Maumere, Ekorantt.com – Hasil riset Tim Puskaha Djojodigoeno Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) bekerja sama dengan Kementerian ATR BPN menunjukkan bahwa tanah eks HGU Nangahale yang saat ini bersertifikat atas nama PT Kristus Raja Maumere (Krisrama) tercatat sebagai tanah ulayat masyarakat adat.
Riset tersebut dilakukan melalui inventarisasi dan identifikasi tanah ulayat, yang diterbitkan dalam laporan berjudul Laporan Akhir Inventarisasi dan Identifikasi Tanah Ulayat di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Timur pada 2021.
Dalam laporan tersebut, tanah ulayat didefinisikan sebagai tanah yang penguasaannya diatur oleh hukum adat, yang dapat dikuasai baik oleh perseorangan maupun persekutuan.
Di Kabupaten Sikka, terdapat enam komunitas masyarakat adat, berdasarkan temuan yang ada, yaitu Natar Koker, Natar Runut, Natar Tana Ai Mapitara, Natarmage, Nua Nian Urat Uma Laju, dan Lewo Tana Tukan Eko.
Tanah eks HGU Nangahale, yang termasuk tanah ulayat masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut, tercatat dalam daftar tanah ulayat tersebut. Selain di Nangahale, kedua suku ini juga memiliki tanah ulayat di beberapa wilayah lain, seperti Suku Goban di Runut, Watudiran, dan Wairterang, serta Suku Soge di Natarmage, Tuabao, Ilinmedo, dan Talibura.
Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno juga telah menyelenggarakan penyuluhan hukum secara online pada 25 Oktober 2022 dengan tema “Opsi Pengadministrasian Tanah Ulayat di Nusa Tenggara Timur”.
Direktur Pengukuran dan Pemetaan Kadastral Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Tri Wibisono, pada kesempatan itu menjelaskan, Kementerian ATR/BPN mempunyai tujuan strategis untuk mendaftarkan bidang-bidang tanah di Indonesia, sampai 2025 ditargetkan harus mendaftarkan seluruh bidang tanah di Indonesia sekitar 126 juta bidang.
Rikardo Simarmata dari Puskaha Djojodigoeno mendorong “Kantor Pertanahan dapat melakukan deliniasi dengan menerbitkan Nomor Identifikasi Sementara beserta atributnya terlebih dahulu, sembari menunggu pengakuan Masyarakat Hukum Adat oleh Pemerintah Daerah setempat.”
Dorongan tersebut mengacu pada Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2019 dan Surat Edaran No. 139 Dirjen SPPR Kementerian ATR/BPN, guna melaksanakan penatausahaan tanah ulayat.
Mekanisme tersebut “dimaksudkan untuk menghilangkan kebuntuan karena belum adanya pengakuan MHA dari Pemda.”

Tidak Lanjutkan Sertifikasi Tanah Ulayat Nangahale
Kementerian ATR/BPN telah menginstruksikan kantor pertanahan di daerah untuk menindaklanjuti hasil riset Universitas Gadjah Mada (UGM) terkait identifikasi tanah ulayat pada awal 2025. Hal ini disampaikan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sikka, Herman Oematan.
Informasi terkait riset tersebut diperoleh Ekora NTT langsung dari Herman. Menurutnya, meskipun terdapat tanah eks HGU Nangahale yang tercatat dalam daftar tanah ulayat, Kantor Pertanahan Sikka tidak akan melanjutkan proses sertifikasi untuk tanah tersebut.
“Saat kami menerima informasi tersebut, ternyata Nangahale termasuk dalam enam titik yang teridentifikasi. Kami tidak lanjutkan proses sertifikat tanah ulayat tersebut,” ujar Herman saat ditemui di ruangannya, Selasa, 25 Maret 2025.
Herman menjelaskan, alasan penghentian proses sertifikasi dilakukan karena tanah di Nangahale saat ini sudah diberikan hak HGU kepada PT Krisrama.
Sebelumnya, Kementerian ATR/BPN mengundang kepala kantor pertanahan daerah di NTT dan Bali untuk membahas penyertifikatan tanah ulayat sesuai dengan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Untuk provinsi NTT, Kabupaten Ngada telah memulai proses penyertifikatan tanah ulayat, diikuti oleh 11 kabupaten lainnya.
“Kami akan berkoordinasi lagi dengan Pemerintah Daerah untuk mencari titik lain yang layak untuk sertifikasi, namun bukan untuk Nangahale,” kata Herman menambahkan.