Hak Asasi Manusia, ‘Public Policy’ dan Kurikulum Sekolah Era Pandemi (Kedua/habis)

Oleh: Louis Jawa

Kurikulum Sekolah Era Pandemi (KSEP) menjadi sesuatu yang mendesak (urgen), ketika program dan kebijakan pemerintah harus selaras konteks kehidupan masyarakat Indonesia yang beragam. Konteks, tidak saja menjadi sangat penting dalam pemetaan penyebaran pencerdasan anak bangsa, tetapi juga dalam membangun sebuah perasaan keadilan tentang pendidikan itu sendiri.

(Baca juga: Hak Asasi Manusia, ‘Public Policy’ dan Kurikulum Sekolah Era Pandemi)

Ketika anak-anak di sekolah yang sudah mapan dan kuat, berkembang sangat pesat dengan kecerdasannya, sementara anak-anak di sekolah yang masih merangkak maju, dengan konteks daerah tertinggal, harus berada dalam sebuah penantian akan badai virus berlalu.

Optimisme dan Diskriminasi Konteks

iklan

Bagian kedua dari tulisan ini menempatkan kebijakan selaras konteks, dan betapa pentingnya pandangan para pakar baik di bidang pendidikan, maupun di bidang kesehatan, ataupun bidang perjuangan hak asasi anak. Konteks tidak boleh diremehkan dalam setiap pengambilan kebijakan, dan sikap meremehkan dan mengabaikan akan berbuah petaka dalam perjalanannya. Konteks pendidikan daerah maju berbeda dengan konteks kehidupan daerah tertinggal, demikian pun kurikulumnya.

Optimisme new normal wajar-wajar saja, namun konteks kehidupan tidak akan pernah netral dalam dirinya sendiri. Hemat saya, persoalan pendidikan bangsa kita, hanya mengedepankan monolitik pendidikan daerah-daerah maju, dan sama sekali tidak membuka ruang bagi pendidikan daerah tertinggal.

Ketika pembelajaran jarak jauh yang diidealkan, menekankan kreativitas pendidik dalam sekolah virtual (dalam jaringan), maka pada saat yang sama, metode pendidikan tersebut menjadi amat pelik dan rumit bagi kenyataan daerah tertinggal. Memulai pembelajaran pada pertengahan Juli, bisa menjadi sebuah awal dari tanda, tentang penyeragaman konteks kehidupan pendidikan bangsa kita. Hak asasi manusia para pelajar dari daerah tertinggal mesti menjadi catatan di meja penguasa, pembesar dan petinggi negeri ini.

Memaknai ‘Teguran’ Pakar

Masukan pemerhati pendidikan dan kesehatan dari forum seperti PGRI, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), sekurang-kurangnya menyatakan tiga hal penting ini.

Pertama, semua orang sedang berjuang melawan virus dalam solidaritas dan soliditas global. Apa yang terjadi di belahan dunia lain, juga menjadi pengalaman yang sama dengan situasi bangsa kita.

Solidaritas dan soliditas global itu nampak dalam semangat saling berbagi informasi dan saling berbagi bantuan. Pengalaman bangsa lain, turut memperkaya pengalaman bangsa kita untuk menghadapi Covid-19.

Kedua, primat kesehatan dan keselamatan anak diprioritaskan dalam perjuangan persekolahan bangsa kita. Satu generasi tidak boleh punah lantaran sikap gegabah sekadar mau membuktikan keberanian untuk berlangkah maju.

Pengalaman persekolahan di negara Korea Selatan dan Australia sejenak menghentakkan keberanian untuk sungguh-sungguh memulai tatap muka pada zona yang tidak abu-abu, yang sebentar muncul sedikit dan nanti muncul lebih banyak. Wajah satu generasi anak bangsa harus diselamatkan, tanpa harus menyalahkan keputusan pemerintah untuk memulai sekolah pada 13 Juli mendatang.

Ketiga, protokol kesehatan perlu mempertimbangkan konteks dari Sabang sampai Merauke pada muatannya dan hubungannya dengan sekolah kita. Protokol kesehatan mungkin bisa berlaku untuk sekolah-sekolah mapan dengan standar fasilitas yang memadai, dengan kekuatan finansial dan sumber daya manusia tenaga pendidik yang berada di atas rata-rata.

Konteks kota-kota maju tidak bisa disamakan dengan konteks daerah-daerah tertinggal, yang pada banyak ragamnya, masih harus ditetapkan kurikulum darurat yang berkeadilan dan berperikemanusiaan.

