Panggung Politik Indonesia Tidak Layak Disebut Demokrasi

Yogyakarta, Ekorantt.com– Pendiri Pusat Studi Kelirumologi Jaya Suprana mengeritik diskusi dengan tema ‘Mengintip Demokrasi Lewat Lubang Humor’ yang digelar FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) pada Kamis, 7 Desember 2023.

Menurut Suprana, judul diskusi yang disiapkan panitia tersebut harus diganti.

“Apa yang terjadi di panggung politik Indonesia masa ini kurang layak disebut sebagai demokrasi, namun lebih layak disebut sebagai democrazy,” kata Suprana sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis yang diterima Ekora NTT, Jumat, 8 Desember 2023.

“Apa yang terjadi sekarang ini sama sekali tidak lucu untuk disebut sebagai humor, tetapi lebih layak disebut sebagai horor,” sambung dia.

Sebab itu, sebagai pendiri pusat kajian humorologi Suprana protes keras. Ia menganggap judul diskusi tersebut mencemarkan citra demokrasi dan citra humor.

“Sehiggga judulnya harus diganti menjadi Mengintip Democrazy Lewat Lubang Horor,” tegas Suprana.

Selain Suprana, Direktur Museum Rekor Indonesia (MURI), para pembicara lainnya adalah komedian Anang Batas, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UAJY Ranggabumi Nuswantoro, dan Dosen Program Studi Sosiologi UAJY Lucinda, dan Peneliti Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) Dominggus Elcid Li.

Lucinda mengatakan, fenomena humor terus berkembang di tengah masyarakat menjelang reformasi. Hal ini mengingatkannya pada berbagai humor yang muncul di seputar Gus Dur atau era menjelang reformasi.

Kondisi ini pula yang membuat para aktivis mahasiswa FISIP UAJY pada tahun 1996 mengadakan seminar ‘Mengintip Demokrasi Lewat Lubang Humor’.

Para pembicaranya yang masih ada saat ini adalah Jaya Suprana. Sedangkan para pembicara lain sepeti Emmanuel Subangun, Wimar Witoelar, Darmanto Jatman, dan G.M.Sudarta sudah berpulang atau meninggal.

Yohanes Widodo yang menjadi Ketua Senat mahasiswa FISIP UAJY tahun 1996 merupakan penggagas diskusi kalau itu.

Ia mengatakan bahwa kondisi humor yang muncul saat ini agak berbeda. Kala itu menurutnya, humor muncul sebagai fenomena kritis terhadap kekuasaan.

“Humor saat ini terasa lebih getir,” katanya.

Anang Batas, MC kondang yang juga raja plesetan pun menampilkan berbagai gambar lucu seputar pemilu.

Menurut komedian Anang, humor itu serius, menyenangkan tetapi juga membahayakan. Hal ini tergantung pada materi apa, siapa yang menyampaikan, tepat tempat, dan tepat audiens.

“Humor bisa jadi nilai plus tapi bisa jadi minus ketika kita bersuara bukan di ranah atau di tempat yang tepat,” ujar Anang.

“Humor zaman dulu tidak pernah sevulgar sekarang, mencubit tak bikin sakit. Tapi komedi sekarang, sudah vulgar tapi tidak terasa,” tambah Anang.

Terkait plesetan, Anang menjelaskan jenis humor ini sudah ada sejak abad ke-8 dan mendapat ruang yang penting di kerajaan.

Ketika itu, Abdi Dalem Raja diminta untuk menghibur rajanya. Abdi Dalem boleh mengkritik rajanya lewat humor.

Sebagai komedian, Anang mengaku berhati-hati dalam menyampaikan humor. Sebagai komedian, ia juga tidak lepas dari tekanan, dan kadang tekanan yang datang membuatnya perut mules dan harus ke belakang berkali-kali.

Diskusi yang mengkombinasikan nada humor dan horor yang sedang melanda proses demokratisasi Indonesia ini disambut dengan bervariasi.

Satir sebagai Tautology Displacement

Sedangkan pembicara lain, Elcid Li, mengatakan bahwa tren Komik Satir yang mengulas soal Gibran-Prabowi-Jokowi yang beredar di kalangan pendukung Ganjar sebenarnya merugikan Ganjar-Mahfud.

“Karena itu merupakan strategi reversed social engineering, dengan menampilkan Gibran secara terus menerus meskipun nadanya negatif, membuat ruang untuk mengekspos Ganjar menjadi mengecil, posisi aman yang ditunjukkan oleh paslon Amin jauh lebih pas karena hanya menonjolkan program mereka,” katanya.

Menurut Elcid, humor dalam bentuk komik pun bisa dilihat sebagai strategi tim Prabowo untuk menyasar pemilih muda.

Dengan memanfaatkan keunggulan big data yang mereka punyai, dengan memanfaatkan analisa computational politics, mereka bisa menentukan strategi sesuai dengan selera pasar.

Menurutnya, hal seperti pelanggaran HAM yang lekat dengan figur Prabowo tertutupi dengan model kampanye menggunakan figur komik.

Dengan metode penghitungan kuantifikasi prilaku pemilih dan kekuatan finansial, amat mudah siapa pun yang memahami algoritma internet memanipulasi selera populer, dan datanya pun bersifat real time, dan tak lagi bergantung pada hasil survei.

Hal dominan yang sekarang terjadi adalah praktik populisme politik populer berbasis pemetaan big data para pemilih membuat manuver politik semakin bisa dihitung.

Ini membuat model pengerahan massa cenderung tak lagi terlihat, selain hanya hadir sebagai prasyarat produk visual kampanye, tetapi tidak lagi menjadi penentu dalam pengambil Keputusan para pemilih.

Rekayasa Sosial

Perang di jagat maya ini berhasil membuat seluruh kritik dibungkam. Menurut Elcid, salah satu kekeliruan utama yang biasa diterima secara normatif adalah ‘anak-anak muda sekarang seleranya lain’.

Persoalannya, orang tidak melihat bagaimana fenomena ini terbentuk. Misalnya, dengan membuka rekayasa sosial (social engineering) yang dimungkinkan dengan politik komputasi (computational politics) yang bisa memanipulasi hingga ke tingkat individual.

“Jangan heran ketika perdebatan yang sifatnya substantif di level kenegaraan, ketika turun ke level bawah, jatuhnya hanya soal kibasan tangan, isu rumah tangga, dan lain-lain,” ujar Elcid.

Orang yang memiliki pengetahuan tentang orang lain bisa mendesain dan memanipulasi kawanan lain karena pengetahuan yang tidak berimbang (epistemic asymmetry).

“Bagi saya, bukan lagi soal perilaku Gen Z sebagai pemilih terbesar, tetapi soal computational logic yang dijalankan secara efektif dalam memanipulasi perilaku pemilih. Tak hanya computational politics, dengan kombinasi kekuasaan presiden yang mendekati absolut, membuat social engineering menjadi sempurna,” tambahnya.

“Siapa pun yang mampu secara riil memetakan sampai ke level bawah, penguasaan terhadap data, penguasaan berbagai instrumen kekuasaan, sumberdaya yang sangat kuat, tidak usah berbuat apa pun, dia akan menang,” ujar Elcid.

Menurut dia, dengan kondisi demikian, kelihatan sekali saat ini posisi Prabowo-Gibran di atas angin karena epistemic asymmetry, juga karena technocratic dominance ala Jokowi.

Target dari tim Prabowo, dengan modus teleological replacement adalah dengan mendesain atau mengatur agar Gibran menjadi sasaran target dari pendukung Ganjar.

Antitesis pada Pemilu 2024

Mengutip buku “Kuasa Rakyat”, dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta Rangggabumi Nuswantoro menjelaskan tiga pertimbangan seorang pemilih ketika menentukan pilihannya.

Pertama, pertimbangan sosiologis, khususnya berbasis agama. Kedua, seiring berjalannya waktu beralih ke pertimbangan psikologis, bagaimana calon memberikan rasa aman, rasa nyaman. Ketiga, yang ideal, adalah pertimbangan rasional.

Ketika perilaku pemilih bergerak maju, ujar Ranggabumi, semakin hari melihat kenyataan yang berbeda. Pemilu 2014, seperti ada angin segar.

“Dari masa konsolidasi demokrasi, kita melihat sebuah harapan ketika pemimpin seperti Jokowi lahir dari bawah. Masyarakat kita mulai melihat aspek psikologis dan melihat sesuatu yang lebih substansial,” ujar Ranggabumi.

Yang menarik, kata Ranggabumi, pada 2024 ada antitesis yang muncul. Pada 2016, saat pilkada Jakarta, masyarakat Indonesia makin rasional.

Tahun 2024 tampaknya masih punya pekerjaan rumah bagaimana sebagai masyarakat bisa semakin rasional.

Humor untuk Mengingat Horor

Menurut Ranggabumi, rasionalitas politik seakan-akan dijebak pada kondisi yang akhirnya dituntut untuk mempertahankan apa yang disebut zona nyaman.

“Selama sembilan tahun kita diberi narasi akan menjadi bangsa besar, bonus demografi, yang membuat masyarakat melihat kondisi ini adalah kondisi yang nyaman. Ada sebuah ketakutan jangan-jangan kita tidak bisa melanjutkan situasi yang baik,” kata Ranggabumi.

Dibalut dengan politik riang gembira, humor tidak lagi dilihat sebagai kritik, tetapi menjadi meninabobokan rasionalitas.

Sebab itu perlu melihat bahwa pada pemilu 2024 sebanyak 60 persen diikuti usia di bawah 40 tahun ke bawah atau generasi yang lahir pasca-1998.

Mereka tumbuh dengan narasi yang sudah lepas dari horor 1998 dan Indonesia akan menjadi negara besar di tahun Indonesia emas.

“Saat ini ada kecenderungan untuk lebih menyukai pendekatan yang menawarkan kesenangan, membuat kita happy. Ini banyak dimainkan oleh media. Artinya, di dalam narasi yang dimunculkan menjauhkan politik dari hal-hal yang sifatnya substansial,” ujar Ranggabumi.

Saat ini, kata dia, perlu memunculkan narasi tandingan yang mengajak orang muda untuk berpikir lebih substantif karena arena itu kini hanya diisi dengan narasi yang meninabobokan.

Sambil bercanda, Ranggabumi mengajak para komedian untuk turun gunung karena humor saat ini justru dipakai untuk meninabobokan daya kritis publik.

“Seolah kalau ada yang mengkritik, kita dianggap menjadi pihak yang mengingingkan politik tidak damai,” tambahnya.

TERKINI
BACA JUGA