Teologi Publik dan Evangelisasi ‘Inter Gentes’

Seorang pewarta tidak hanya masuk dalam kalangan para dokter untuk memberikan resep, tetapi juga mesti berbaring di ranjang para pasien dengan keterbatasan masing-masing

Jean Loustar Jewadut*

Selama dua hari, 27-28 September 2024, civitas akademika IFTK Ledalero menggeluti tema tentang teologi publik dalam kegiatan konferensi internasional yang bertemakan teologi publik untuk konteks Indonesia. Teologi publik didefinisikan secara beragama oleh sejumlah teolog.

Felix Wilfred, seorang profesor di Universitas Madras-India, dalam sebuah konferensi internasional di Fakultas teologi di Universitas Sanata Dharma pada 2019 lalu memperkenalkan gagasan tentang teologi publik Asia.

Menurut Wilfred, tugas teologi bukan hanya sekadar mempelajari proposisi atau interpretasi atas iman. Hakikat teologi inilah yang dipakai Wilfred untuk menentukan metode yang cocok bagi teologi Asia yaitu metode dialogal yang berorientasi pada transformasi.

Hal tersebut berarti bahwa teologi Asia tidak hanya bertugas untuk mengkomunikasikan kebenaran iman, tetapi mesti mampu berdialog dengan dunia yang lebih luas.

Keterbukaan untuk berdialog dengan dunia yang lebih luas menjadikan teologi publik sebagai sebuah teologi lintas batas (Wilfred, 2020).

Teologi publik mengantar Gereja kepada keberanian untuk bertindak ad extra. Artinya, Gereja harus mengarahkan perhatian kepada perkara-perkara societas dan pada gilirannya harus pula bertanya kepada diri sendiri apa yang bisa dikontribusikan kepada societas dari sudut pandang imannya (Riyanto, 2021).

Sebastian Kim, teolog Korea, menjelaskan bahwa teologi publik memiliki beberapa penekanan penting (Kim, 2017:7-24). Pertama, tujuan utama dari keterlibatan teologis adalah untuk menantang semua jenis monopoli dalam kehidupan publik dan mencari masyarakat yang lebih adil dan lebih terbuka dengan menggunakan advokasi, dialog kritis, dan debat.

Kedua, penekanan teologis teologi publik adalah Kerajaan Allah dan keterlibatan Allah dalam hikmat dan sistem manusia. Teologi publik bekerja sama dengan disiplin etika sosial Kristen dan filsafat politik.

Ketiga, teologi publik menganggap Gereja sebagai katalisator untuk advokasi dan keterlibatan sipil serta bekerja sama terutama dengan masyarakat sipil dan komunitas keagamaan lainnya dengan menggunakan penyelidikan kritis, debat terbuka, dan politik konsensus. Di sini, aspek sinodalitas Gereja sangat ditekankan dalam memperjuangkan keadilan dan kebaikan bersama.

Seorang audiens dalam sesi kelas paralel bertanya tentang hubungan teologi publik dengan praksis dialog Gereja (teolog). Saya tertarik untuk menghubungkan pertanyaan ini dengan praksis evangelisasi yang dibuat oleh Gereja. Hal ini penting diulas sebab sejak awal Gereja diutus untuk melakukan karya evangelisasi.

Karya evangelisasi menjadi salah satu tugas penting yang menentukan keberadaan Gereja di tengah dunia. Evangelisasi dalam konteks dunia yang semakin lebih modern mesti dipahami dalam artian inter gentes, antarbangsa. Gentes diartikan sebagai bangsa, budaya, dan kelompok orang dengan pandangan yang berbeda-beda (Phan, 2022:11-21).

Evangelisasi inter gentes mengekspresikan kebermaknaan inkarnasi secara lebih mendalam. Di dalam inkarnasi, diimani bahwa Tuhan tidak hanya datang ke dunia, tetapi juga tinggal di antara manusia dan menjadi sama seperti manusia (Flp. 2:6-7), kecuali dalam hal dosa (Ibr. 2:14; 4:15).

Di antara manusia, Yesus membagi hidup-Nya kepada manusia. Dengan demikian, evangelisasi berarti saling berbagi kekayaan pengalaman iman akan Tuhan.

Evangelisasi bukan berarti ada pihak tertentu yang mengajar atau berbicara dan pihak lain hanya bertugas mendengarkan, melainkan interaksi dengan motif utama saling belajar antara orang-orang dan kebudayaan-kebudayaan yang sudah memiliki jejak-jejak Ilahi dalam diri mereka. Inter gentes berimplikasi pada pemahaman dan penghayatan evangelisasi sebagai dialog.