Narasi Konteks Risau Sekolah Swasta

Ini konteks sekolah di era pandemi Covid-19 yang mungkin terabaikan dan terlupakan dalam optimisme negeri ini. Pada sisi ini, risau sekolah swasta sangat beralasan.

Pertama, sumber pemasukan utama sekolah swasta dari iuran atau uang SPP peserta didik. Semakin lama tidak ada sekolah dengan tatap muka, maka dengan sendirinya sekolah akan kesulitan menagih sumber keuangan itu.

Pada sisi lain, kebutuhan guru dan pegawai, mesti dipenuhi setiap bulannya. Semakin lama zona kuning, orange dan merah mendominasi, maka semakin pelik tuntutan guru dan pegawai akan gaji mereka. Yayasan pun semakin tersudutkan, hingga dalam keadaan yang riil, mau tidak mau, suka tidak suka, harus menutup sebahagian dari sekolahnya,

Kedua, kebijakan honor dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dengan syarat khusus pada masa pandemi, menjadi berkat dan petaka sekaligus bagi sekolah-sekolah swasta.

Berkat karena bisa membantu guru yang memiliki NUPTK dan telah terdaftar dalam dapodik. Petaka karena kebijakan ini melahirkan diskriminasi antara mereka yang mendapatkannya dan yang tidak mendapatkannya.

Dana BOS juga tidak sama untuk setiap sekolah, persis jurang kemiskinan bisa nampak antara sekolah dengan jumlah murid besar dan sekolah dengan jumlah murid sedikit. Dana BOS, dalam sudut pandang ini, hanya menguntungkan sekolah-sekolah dengan jumlah murid banyak.

Ketiga, tuntutan yang tinggi akan gaji berbanding terbalik dengan pengabdian dan komitmen untuk memajukan kualitas pendidikan pada masa pandemi ini. Pembelajaran dari rumah malah menjadi kesempatan emas bagi watak dan karakter malas dan menunggu di tempat. Masa pandemi malah menjadi masa beragam nilai negatif muncul, terutama sekolah swasta dengan fungsi kontrol yang lemah.

Sekolah swasta memang harap-harap cemas, pada konteks kehidupan ini, dan tantangan terbesar pada masa ini adalah sejauh mana sekolah swasta bisa survive di tengah situasi pembelajaran dari rumah. Sekolah menuntut uang sekolah, sementara anak-anak tidak masuk sekolah, dan murid-murid belajar dari rumah.

Relaksasi dan fleksibilitas dalam  konsep Mendikbud, juga harus menyasar sekolah-sekolah swasta, tidak hanya tertuju pada Perguruan Tinggi semata.

Public Policy dan Makna Harapan

Sejumlah panduan pembelajaran di era kenormalan baru, yang telah dirilis tim GTK Kemdikbud membawa sejuta satu harapan dalam dunia pendidikan kita. Makna harapan itu, meski masih dipoles dalam bahasa eufemistik, mengajak segenap anak bangsa, untuk terus berlangkah maju, dengan sejumlah adaptasi.

Ada dua hal penting, sebagai sintesis dari tesis dan antitesis, tentang perjuangan sekolah kita.

Pertama, negara yang optimis harus tetap maju dan sekolah yang berkualitas harus sanggup menemukan cara-cara kreatif dan visioner untuk terus membangunkan potensi kecerdasan anak bangsa. Dengan segala lebih kurangnya, negara menjamin kepastian perlindungan bagi anak-anak sebagai generasi bangsa yang tidak boleh punah, terutama karena kelalaian pemegang roda kehidupan pada pelbagai sektor saat ini.

Kedua, pemerintah daerah harus sanggup menyelaraskan bentuk kehidupannya selaras konteks kehidupannya, sambil tetap membangun komunikasi yang efektif dengan pemerintah pusat. Satu keluhan terbesar akhir-akhir ini adalah terputusnya komunikasi kebijakan antara pusat dan daerah, antara provinsi dan kabupaten, dan tingkatan lain di bawahnya.

Di hadapan negara, semua sekolah sama derajatnya. Ketika sekolah swasta kini harus berjuang segigihnya, maka negara ada di garis depan untuk menopang sekolah-sekolah yang terancam colaps atau gulung tikar.

Hak asasi manusia, terbentuk kokoh pada hak-hak asasi anak, pada hak-hak sekolah swasta dan juga pada hak-hak konteks daerah tertinggal dan mungkin yang terlupakan.

* Pegiat Pendidikan dan Dinamika Orang Muda

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA