Di Balik Breldy Anggela (Tanggapan atas Opini Charles Jama)

Oleh: Ivander Sandi Suryanto

Breldy Anggela yang mewakili Nusa Tenggara Timur dalam ajang Pemilihan Putri Indonesia 2022 kini ramai diperbincangkan. Breldy terpilih melalui seleksi ketat dengan banyak kriteria. Selain cantik, menarik, berwawasan luas tentang pariwisata dan kebudayaan Indonesia, Breldy juga bisa berbahasa asing.

Di sini, sosok Breldy Anggela telah memenuhi persyaratan. Sebelumnya, Julie Sutrisno Laiskodat yakin, Breldy Angela memiliki kompetensi dan kemampuan yang tidak kalah bersaing dengan orang dari luar NTT.

Keyakinan ini sebagai kekuatan sekaligus harapan. Bicara harapan, maka mimpi dan cita-cita harus diberi bobot positif, karena harapan selalu jatuh cinta dengan nilai-nilai positif.

Namun, harapan itu kini menjadi bahasa-bahasa negatif yang sarat sarkasme. Breldy Angela berhadapan dengan netizen media sosial, digempur pegiat seni, bahkan musisi, dan pemilik sah budaya itu sendiri.

Mereka marah ketika Breldy Anggela tampil dalam ajang bergengsi Pemilihan Putri Indonesia 2022 dengan busana ‘modifikasi’ Tari Caci yang indah, tapi disebut menyimpang. Jika dilihat dari foto dan video di media sosial, banyak pandangan subyektif muncul dan menilai kalau Breldy Anggela membuat pelecehan terhadap Caci.

Dalam opini Charles Jama, Matinya Estetika Caci (Membaca Kostum Caci pada Foto Putri Indonesia NTT 2022), Charles menekankan, estetika Caci yang sesungguhnya bukan hanya di-distorsi oleh kepentingan seniman modern, tetapi juga sering di-distorsi oleh pelaku Tari Caci itu sendiri.

Ketika distorsi muncul, maka Charles mengutip Roland Barthes dan menyebut faktor itu menyebabkan matinya estetika Caci yang sesungguhnya. Pemikiran ini menjelaskan, matinya pengarang yaitu suatu keadaan di mana seniman tercabut dari karya seninya.

Jiwa seni seseorang (kreator) muncul dan menciptakan makna baru pada bentuk yang asli sehingga menyebabkan distorsi atau penyimpangan. Dengan kata lain, ada perubahan bentuk yang tidak diinginkan. Dalam konteks ini, benar bahwa Caci itu ada dalam distorsi, tetapi estetika Caci di dalam dirinya tidak mati, tetapi dipelintir untuk urusan fashion show.

Pertanyaannya, siapa yang memelintir? Model pertanyaan ini yang sering ditakuti oleh manusia? Misalnya, apakah kamu yang memecahkan kaca itu? Jawabannya pasti lama. Pelaku biasanya membuka jawaban baru yang mengandung distorsi.

Maka, dalam konteks Breldy Anggela, dia tidak membuat distorsi, tetapi pengarang (desainer) dan pihak-pihak yang bekerja di balik Breldy. Distorsi ini hanya persepsi subyektif pembaca dan pemilik budaya itu sendiri.

Namun, konteksnya adalah desainer menciptakan busana sedemikian indah untuk mempromosikan budaya dari Nusa Tenggara Timur. Lalu, apakah itu salah?

Di Balik Breldy

Problem Caci yang terjebak dalam distorsi ini bukan baru muncul tahun 2022 ini. Sejak Caci itu lahir dan menjadi seni gerak paling unik, di dalamnya ada rentetan pergeseran. Saya menyebut ‘pergeseran’ karena ada alasan waktu.

Benyamin Franklin (Tracy, 2019:2) mengajukan pertanyaan ‘Apakah Anda menghargai hidup? Maka jangan sia-siakan waktu karena dari waktulah kehidupan terbentuk”. Pertanyaan ini adalah satu refleksi panjang tentang waktu; lebih tepatnya, soal momentum atau konteks apa yang kita bicarakan.

Dari sini, saya memberikan beberapa pemikiran serentak membaca apa saja yang ada di balik Breldy Anggela yang perlu disadari secara bersama-sama oleh masyarakat pemilik budaya itu sendiri.

Pertama, sarkasme dan pembunuhan karakter. Breldy Anggela sedang menjalani satu audisi penting mewakili NTT. Sayangnya, logika ruang media sosial tak mengenal apa itu filterisasi nilai-nilai. Konteks ini, melahirkan kekerasan verbal. Tanpa sadar, pemilik budaya ‘membunuh’ karakter mahasiswi hukum tersebut.

Dalam bahasa John B. Thompson, salah satu cara kerja ideologi adalah dengan legitimasi; meminjam Max Weber, relasi dominasi dapat dibangun dan dilestarikan melalui legitimasi, yaitu melalui kepatuhan dan kelayakan dukungan. Dalam konteks Breldy ini, legitimasi tak berfungsi, tetapi menjadi deformasi. Tentu, apa yang baik pada akhirnya dipandang tidak baik.

Kedua, ketidakadilan gender. Caci hanya dilakukan oleh laki-laki dewasa. Protes ini menunjukkan subordinasi masih subur. Laki-laki menegaskan itu adalah haknya, jadi tak boleh dilakonkan oleh perempuan; padahal itu hanya soal peragaan busana.

Lebih jauh, pemilik budaya menyebut sebagai pelecehan terhadap Caci itu sendiri. Sikap ini melahirkan opini ketidakadilan gender. Perempuan tidak boleh melakukan kegiatan laki-laki, cukup mengurus dapur dan ranjang.

Jika semua laki-laki marah bahwa itu adalah haknya, maka generasi perempuan yang lahir saat ini akan menjadi pribadi yang berada dalam kubangan budaya patriarkhi yang dahsyat. Generasi emas akan terjebak dalam eksploitasi gender selama berabad-abad lamanya.

Ketiga, fashion show tersebut membutuhkan mode, ragam, bentuk yang terbaru pada suatu waktu tertentu. Di sini, ketika Breldy Anggela menampilkan mode yang indah untuk kebutuhan fashion show, ini adalah momen bangkitnya estetika Caci untuk mempromosikan NTT serentak mengangkat martabat perempuannya.

Hal ini juga ditegaskan Harry Dharsono. Ia mengatakan, peragaan busana itu merupakan aspek promosi dari suatu kegiatan mode. Jadi, dampak promosi dari suatu kegiatan mode harus benar-benar inovatif. Kalau pada akhirnya ia dipersoalkan, maka dengan sendirinya estetikanya semakin kaya dan dahsyat.

Merujuk konteks Breldy Anggela, estetika Caci ini melampaui realitas sebelumnya. Jika kita melihat hanya laki-laki dewasa yang memainkan Caci, dalam fashion show, imajinasi seorang desainer atau para pencipta melampaui Caci yang biasa. Ini adalah mode, bukan pertunjukan Caci yang riil. Jadi, ini masalah biasa yang harus diapresiasi.

Keempat, ini adalah autokritik yang sarat makna. Mengapa autokritik? Karena distorsi yang diciptakan itu bukan hanya datang dari seniman luar NTT, tetapi dilakukan juga oleh pemilik budaya itu sendiri.

Intinya, Caci itu dipilih karena memang menarik untuk diperkenalkan kepada dunia, sehingga Angela dan timnya berani menampilkannya dalam fashion show tersebut.

Terlepas dari siapa yang memperkenalkannya, toh, sebagai pemilik budaya harusnya bangga karena Caci itu dipilih dari sekian banyak budaya yang ada.

Jika masalah kostum yang dipersoalkan sebagai suatu yang ‘melecehkan’, maka persepsi kita selalu mengandung metabolisme ide yang dangkal, negatif, buruk semua, ‘marah semua’ dan pada akhirnya bisa menjadi ‘teror’ yang mematikan kreativitas anak-anak bangsa.

Saya beropini, dengan menghadirkan Caci dalam dimensi seni yang luas, tidak ada salahnya inovasi yang dibuat untuk memberi warna yang menarik pada kostum Caci. Buktinya, kita sendiri menilai dan semakin mengkritiknya. Itu berarti kita semakin mencintai budaya kita.

Jadi, perlu digarisbawahi, ini dilakukan untuk kepentingan fashion show dan tidak melecehkan budaya itu sendiri. Dengan demikian, kehadiran warna baru dari hasil desain yang mengutamakan seni yang tinggi, bisa menciptakan rasa penasaran khalayak dunia yang menyaksikan peragaan tersebut tentang apa dan bagaimana budaya Caci itu.

Poin lainnya, yang mungkin belum kita sadari, dewasa ini Caci dan budaya kita yang lain sesungguhnya mulai masuk ke dalam gerak-gerik neoliberalisme. Dominasi ekonomi pasar bebas menyebabkan budaya dikonsumsi secara internasional, ada kompetisi, sehingga gerakan itu berbenturan dengan orginalitas Caci yang sebenarnya.

Sebagai evaluasi, masalah Breldy Anggela telah melahirkan sarkasme dan pembunuhan karakter serta ketidakadilan gender. Di lain sisi, Breldy Anggela menjadi pribadi yang mengenakan mode dari satu fashion show dan di dalamnya ada nilai promosi tentang NTT, bahkan menunjukkan kepada dunia bahwa yang hebat itu bukan hanya laki-laki, tetapi perempuan juga hebat.

Dengan begitu, autokritik menjadi satu poin penting untuk mengubah cara berpikir kita bahwa budaya sesekali harus ‘dilecehkan’ supaya darinya kita semakin berbudaya.

*Penulis adalah Warga Cancar-Manggarai

spot_img
TERKINI
BACA JUGA