Menuntut Keberpihakan Negara terhadap Petani di Tengah Ekspansi Kapitalisme Pertanian di Flores

Jika pada masyarakat sebelumnya, diferensiasi kelas masih belum kentara, pada masyarakat kapitalis, dengan adanya eksploitas, akumulasi, dan produksi untuk surplus melahirkan bentuk diferensiasi kelas yang semakin parah.

Oleh: Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila*

Petani merupakan subjek yang berperan penting menyediakan pangan di masyarakat (Van Der Ploeg; 2019). Ketersediaan pangan merupakan hasil kerja petani. Mereka mengolah alam, menjaga keseimbangan ekosistem, dan menciptakan relasi manusia dengan alam.

Relasi itu selalu dilandasi nilai untuk mengambil dari alam apa yang dibutuhkan. Tidak ada kecenderungan untuk menguasai dan melampaui alam. Tetapi, gambaran petani ini hampir jarang ditemukan saat ini.

Tatanan pertanian telah berubah ke arah pembentukan petani yang ‘mencoba’ melampaui alam dan menguasainya. Singkatnya, tatanan pertanian mengalami fase peralihan dari pertanian subsisten dan tradsional menuju pertanian kapitalis.

Dalam buku “Dinamika Kelas Dalam Perubahan Agraria” (terj), Henry Bernstein (2019) membedakan masyarakat menjadi tiga kategori luas sesuai dengan tahapan evolusi.

Pertama, masyarakat subsisten, pada masyarakat jenis ini, keberlangsungan hidup untuk mereproduksi masih terbatas pada “…tingkat konsumsi yang konstan…” dan pemenuhan kebutuhan hidup masih bergantung pada perladangan berpindah (nomaden).

Dalam masyarakat subsisten, masyarakat mereproduksi diri bergantung pada apa yang mereka butuhkan untuk dikonsumsi. Belum ada usaha untuk mengejar laba dan mengakumulasi profit, itulah masyarakat subsisten.

Kedua, masyarakat agraris. Pertanian pada masyarakat subsisten, yang berpindah-pindah akhirnya menuntut masyarakat ini untuk menetap melalui upaya “…. domestikasi (penjinakan) oleh manusia terhadap tanaman dan binatang….”.

Menurut Bernstein (2019), pada masyarakat agraris, kehidupan masyarakat sudah terbagi ke dalam kelas. Jika pada masyarakat sebelumnya, produksi kebutuhan didasarkan pada kebutuhannya saja (konsumsi konstan), pada masyarakat agraris, yang telah mengalami pembentukan kelas, produksi kebutuhan menjadi lebih diperluas, yang memungkinkan mereka untuk memproduksi melebihi batas konsumsi.

Ketiga, masyarakat kapitalis. Masyarakat kapitalis ditandai dengan adanya “eksploitasi tenaga kerja yang digerakan oleh kebutuhan untuk memperluas skala produksi dan meningkatkan produktivitas demi menciptakan laba – singkatnya, akumulasi” (Bernstein; hlm. 30).

Pada masyarakat jenis ini, eksploitasi menjadi salah satu ciri khasnya, yang memungkinkan adanya akumulasi. Produksi lebih didasarkan pada usaha untuk meningkatkan surplus, lewat eksploitasi kelas.

Jika pada masyarakat sebelumnya, diferensiasi kelas masih belum kentara, pada masyarakat kapitalis, dengan adanya eksploitas, akumulasi, dan produksi untuk surplus melahirkan bentuk diferensiasi kelas yang semakin parah.

Artikel ini akan melihat dua soal yang berkait kelindan dalam penghidupan petani di Flores. Pertama, terputusnya peran negara (atau negara menjauh dari pertanian) dalam memproteksi petani dan pertanian, sehingga petani semakin kompetitif untuk memproduksi kebutuhan mereka.

Di sini, pasar lewat ekspansi kapitalisme di sektor pertanian mendorong petani dan pertanian bersaing dalam ceruk pasar yang terbuka, tetapi dengan ciri khas eksploitasi oleh petani terhadap petani lain, tengkulak terhadap petani, dan negara terhadap petani.

