2024

Oleh: Dominggus Elcid Li*

Kota-kota di Pulau Jawa sudah semarak dengan berbagai macam baliho dalam berbagai ukuran. Wajah para caleg sudah bertengger di seantero kota hingga kampung.

Kondisi agak berbeda tampak di kampung halaman di Kupang, NTT, poster para calon legislatif belum sebanyak di kota-kota di Pulau Jawa. Di provinsi yang kantor pemerintahannya juga ikut sekarat ini, nomor dan nama caleg seperti gelembung sabun.

Tahu-tahu nama sudah lenyap ditelan si tukang ketik, atau tukang survei. Semua bisa bikin alasan sesuai kemampuan masing-masing. Ada yang lucu, tapi ada juga yang getir, dan genit.

Absurditas Gotong Royong

iklan

“Pemilu demokratis” yang entah artinya apa itu merupakan salah satu ritual yang paling absurd dijalankan saat ini. Selain karena mahal, hampir tidak ada faedah.

Sistem yang ada sekarang hanya berpihak pada yang kuat, lebih tepat lagi yang memegang kuasa uang. Institusi apa pun tidak peduli asal uang itu dari mana, segera diterima dan diolah. Kolonialisme internal tidak menjadi bahan perbincangan.

Bagaimana dengan para aktivis? Aktivis yang kelaparan tidak ada bedanya rakyat jelata yang sekarat. Bedanya ketika para aktivis harus bernegosiasi, ia harus pura-pura trendy dan tersenyum. Cukup menakutkan orang bisa cepat tersenyum di samping bintang horor non fiksi.

Apakah ini bisa disebut pornografi logika? Semua jargon yang dihafal dalam deret pikiran sistematis, tiba-tiba hanya seperti kentut yang disengaja.

Namun, hal-hal ini seperti Pemilu yang kesekian sudah menjadi hal biasa. Seperti para penulis ternama yang sudah berhasil menjadi tim sukses, rezekinya ikut mengalir menyusul lembaga survei, dan sekian rantai logistik lainnya, Pemilu bukan soal tema kampanye, figur pemimpin yang lebih baik, atau tawaran baru, Pemilu hanya menjadi ajang mencari kerja dalam rombongan.

Sebisa mungkin jika bisa negosiasi dengan kepala kuda, dan jangan dengan ekor kuda. Semakin jauh dari kepala, semakin tidak pasti nasibmu.

Orang Gila Makin Banyak

Jalanan di kota yang panas dan kerontang ini makin membuat orang bergidik. Seorang Ibu mengeluh dan berkata, “Mengapa makin banyak orang muda yang gila di kota?”

Ia tidak habis pikir mengapa para orang muda lebih lekas menjadi gila, dan jumlahnya makin banyak dan terlantar di jalanan kota.

Persoalan ini pun sulit saya jawab. Hanya saya jawab datar, “Mungkin karena antara harapan dan kenyataan terlalu jauh.” Ya, jawaban lama.

Tidak membantu, tapi tidak juga buruk. Sebab, bukankah semua orang pasti mengalami kekecewaan? Hanya saja mereka yang berpunya tentu lebih punya banyak pilihan.

Sedang kaum miskin, pilihannya adalah pergi dari rumah dan terdampar di jalan. Mereka yang berpunya bisa memilih bikin youtube, tulisan, podcast, atau partai politik.

Sempat terpikir mereka yang sering tampil juga termasuk orang sakit jiwa, yang penampilannya senantiasa berhasil dibungkus, seumpama ‘kue lemper’  yang dibungkus daun pisang.

Entah isinya apa, orang senantiasa mengandaikan bungkusan daun pisang sepanjang 10 cm itu adalah ‘lemper’, isinya bisa apa saja.

Bayangkan jika dana triliunan itu hanya dipakai untuk membeli ‘daun pisang’ untuk membungkus kegilaan yang disembunyikan? Jadi ini bukan lagi soal salah memilih, tetapi bagaimana kalau desain sistem ini salah?

Jika benar, mengapa situasi 2024 semakin mirip situasi seperempat abad silam? Kegamangan yang sama, dan kepura-puraan yang membuat orang menghela nafas tanpa tahu ini hendak ke mana.

Amok

Amok, amuk, ngamuk. Orang-orang negeri jauh menyebut kondisi orang dalam posisi tanpa penjelasan dan tiba-tiba mengamuk lalu meledak tanpa bisa dikendalikan di era penguasa kulit putih.

Di era merah putih, pos kamling dibikin di seantero negeri, dan berharap keamanan bisa terkendali. Selama kematian lebih menakutkan dari kehidupan, mengatur dengan ketakutan masih mungkin.

Namun ketika kehidupan lebih menakutkan daripada kematian maka apa yang disebut dengan sistem dan pendekatan keamanan tidak ada bedanya. Di titik ini kita harus paham, kita dalam situasi yang berbahaya.

Ya, siapa pun ingin damai dan hidup dengan tenang. Entah lewat berdoa, berkesenian, atau berpolitik. Namun dalam sebuah negara, ketenangan itu bukan urusan personal. Itu dikerjakan bersama-sama. Jika para awak kapal tak pandai membaca gelombang, angin, musuh, dan bintang-bintang, kapal bisa karam kapan saja.

Namun lagi-lagi ibarat bungkusan daun pisang yang isinya mungkin lemper atau mungkin juga bukan. Seperti buku yang tidak ada rahasianya, skema kekuasaan hari-hari ini sudah terbaca dengan baik.

Situasi mati angin hari-hari ini terasa menakutkan sekaligus lucu, sebab yang menipu masih menggunakan cara yang sama. Tersenyum, salaman, berkotek, dan tiba-tiba ada kabar duka cita. RIP (Rest In Peace). Beristirahat dalam damai.

Ternyata generasimu juga sama dengan generasi yang lalu, dan lalu lagi. Hidup hanya sekadar menunda kesalahan dan kekalahan yang sama.

*Penulis adalah penggemar jajanan pasar

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA