Gagal Total Penuntasan Rabies di Flores

Oleh:Petrus Kanisius Siga Tage*

Beberapa bulan terakhir, penyakit rabies kembali mengguncang Pulau Flores. Rabies sendiri bukanlah penyakit baru. Dalam banyak literatur, penyakit rabies di Flores terjadi pertama kali pada tahun 1997 di Kabupaten Flores Timur (Windiyaningsih, Wilde, Meslin, Suroso, & Widarso, 2004; Mau & Desato, 2011; Wera, Mourits, & Hogeveen, 2015; Tabali, 2017).

Penyelidikan epidemiologi pada waktu itu menunjukkan bahwa penularan penyakit disebabkan oleh 3 ekor anjing yang dibawa secara ilegal oleh para nelayan melalui Larantuka dari Pulau Buton yang adalah daerah endemis rabies.

Hanya dalam waktu satu tahun, rabies sudah menyebar di daratan Flores dan Lembata. Penularan di Kabupaten Sikka (1998), Kabupaten Ende (1999), Kabupaten Ngada (2000), dan Kabupaten Manggarai (2001) (Desato & Mau, 2012; Mau & Yunarko, 2015).

Kasus yang Mewabah

Kasus rabies di Flores mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Pada tahun 2019 ini, kasus rabies kembali mewabah di beberapa kabupaten.

Di kabupaten Sikka, misalnya, rabies telah mengakibatkan dua orang meninggal dunia dan 22 orang dinyatakan positif terkena virus rabies (CNN, 2019).

Di Ende, selama Januari 2019, tercatat sudah 169 orang yang terkena Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) berupa anjing, kucing, dan kera. Dari 169 orang tersebut satu dinyatakan positif rabies (Pos Kupang, 2019).

Di Kabupaten Ngada, menurut laporan yang ada, telah terjadi 839 kasus GHPR, dua di antaranya meninggal dunia (Pos Kupang, 2019). Di Kabupaten Manggarai, sejak Januari-Mei 2019, ada 466 korban gigitan anjing yang tersebar di 12 kecamatan.

Yang mana, dari jumlah itu, ada delapan sampel kepala anjing yang dikirim ke laboratorium, tujuh kepala anjing diantaranya teridentifikasi positif rabies (Pos Kupang, 2019)

Pemerintah Gagal Total

Besaran data kasus yang ada dapat menjadi pukulan telak bagi upaya pemerintah Indonesia dalam menyukseskan Indonesia bebas rabies tahun 2020 (Kemenkes, 2015) sekaligus menjadi penanda bahwa pemerintah—terutama pemerintah daerah di darat Flores telah gagal total menjalankan program eliminasi rabies secara komprehensif dan berkelanjutan.

Berdasarkan laporan Kemenkes (2010) ada 10 upaya yang digunakan untuk menuntaskan kasus rabies, yakni (1) sosialisasi; (2) penguatan regulasi; (3) komunikasi risiko; (4) pengembangan atau peningkatan kapasitas; (5) vaksinasi massal pada hewan penular rabies (HPR); (6) manajemen populasi HPR; (7) profilaksis pra/pasca gigitan HPR; (8) surveilans dan respon terpadu; (9) penelitian operasional, dan (10) kemitraan.

Dari kesepuluh strategi tersebut, dalam pandangan kerangka One Health Eliminasi Rabies oleh ASEAN (2016) perlu difokuskan pada empat pendekatan untuk percepatan pengendalian rabies yaitu, (1) pendekatan teknis; (2) pendekatan sosiokultural; (3) pendekatan organisasional, dan (4) pendekatan legislatif.

Dua pendekatan di atas mestinya dapat mendorong kita untuk lebih jeli dalam memahami kasus rabies.

Bagaimana mungkin kasus ini terus menetap dari tahun ke tahun sementara upaya penuntasan terus dilakukan dengan biaya yang tidak sedikit? Biaya tahunan upaya pengendalian rabies di Pulau Flores diperkirakan melebihi US $ 1 juta (Wera, Velthuis, Geong, & Hogeveen, 2013).

Agaknya, ada bagian yang gagal dilakukan oleh pemerintah daerah di daratan Flores dalam menyikapi kasus rabies. Di pelbagai media, pemerintah melalui dinas terkait terus mengeluhkan kurangnya vaksin rabies untuk binatang maupun manusia.

Asumsi di atas setidaknya menunjukkan bahwa presepsi pemerintah soal penuntasan masalah rabies seolah-olah hanya melalui vaksin. Padahal, masih ada 9 langkah lain yang direkomendasikan Kemenkes dan 4 langkah yang direkomendasikan oleh ASEAN.