Hemat saya, untuk konteks Indonesia, tiga kelompok masyarakat yang mendapat sorotan khusus sebagai subjek evangelisasi inter gentes dan tiga kelompok ini juga dibahas oleh beberapa pembicara dalam sesi kelas paralel kegiatan konferensi internasional.

Pertama, kelompok masyarakat beragama lain. Gereja Indonesia hidup dalam konteks lingkungan yang multireligius. Gagasan teologi publik mendorong Gereja Indonesia untuk memberi pengakuan terhadap fakta keberagaman agama dan membangun relasi lintas batas tanpa membuat perbedaan berdasarkan pertimbangan mayoritas dan minoritas.

Gagasan teologi publik yang menghendaki praksis Gereja dengan pintu terbuka sangat menjunjung tinggi prinsip pluralisme agama dan mengajak para pemeluk setiap agama untuk membangun kemitraan dalam proyek keselamatan dan pembebasan.

Keterlibatan publik Gereja Indonesia menjadi lebih bermakna sejauh menjadi sarana untuk persekutuan dengan penganut agama yang lain (Wilfred, 2020:77).

Interaksi dengan umat beragama lain membantu umat Katolik untuk mengembangkan kerangka berpikir dalam rangka mempertanggungjawabkan iman Katolik secara rasional.

Meskipun banyak hambatan dan kesulitan, dialog dengan pemeluk agama-agama lain adalah sesuatu yang harus dihidupi oleh Gereja, dalam “sikap keterbukaan dalam kebenaran dan kasih” (Evangelii Gaudium 250, selanjutnya disingkat EG).

Namun, dialog antaragama tidak akan pernah berubah menjadi relativisme yang akan menghasilkan “sinkretisme yang tidak jelas” (EG 251). Sebaliknya, “keterbukaan sejati berarti tetap teguh pada keyakinan terdalam seseorang, jelas dan gembira dalam identitasnya sendiri, sementara pada saat yang sama bersikap ‘terbuka untuk memahami pendapat pihak lain’ dan ‘mengetahui bahwa dialog dapat memperkaya masing-masing pihak’” (EG 251).

Kedua, kelompok para miskin. Selama ini, kaum miskin sering dijadikan sebagai alamat tujuan dari berbagai aksi, tidak terkecuali dari Gereja.

Praktik seperti ini baik. Namun, yang perlu diupayakan dalam menghidupi semangat evangelisasi inter gentes adalah sikap belajar dari kaum miskin. Kaum miskin mempunyai banyak nilai yang dapat ditransfer kepada Gereja demi pembaharuan kehidupan Gereja.

Menurut Paus Fransiskus, suara dan kehadiran Tuhan seringkali muncul dalam dan melalui orang miskin. Maka ketika Gereja mengabaikan orang miskin, suara Tuhan tidak lagi terdengar, sukacita kasih-Nya yang tenang tidak lagi terasa, dan keinginan untuk melakukan kebaikan memudar. Oleh karena itu, agar evangelisasi menjadi autentik, Gereja perlu “miskin, dan untuk orang miskin” (EG 198).

Kepedulian Paus Fransiskus terhadap masyarakat miskin terdapat dalam nasihat apostolik tersebut, namun hal ini terutama terlihat dalam bab keempat, dan khususnya dalam bagian yang berjudul “Pelibatan Orang Miskin dalam Masyarakat.”

“Setiap individu Kristen dan setiap orang komunitas dipanggil untuk menjadi alat Tuhan untuk pembebasan dan peningkatan masyarakat miskin, dan untuk memampukan mereka menjadi bagian masyarakat sepenuhnya” (EG 187).

Hal ini berarti “bekerja untuk menghilangkan penyebab struktural kemiskinan dan mendorong pembangunan integral masyarakat miskin,” serta bersikap solidaritas dengan mereka dalam praktik sehari-hari (EG 188).

Kaum miskin mempunyai tempat khusus di hati umat Kristiani. Oleh karena itu kita perlu mendengarkan mereka dan bahkan menerima injil dari mereka. Karena mereka turut ambil bagian dalam penderitaan Kristus, mereka mempunyai banyak hal untuk diajarkan kepada mereka yang tidak miskin (EG 198).

Mengutip Yohanes Paulus II, Paus Fransiskus mendesak setiap komunitas Kristiani untuk menjadi tempat di mana “orang miskin merasa betah,” dan menunjukkan bahwa kesaksian seperti itu akan menjadi “penyampaian kabar baik kerajaan yang terbesar dan paling efektif” (EG 199).

