Koalisi Perempuan Indonesia Bangun Perspektif Gender bagi Jurnalis di Sikka

Menjadi jurnalis yang inklusif juga mengangkat cerita-cerita dari mereka yang terdampak untuk bangkit dari situasi dan kondisi yang terjadi.

Maumere, Ekorantt.com – Penting bagi jurnalis untuk memiliki perspektif gender dalam memproduksi karya-karya jurnalistiknya.

Tujuannya adalah agar produk jurnalistik yang dihasilkan tidak bias gender, serentak menempatkan gender-gender yang ada di masyarakat dalam posisi yang adil dan setara.

Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) didukung The Asia Foundation berupaya untuk membangun perspektif itu bagi para jurnalis yang bekerja di Kabupaten Sikka.

Dalam bingkai tema ‘Pelatihan Jurnalistik Berperspektif Gender’, KPI memberikan pelatihan kepada 13 jurnalis pada 30 September hingga 1 Oktober 2024.

Staf Reformasi Kebijakan Publik Sekretariat Nasional KPI, Mega Puspitasari mengatakan, tujuan pelatihan adalah untuk mendorong para jurnalis di Kabupaten Sikka agar mampu menghasilkan karya jurnalistik yang mengusung perspektif kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI).

“Kami ingin agar jurnalisme lebih ramah terhadap isu kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial,” ujar Mega pada pembukaan pelatihan yang bertempat di Hotel Sylvia tersebut.

Jurnalisme Inklusif 

Menjadi jurnalis adalah sebuah profesi untuk kepentingan publik luas. Jurnalis itu kerja inklusif, tidak bekerja untuk dirinya atau golongan tertentu saja.

Hal itu disampaikan oleh Fasilitator Pelatihan, Hengky Ola Sura. Menurutnya, untuk membangun perspektif yang inklusif, penting bagi jurnalis memahami konsep GEDSI. Dengan itu, Jurnalis akan mampu menghasilkan karya-karya yang ramah gender.

“Praktik jurnalisme harus mampu menyuarakan kesetaraan gender. Ini penting agar kelompok-kelompok yang selama ini kurang mendapat akses, seperti perempuan, anak-anak, dan disabilitas, mendapatkan perlakuan yang lebih adil dan setara,” katanya.

Hengky juga menyoroti perubahan iklim yang belakangan secara serius didiskusikan berbagai pihak. Dampaknya, kata dia, dominan menimpa kelompok-kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas.

Menjadi jurnalis yang inklusif, lanjutnya, juga mengangkat cerita-cerita dari mereka yang terdampak untuk bangkit dari situasi dan kondisi yang terjadi.

Prinsip Jurnalisme GEDSI

Pemateri hari pertama, Pater Steph Tupeng Witin, SVD yang pernah memimpin Harian Flores Pos mengatakan, jurnalisme berperspektif gender memperjuangkan kesetaraan gender untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil, setara, dan merata.

Untuk itu, kata dia, penting bagi jurnalis untuk memahami dengan baik konsep-konsep gender dan prinsip-prinsipnya.

Lanjutnya, perspektif ini membuka ruang bagi jurnalis untuk mempermasalahkan relasi yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan di ruang publik.

“Kita memilih jalan perlawanan yang rasional lewat bermedia, tetapi kita juga mesti memiliki pemahaman yang baik mengenai perspektif gender ini,” katanya

Pater Steph juga menekankan media atau jurnalis untuk selalu mengutamakan laporan yang peka gender, menghadirkan representasi gender, serta mempertimbangkan aspek dampak media terhadap gender dalam pemberitaan.

Jurnalis berperspektif gender, menurutnya, mampu menyuarakan posisi tawar perempuan dalam kepemimpinan publik, menghadirkan kiprah-kiprah perempuan dalam menjaga lingkungan, menyoroti penegakan hukum yang diskriminatif terhadap gender, dan menyajikannya dengan bahasa yang jelas dan tegas untuk menghindari penafsiran lain dari pemberitaan.

“Kita memang dituntut untuk independen dan cover both side, akan tetapi harus beri ruang yang lebih bagi korban dalam pemberitaan,” katanya.

Dalam mencapai pemberitaan yang inklusif dan berperspektif gender, ia menekankan pentingnya kolaborasi antar sesama wartawan maupun antara wartawan dengan tim redaksi.

“Harus ada kerja sama yang kuat antara reporter lapangan dan tim redaksi. Dengan kolaborasi yang baik, kita bisa menghasilkan karya-karya jurnalistik yang lebih inklusif dan ramah gender,” jelas Pater Stef.

Pater Steph berharap, para jurnalis dan pemilik media untuk melakukan advokasi terus-menerus dengan memberi ruang lebih bagi kelompok perempuan dan ragam gender lain, serta menulis dengan bahasa-bahasa yang tidak bias gender.

“Media harus terus mendorong keterlibatan perempuan di berbagai aspek. Selain itu, publik juga harus kritis dan aktif mengawal konten media agar tidak bias gender,” tegasnya.

Hal senada disampaikan Sandi Hayon Jehadu, jurnalis Kompas.com yang menjadi pemateri di hari kedua. Menurut Sandi, terjadinya pemberitaan yang bias gender disebabkan oleh pemahaman jurnalis akan gender yang masih kurang.

Terlebih lagi, perwakilan perempuan dalam ruang redaksi yang amat sedikit memperparah situasi yang ada. Sandi mengutip data yang dikeluarkan AJI, jurnalis perempuan di posisi petinggi redaksi hanya enam persen, selebihnya laki-laki.

“Tenaga kerja jurnalis didominasi laki-laki, lalu membuat berita tentang perempuan. Konsekuensinya ya cenderung menyudutkan perempuan,” kata Sandi.

Selain itu, kata dia, pertimbangan bisnis media online yang “kejar klik” dan bergantung pada klik membuat jurnalis menggunakan bahasa-bahasa yang mengundang atensi pembaca, yang bisa jadi mengorbankan perempuan di dalamnya.

Menurut Sandi, untuk dapat membentuk perspektif yang baik terkait gender, jurnalis harus memiliki rasa empati terhadap korban dan ramah terhadap gender dengan memilih diksi yang tepat.

“Kita tidak boleh menjelaskan secara langsung dan detail mengenai identitas korban, kronologi kejadian, serta hindari pilihan diksi yang seksis,” pungkasnya.


Risto Jomang dan Ensy Oktaviana

spot_img
TERKINI
BACA JUGA