Ketika vaksin langka, maka penuntasan masalah rabies juga mengalami stagnasi dan pemerintah tampak gamang untuk bertindak di titik ini—untuk tidak mengatakan bahwa pemerintah tidak memiliki opsi lain.

Pendekatan Sosiokultural

Sejauh ini, hampir 99 kasus rabies terjadi oleh karena gigitan anjing (Tempo, 2017). Di Flores, anjing memiliki hubungan sosial, budaya, dan diet penting dalam masyarakat.

Aktivitas sosial ekonomi utama di Pulau Flores adalah pertanian (produksi kelapa, jagung, kacang tanah, kakao, kopi, kentang, dan padi), di mana anjing digunakan untuk menjaga tanaman sehingga dibiarkan berkeliaran bebas siang dan malam. 

Selain itu, anjing memiliki nilai budaya dan ekonomi yang tinggi di Pulau Flores, karena mereka menyediakan sumber protein hewani. Daging anjing adalah item menu yang populer di upacara tradisional tertentu.

Ekologi anjing di Flores bukanlah binatang liar, tetapi hidup dalam hubungan timbal balik dengan petani, penduduk di desa maupun kota. Oleh sebab itu, memahami anjing sebagai penyebab rabies di Flores tidak dapat diatasi tanpa pemahaman sifat ikatan yang kuat antara anjing dengan pemiliknya (Hutabarat, Geong, Newsome, Ruben, & Cutter, 2003).

Hubungan keterikatan anjing dan pemiliknya mestinya bisa dipakai sebagai jalan keluar bagi pemerintah untuk melakukan pendekatan sosiokultural.

Para pemilik anjing bisa didekati dan diberi pemahaman untuk menertibkan anjing peliharannya sambil melakukan proses vaksinasi secara bertahap dan berkelanjutan yang konsisten sehingga terbentuk menjadi suatu budaya.

Sebab, meski vaksinasi adalah wajib dilakukan untuk semua anjing, sulit untuk diberlakukan karena tidak adanya sistem registrasi yang tepat dan kurangnya sumber daya untuk menangkap dan menahan anjing. 

Vaksinasi hanya dapat dilakukan secara baik dengan dukungan dari pemilik anjing yang memberikan dan menahan anjing-anjing untuk divaksin (Fitzpatrick et al., 2016).

Melalui pendekatan sosiokultural diharapkan adanya intensitas dukungan masyarakat lokal untuk kampanye kontrol terhadap anjing yang lebih manusiawi dan tidak melukai hati para pemilik sehingga mereka lebih aktif berpartisipasi untuk merawat anjingnya.

Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pengendalian rabies, menurut studi yang dilakukan oleh Wera, Mourits, & Hogeveen (2015) dikatakan sukses mengendalikan kasus rabies.

Selain itu, kolaborasi yang baik antar sektor, seperti kesehatan masyarakat dan otoritas veteriner, juga penting dalam pengendalian rabies seperti yang dilaporkan dari Amerika Latin, misalnya (WHO, 2005).

Wacana pendekatan sosiokultural dalam mengatasi masalah kesehatan bukanlah ide baru. Dalam studi Zinsstag, Schelling, Waltner-Toews, & Tanner, (2011), mereka memperkenalkan istilah health in social-ecological systems (HSES) yang secara eksplisit memasukkan kesehatan manusia dan hewan sebagai interaksi kuantitatif dan kualitatif dalam sistem sosial-ekologis-kultural yang tidak bisa terpisahkan (Ostrom, 2007).

Konsep sehat sakit dalam satu ekosistem sangat ditentukan oleh interaksi sosial, budaya, ekonomi, dan politik kesehatan

Penutup

Tawaran pendekatan sosiokultural bukanlah hal yang sulit dilakukan. Pemerintah bisa memulainya dengan membangun komunikasi yang baik. Peluang itu terbuka lebar mengingat baiknya pengetahuan masyarakat Flores mengenai rabies (Sopi, & Mau, 2015; Wera, Mourits, & Hogeveen, 2015) kecuali Kabupaten Manggarai yang masih kurang (Hoetama et al., 2017).

Kita tidak bisa terus menerus bersandar hanya pada vaksinasi sebagai langkah menuntaskan rabies. Kita butuh upaya fundamental lain yang bisa menuntaskan rabies secara berkelanjutan dan permanen agar kabar kematian akibat rabies tidak lagi terdengar dari atas tanah Flores dan pemerintah tidak dinilai gagal total atau bahkan tidak kompeten.

*Pengajar pada Prodi Keperawatan Universitas Citra Bangsa Kupang

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA