Kupang, Ekorantt.com – Kehidupan Anaristani Bukiy (21) berbeda dengan remaja putri lainnya. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) Anaristani sudah diajari cara menenun oleh ibunya.
Walaupun hanya menamatkan pendidikan sampai di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), Gadis asal Pulau Sabu ini yakin bahwa menjadi seorang penenun dan penjual kain dan aksesori dari kain tenun mampu meraih kesuksesan.
“Saya belajar tenun dari mama itu sejak usia sejak kelas 5 SD dan mulai belajar serius itu di tahun 2004. Awalnya bantu mama tenun dan jual di Toko Sinar Baru di Terminal Kupang,” ujar Anaristani saat menjajakan jualannya pada HUT ATR/BPN ke-62 di halaman Kantor Kanwil ATR/BPN pada Senin, 27 September 2022.
Memutuskan untuk tidak melanjutkan ke perguruan tinggi pada 2016 silam usai tamat SMA, ia menatap masa depan dengan membuka usaha jual kain tenun bersama ibunya dengan nama “Tenun Ikat Ina Sabu” dan menjadi salah satu pegiat atau pelaku UMKM di Kota Kupang.
“Saya lihat peluang bisnis dengan jualan kain tenun. Tren sekarang orang lebih suka memakai pakaian dari kain tenun. Ini awal saya memutuskan untuk serius jualan kain tenun,” ucap Rita sapaan akrabnya.
Walaupun berasal dari Sabu, Tenun Ikat Ina Sabu miliknya yang beralamat di Oepura tempatnya di Jalan Sukun 1, juga menjual berbagai macam kain tenun yang berasal dari seluruh kabupaten yang ada di NTT.
“Kami juga menjual seluruh kain tenun dari seluruh kabupaten di NTT. Untuk kain tenun dari Sabu dan Rote saya dan mama yang tenun. Ada juga dari penenun lain,” tuturnya.
“Selain kain tenun, kami juga menjual selendang, topi, jas, dan aksesoris lainnya yang terbuat dari bahan kain tenun,” ujarnya.
Sebagai seorang pelaku usaha, Rita mengakui pernah mengalami dan merasakan kesulitan yakni saat pandemi Covid-19.
“Pendapatan per bulan saat Covid menurun. Jarang bahkan hampir tidak ada orang datang beli. Sekarang sudah lumayan,” ungkapnya.
Ia juga mengakui, selain membeli langsung kain tenun dari para penenun, ia juga kerap membantu mama-mama penenun yang kekurangan modal untuk menenun.
“Yang saya tidak bisa tenun karena tidak ada uang, kita bantu beli benang. Setelah itu, kita beli lagi mereka punya kain tenun,” tutupnya.
Patrik Padeng