Kedua, kapitalisme pada sektor pertanian dirancang untuk memberi kelonggaran dan kebebasan untuk bertani, tetapi karena konteks ekonomi politik agraria yang timpang, kompetisi itu berakhir pada “penundukan” petani di bawah kendali kapitalisme pertanian. Persis, yang saya amati di Flores, petani semakin ditundukan di bawah kapitalisme pasar, yang menghadirkan wajah pertanian kapitalis.

Pertanian dan Absennya Negara

Petani dan pertanian di Flores minim dari sentuhan negara. Dalam arti ini, negara absen dalam persoalan keseharian petani dan pertanian di Flores. Di Flores, petani menghadapi banyak ragam masalah terkait dengan penghidupan mereka pada sektor pertanian.

Salah satu yang saya temukan di lapangan ialah terkait harga komoditas pertanian atau meminjam bahasa sehari-hari petani “permainan harga”. Ketika komoditas pertanian (kakao, cengkih, kemiri, kopra, kopi, dan lain-lain) membanjiri pasar, harga komoditas ini seringkali fluktuatif, dan nyaris tak memberi keuntungan bagi petani.

Fluktuasi harga komoditas di pasar tentu memberatkan di pihak petani, karena mereka harus memiliki hitungan penjualan; ketika harga melambung bagus, barang akan dijual, sebaliknya, ketika harga komoditas merosot (tajam), barang akan disimpan untuk waktu lama.

Terlihat tak ada masalah dengan apa yang dilakukan petani dalam menghadapi fluktuasi harga komoditas pertanian. Tetapi, jika kita melihat dampak ikutannya terhadap tingkat kebutuhan rumah tangga petani, maka dampak fluktuasi harga komoditas pertanian dan cara petani mempertahankan barang, dengan harapan harga sewaktu-waktu melambung tinggi, justru menciptakan masalah baru bagi penghidupan mereka.

Sementara, tingkat konsumsi rumah tangga petani yang berbeda-beda sekaligus reproduksi kebutuhan pangan, tentu membutuhkan kestabilan konsumsi rumah tangga yang tetap terjaga.

Secara sederhana, rumah tangga petani akan tetap membutuhkan pangan, hal itu berarti menuntut mereka untuk selalu menyediakan pangan bagi kelangsungan hidup mereka.

Saya mengamati di beberapa kampung di Kota Komba, petani menghadapi masalah seperti ini. Mereka mengeluh terkait harga komoditas yang fluktuatif, yang menyebabkan mereka tak berani menyimpan barang dalam jangka waktu yang lama.

Sebab, konsumsi rumah tangga yang harus disediakan setiap hari menuntut mereka untuk menjual komoditas dengan harga yang kurang menguntungkan. Kondisi ini perlu dilihat sebagai persoalan struktural, di mana negara tak memiliki “kemampuan” untuk mengatur harga komoditas yang dapat memberi petani keuntungan.

Ketidakmampuan negara dalam mengatur harga komoditas, akhirnya memaksa petani untuk bersaing dalam ceruk pasar yang tak stabil, cenderung timpang, dan memberatkan mereka.

Masalah ini sangat kompleks. Negara di Flores cenderung menjauh dari masalah petani. Problem di kalangan petani, adanya praktik “permainan harga”, ketimpangan agraria (tingkat penguasaan lahan pertanian yang kecil), dan transaksi penjualan tanah untuk menutup utang – singkatnya kemiskinan petani, kerap dilihat sebagai masalah individu dan rumah tangga petani.

Kacamata yang dilihat sering menempatkan petani tidak kreatif, malas bekerja, tanpa melihat konteks persoalan yang dihadapi petani. Karena menggunakan cara berpikir ini, negara di Flores cenderung menggeneralisir persoalan petani sebatas masalah individu, perubahan cuaca, dan lain-lain.

Ekspansi Kapitalisme

Kapitalisme selalu membutuhkan ruang geografis baru untuk menjejakan kaki-nya. Di Flores, kapitalisme industri masih terbatas. Namun, di Flores ekspansi kapitalisme mengambil rute yang berbeda melalui “penundukan pertanian dan petani” di bawah kendali pasar.

Pasar membuka ruang bagi semua orang untuk dapat mengakses, memasuki – singkatnya, terbentuk relasi dalam pasar. Dalam pasar kapitalis, orang bebas menjual apa saja, melakukan transaksi tanpa batas, tetapi logikanya selalu mengarah pada profit, surplus, dan akumulasi. Persis, petani berada dalam logika pasar kapitalis seperti ini.

Petani memiliki kebebasan mengakses pasar. Namun, kebebasan itu bukanlah kebebasan mutlak petani, sebaliknya, kebebasan itu diatur dalam logika pasar kapitalis. Ini ditunjukan, misalnya, kecenderungan petani untuk terus mengejar laba, mengakumulasi secara terus-menerus komoditas pertanian maupun tanah pertanian, yang disertai dengan kompetisi sesama petani.

Ini bukanlah pilihan mutlak petani untuk membangun semacam “benteng kapital”, tetapi sebagai konsekuensi dari “kemendesakan” petani yang berada dalam pasar.

Dalam ruang pasar, relasi petani sesama petani lain dan relasi petani dengan tanaman dan binatang, dilandasi orientasi pada pilihan di pihak petani untuk mendapatkan laba dan surplus.

Ekspansi kapitalisme membawa banyak perubahan pada sektor pertanian di Flores. Jika jauh sebelumnya pertanian masih mengandalkan kerja konvensional, saat ini pertanian telah berkembang yang membantu petani menciptakan efisiensi waktu, biaya, dan tenaga.

Namun, perubahan ini mengarah pada bentuk pertanian kapitalis, di mana sektor pertanian dikendalikan di bawah logika kapitalis. Ini menciptakan beragam situasi bagi petani di Flores, di mana mereka harus mampu beradaptasi dalam konteks pasar yang dinamis.

Dinamika pada sektor pertanian yang semakin kompetitif, membuat pilihan sebagian petani untuk bermigrasi (mencari pekerjaan di Kalimantan, Papua, dan Malaysia), dengan harapan bisa terus memproduksi kebutuhan rumah tangga.

Pilihan bermigrasi perlu dilihat sebagai respons petani-petani di Flores yang dipengaruhi oleh ekspansi kapitalisme pada sektor pertanian yang kompetitif. Mereka harus bersaing dalam ceruk pasar yang dinamis dan cenderung timpang. Dalam kondisi seperti ini, negara absen melihat persoalan migrasi dan kemiskinan di kalangan petani sebagai suatu yang harus disentuh lewat kebijakan.

Jalan Keluar

Di sini, yang coba diajukan sebagai jalan keluar bukanlah solusi yang pasti dan permanen. Tetapi, lebih sebagai upaya “menuntut” perhatian negara pada sektor pertanian dan nasib petani di Flores.

Negara perlu mendudukan persoalan pada sektor pertanian dan kemiskinan petani sebagai konsekuensi dari masalah struktural yang cenderung diabaikan. Maka, untuk mengatasi masalah ini, perhatian negara pada sektor pertanian, dengan menggerakan sektor ini lewat kebijakan pro-pertanian dapat menjamin keberlangsungan pertanian sebagai penopang ekonomi.

Ada banyak upaya yang bisa dilakukan; menjamin akses petani pada ketersediaan pupuk, teknologi pertanian, sekaligus harga komoditas pertanian yang menguntungkan petani. Singkatnya, subsidi pada sektor pertanian harus lebih ditingkatkan dan dapat dirasakan oleh petani.

Ini memerlukan peran dan dukungan negara lewat kebijakan pertanian. Sehingga, bisa memberikan kepastian jangka panjang bagaimana tata kelola pertanian dapat menciptakan ketersediaan pangan yang terjamin. Melalui ini, petani tak berjalan sendiri di tengah ekspansi kapitalisme, yang cenderung membuat mereka termarjinalkan dari sektor pertanian.

*Penulis adalah alumnus Universitas Merdeka Malang

TERKINI
BACA JUGA