Maumere, Ekorantt.com – Di bawah rindangnya pohon kersen, Yohanes Baha (64) tampak tekun memecah batu. Dengan palu besi di tangan, pria paruh baya asal Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, itu terus bekerja tanpa lelah meski usia tak lagi muda.
Setiap ayunan palu yang menghantam bongkahan batu adalah wujud nyata dari perjuangannya demi keluarga.
Bagi Yohanes, usia bukan alasan untuk berhenti berusaha. Ia tetap menatap masa depan dengan penuh optimisme, meskipun tantangan hidup tak pernah ringan.
“Saya pernah sakit kemudian sembuh dan akhirnya bisa beraktivitas kembali,” ungkap Yohanes saat ditemui Ekora NTT, Senin, 22 September 2025 siang, di tempat usahanya yang berlokasi di depan rumahnya di Lingkar Luar- Wairklau, Kelurahan Madawat, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka.
Penyakit yang dideritanya sempat membuat Yohanes kehilangan arah. Ia merasa putus asa karena sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Namun, keadaan tidak memberi ruang untuk berdiam diri. Kebutuhan rumah tangga dan biaya pendidikan anak-anak menuntutnya untuk kembali bangkit.
Kini, bersama sang istri, Martina Boi yang usianya tujuh tahun lebih muda, Yohanes memilih jalan baru, yakni berjualan batu kerikil dan pasir. Mereka memecah batu sendiri, lalu menjualnya kepada warga yang membutuhkan bahan bangunan.
Meski pekerjaan itu berat, pasangan suami istri ini menjalaninya dengan penuh kesabaran dan harapan.
Martina menuturkan, usaha ini sudah dijalankan sejak mereka menetap di Wairklau puluhan tahun silam. Awalnya, usaha batu dan pasir ini hanyalah kegiatan sampingan untuk mengisi waktu luang, sebab kala itu suaminya masih bekerja sebagai sopir.
Setelah berhenti dari pekerjaan sebagai sopir, Yohanes sempat merantau ke Papua (Irian) untuk membantu membiayai pendidikan anak. Namun, karena sakit, ia terpaksa pulang kampung dan tidak lagi bekerja. Mereka kemudian memutuskan untuk mengelola usaha batu dan pasir bersama secara serius.
“Saya pilih batu kali samping rumah dan kumpul. Lalu saya titi batu. Jual sebatas keluarga. Watu itu batu kerikil satu karung sak semen saya jual Rp2.500,” ungkap Martina.
Seiring waktu, usaha ini mulai dikenal luas. Semakin banyak warga yang datang membeli, dan dari situlah kebutuhan sehari-hari mereka terpenuhi.
“Setiap hari selalu ada uang di tangan. Jika tidak ada usaha ini, anak-anak tidak sekolah,” katanya.
Martina menambahkan, saat anak mereka hendak menyelesaikan kuliah dan membutuhkan banyak biaya, usaha batu dan pasir menjadi penyelamat utama.
“Waktu anak saya mau selesai kuliah butuh banyak biaya, tapi puji Tuhan saat itu pesanan batu pasir ramai sehingga bisa tertolong,” ucapnya.
Kisah perjuangan kedua orangtuanya bahkan menginspirasi sang anak untuk menulis tentang batu dalam sebuah karya tulis.
“Dia menulis, ‘Batu memang tidak berarti kalau ada di tempat, setelah dipungut, dirapikan, diatur sedemikian rupa, diisi dalam satu wadah, ternyata nilainya uang’,” kenang Martina, yang juga aktif sebagai kader Posyandu di lingkungannya.
Kini, anak mereka telah lulus kuliah di jurusan akuntansi dan bekerja di Bank BRI Cabang Larantuka.
“Karena terinspirasi itu, anak saya kuliah ambil jurusan akuntansi, dan sekarang kerja di Bank BRI Cabang Larantuka,” ujar Martina bangga.

Pendapatan Menurun
Yohanes mengaku, sepi pembeli sejak awal tahun 2025, dibandingkan dengan tahun 2024 bahkan sebelumnya.
Dalam satu bulan dirinya hanya mampu menjual beberapa karung sak semen, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang bisa mencapai puluhan hingga ratusan karung sak semen.
“Sebelumnya pendapatan satu hari bisa mencapai 200 ribu rupiah, bahkan satu bulan bisa mencapai empat juta rupiah. Sekarang pendapatan merosot jauh,” ungkap Yohanes.
Meskipun sepi pembeli, Yohanes dan Martina tetap semangat bekerja kerena mereka yakin rezeki itu akan datang dengan sendirinya.
“Karena rezeki sudah diatur oleh Tuhan. Jangan putus asa, kita tetap titi batu, ayak pasir. Ibaratnya batu dan pasir kita tabung dibank. Kita titi habis kita simpan sama saja kita simpan uang, ” ujar Yohanes.
Mereka merasa bersyukur karena dari usaha ini bisa biaya pendidikan empat anak dan semuanya sudah bekerja dan bantu mereka. Meski anak sudah bekerja, mereka tetap jalani usaha ini.
“Anak kami lima orang, ada yang guru, pegawai Bank BRI, teknisi di salah satu perusahaan di Kalimantan, yang terakhir masih sekolah di SMK Negeri 1 Maumere,” ungkap Yohanes.
Yohanes bilang, berjualan mulai pukul lima pagi. Ia juga memiliki waktu untuk berolahraga.
“Jam setengah lima pagi saya jalan santai 15 menit. Lalu saya mulai titi batu, sampai saya rasa lelah baru berhenti. Kita perintah diri sendiri, kalau cape ya berhenti, kalau tidak kerja terus,” ujarnya.
Stamina Menurun
Yohanes mengaku, batu dan pasir mereka beli dari mobil truk kemudian dijual kembali. Dibandingkan dulu tenaga masih kuat mereka angkut batu dan pasir dari kali samping rumah.
“Dulu masih kuat, saya dan istri titi batu bisa sampai 10 sak semen. Sekarang usia sudah tua hanya bisa 5 sak semen. Tapi saya usahakan stok batu dan pasir 25 sak harus tetap ada,” ujar Yohanes.
“Bisanya setiap hari istri bantu titi batu, ayak pasir. Sekarang ada waktu luang baru bisa bantu karena aktif di berbagai kegiatan sosial,” tambahnya.
Harga batu kerikil Rp20 ribu per sak semen. Pasir halus Rp10 ribu, kalau pasir kasar tidak dipatok harga.
Kata Martina, pekerjaan memang cape, kotor, orang menilai pekerjaan ini hina, tapi bagi kami pekerjaan ini sangat mulia, karena dari usaha ini kami bisa menghidupkan dan menyekolahkan anak-anak.
Pasangan suami istri asal kabupaten Lembata ini berpesan kepada anak-anaknya untuk mencintai pekerjaan. Jangan melihat besarnya gaji, tetapi dampak positif terhadap suatu pekerjaan.