Ketiga, kaum perempuan. Secara faktual, kaum perempuan acapkali mendapat perlakukan yang tidak adil dalam kehidupan bersama. Contoh yang biasa diangkat ialah masalah feminisasi migrasi.

Feminisasi migrasi dengan orientasi pada migrasi ekonomi mampu memperkuat posisi perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Perempuan memiliki pendapatan sendiri yang membuatnya hidup mandiri dan mampu menopang ekonomi keluarga maupun masyarakat.

Namun, di balik catatan positif tersebut, kita juga mesti responsif terhadap catatan negatif seperti kerentanan perempuan migran terhadap berbagai persoalan, di antaranya tindakan kekerasan dan eksploitasi, dibandingkan laki-laki migran.

Kasus seperti eksploitasi dan tindak kekerasan terhadap pekerja migran perempuan masih terus terjadi. Berbagai kasus dan tindak kekerasan yang seringkali terjadi adalah kekerasan fisik, psikis dan seksual, jeratan utang, ancaman, pemerasan, pelanggaran hak atas informasi, manipulasi dokumen, pelanggaran kontrak kerja, tidak diberi upah, beban kerja yang berlebihan, dan meningkatnya kasus human trafficking.

Nur Ismi Ramdani dalam kajiannya tentang dampak psikologi perempuan pasca-migrasi menerangkan bahwa berbagai kasus dan tindak kekerasan yang dialami pekerja perempuan mengakibatkan munculnya pengalaman traumatis dan masalah psikologis yang mendalam seperti rasa cemas yang berlebihan, terintimidasi, inferior, malu, dan depresi (Ramadani, 2021).

Di hadapan masyarakat yang beragama lain, kaum miskin, dan kaum perempuan yang sering mendapat perlakuan tidak adil dalam kehidupan masyarakat, Gereja mesti mewujudkan tugas evangelisasi. Evangelisasi di hadapan mereka mesti dipahami dalam konteks dialog-profetis.

Artinya, seperti yang ditegaskan oleh Prof. Stephen van Erp dalam konferensi “Gereja dan teologi tidak menyampaikan pesan Tuhan kepada dunia, namun berkumpul dan berusaha untuk mewujudkan pesan janji Tuhan yang sudah ada di tengah masyarakat”.

Saya memaknai pemikiran Prof. Erp sebagai berikut: pertama, dalam perkumpulan di tengah seorang masyarakat, Gereja (teolog) terbuka untuk berdialog. Sikap yang dibutuhkan dalam sebuah dialog ialah kerendahan hati. Dengan kerendahan hati, Gereja menjadi sama seperti tanah.

Artinya, saat Gereja menyentuh tanah (bersikap rendah hati), Gereja semakin bertumbuh dan diperkaya oleh pengalaman nyata masyarakat. Itulah sebabnya, seorang pewarta mesti memiliki kompetensi dalam komunikasi antarbudaya (inter gentes), yaitu sebuah sikap batin yang berakar dan tumbuh sebagai bagian dari kepribadiannya, yang berkaitan erat dengan kapabilitas untuk mendengarkan secara seksama semua suara dengan telinga hati.

Seorang pewarta tidak hanya masuk dalam kalangan para dokter untuk memberikan resep, tetapi juga mesti berbaring di ranjang para pasien dengan keterbatasan masing-masing (Prior, 2018:21). Maka, sangat penting dan urgen seorang pewarta memiliki kompetensi mendengarkan.

Kedua, dalam perkumpulan selalu ada upaya konkret untuk merealisasikan pesan janji Tuhan. Pesan tersebut adalah kebaikan bersama, keadilan, perdamaian, dan persaudaraan. Setelah merendah untuk berdialog, Gereja (teolog) juga mesti rendah hati untuk berkolaborasi dengan pihak-pihak lain dalam mengupayakan kebaikan bersama.

Hal ini senada dengan pernyataan Prof. Armada: “teologi (teolog) bukanlah super hero. Mesti ada keterbukaan untuk berkolaborasi dengan pihak-pihak dengan latar belakang disiplin ilmu yang berbeda. Pendekatan yang dipakai ialah interdisipliner”.

Saya berbangga mengikuti kegiatan konferensi internasional tentang teologi publik untuk konteks Indonesia. Pertanyaan yang mengganggu saya setelah konferensi dan semoga juga menjadi pertanyaan untuk kita semua: setelah konferensi, apa yang mesti kita buat? Mari, berjuang bersama.


*Penulis adalah mahasiswa Prodi Teologi IFTK Ledalero, Maumere

spot_img
TERKINI
BACA JUGA