu kali dalam satu minggu. Selain di lingkungan sekolah, anak-anak harus diajak untuk masuk got, turun ke jalan atau lorong desa, mendatangi sungai atau kali, dan tempat umum seperti tempat ibadah, pasar untuk membersihkan sampah yang ada.

Edukasi ini perlu diikuti dengan penyediaan tempat-tempat sampah di lingkungan sekolah juga pembagian tugas piket kebersihan harian siswa di kelas dan sekolah.

Setiap siswa harus mendapat kesempatan membersihkan ruang kelas, kantor sekolah, perpustakaan, laboratorium, ruang guru, dan lingkungan sekolah. Dengan cara ini anak dilatih untuk bertanggung jawab atas kebersihan lingkungan sekitarnya.

Sebab ada kerisauan yang perlu mendapat perhatian serius. Di mana saat ini hampir semua sekolah telah menyiapkan petugas kebersihan yang mana setiap hari bertugas merawat taman, membersihkan lingkungan sekolah, dan ruang kelas.

Dengan adanya petugas kebersihan di sekolah, masalah sampah tidak lagi menjadi tanggung jawab bersama, tetapi menjadi urusan petugas kebersihan.

Kehadiran petugas kebersihan secara tidak langsung mengurangi keterlibatan warga sekolah dalam menjaga kebersihan lingkungan. Imbasnya tanggung jawab warga sekolah dalam membersihkan sampah menjadi berkurang.

Ketiga, reward and punishment. Upaya membangun kesadaran membebaskan sekolah dari sampah perlu disertai penghargaan dan sanksi yang tegas. Tujuannya untuk memberi motivasi dan efek jera bagi warga sekolah. Siswa yang tidak pernah membuang sampah sembarangan, siswa yang selalu menjalankan tugas piket kebersihan harian, siswa yang tidak membeli makanan siap saji di kantin bisa diangkat menjadi duta sampah sekolah.

Sedangkan siswa yang kedapatan mengkonsumsi makanan siap saji dan membuang sampah sembarangan diwajibkan untuk mengangkut sampah yang terkumpul di tempat sampah di setiap kelas atau membersihkan toilet, atau menanam dan merawat pohon di sekolah.

Terakhir, dukungan keluarga. Upaya menjadikan sekolah bebas sampah butuh dukungan dari orang tua. Orang tua perlu mengedukasi anak tentang dampak buruk sampah. Anak juga perlu diberi pemahaman tentang bahaya mengkonsumsi makanan siap saji. Mengkonsumsi makanan siap saji berarti menambah jumlah sampah di sekolah.

Sebagai gantinya anak membawa makanan dari rumah. Karena itu orang tua harus menyiapkan makanan bagi anak untuk dibawa ke sekolah. Alangkah bagus kalau makanan yang dibawa adalah pangan lokal kita seperti sorgum, ubi, jagung. Membawa makanan dari rumah, selain lebih ekonomis dan ramah lingkungan, juga lebih menyehatkan.

Saya teringat masa Sekolah Dasar dulu. Setiap hari ke sekolah Penulis selalu membawa makanan yang disiapkan orang tua. Tidak pernah Penulis membawa uang jajan untuk membeli makanan di sekolah. Hasilnya lingkungan sekolah bebas sampah baik dari siswa makan maupun bungkusannya.

Situasi ini berbeda dengan kondisi sekarang. Anak-anak sudah tidak membawa makanan dari rumah. Mereka lebih banyak membeli makanan yang dijual di sekolah. Akibatnya lingkungan sekolah menjadi tumpukan sampah limbah makanan.

Harus diakui bahwa manusia sulit hidup tanpa sampah. Tetapi hidup dalam tumpukan sampah sangat membahayakan. Karena itu perlu komitmen pribadi dan bersama untuk membebaskan lingkungan sekolah dari sampah. Dan bila hal-hal yang dipaparkan di atas, sebaiknya dijalankan dengan konsisten.

Pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini, apakah sekolah kita bisa bebas sampah? Tentu saja, ini bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan!

*Guru SMPN 3 Wulanggitang dan Local Champion Desa Hewa

TERKINI
BACA JUGA