Oleh: Maksimus Masan Kian*
Peran guru sangat strategis dalam meningkatkan kemampuan anak, baik ranah kognitif, psikomotorik, maupun afektif.
Kognitif berkaitan dengan peningkatan ilmu pengetahuan. Psikomotorik berhubungan dengan keterampilan. Afektif erat kaitannya dengan perilaku. Guru sebagai pengajar, memberi fokus dampingan pada peningkatan kemampuan anak secara kognitif dan psikomotorik.
Sementara guru sebagai pendidik, memberi fokus dampingan pada pembentukan mental dan karakter anak. Guru juga diberi ruang mengambil peran sebagai fasilitator, motivator, dan inspirator bagi anak.
Sehubungan dengan itu, guru adalah pioner bagi pengembangan gerakan literasi di sekolah. Secara umum literasi adalah kemampuan individu mengolah dan memahami informasi saat membaca atau menulis.
Literasi tidak lebih dari sekadar kemampuan baca tulis. Literasi tidak terlepas dari keterampilan bahasa yaitu pengetahuan bahasa tulis dan lisan yang memerlukan serangkaian kemampuan kognitif, pengetahuan tentang genre dan kultural.
Gerakan literasi secara nasional, dikenal dengan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang dikembangkan berdasarkan Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
Wujud konkret dari pemberlakuan regulasi ini adalah, siswa diwajibkan membaca 15 menit buku non mata pelajaran sebelum Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dimulai.
Fakta hari ini, sedang berbicara lain. GLS belum memberi hasil yang menggembirakan.
Pemberlakuan GLS terkesan masih ompong. Belum semua sekolah seragam mengambil peran yang sama dalam membumikan gerakan literasi.
Justru yang nampak, guru hanya fokus mengejar target materi berdasarkan kurikulum, mencekoki pengetahuan sebanyak-banyaknya kepada anak, tanpa perimbangan penyegaran pikiran, melalui kreasi pada ruang gerakan literasi.
Bakat dan potensi anak terpendam dan tenggelam. Arah minat mereka tidak diketahui oleh guru. Perilaku guru seperti ini, adalah bagian dari dosa.
Guru mesti memberi suluh dan teladan bagi anak-anak. Memberi mereka keleluasaan untuk memilih bahan bacaan yang disiapkan guru, meresume buku, mengembangkan kemampuan sastra dengan membaca puisi, menulis puisi, mendeklamasikan puisi.
Menulis opini, artikel ilmiah remaja, hingga mampu menghasilkan karya dalam bentuk buku.
Ruang kreasi literasi akan melahirkan ide kreatif yang mampu membantu anak menemukan bakat dan potensinya.
Memang tidak mudah mengambil peran ekstra secara sukarela, tetapi sebagai seorang tenaga profesional, guru tentu terlatih dan siap berkorban untuk bekerja, demi tujuan luhur peningkatan kreativitas dan kemampuan anak bangsa.
Kebahagiaan guru, tidak saja saat anak mendapat nilai yang bagus di atas kertas. Tapi juga harus mampu mengukir kebanggaan lain pada anak yakni, prestasi di bidang bakat dan minatnya.
Sebagai guru, tidak harus puas memanen prestasi anak pada ranah kognitif semata, tetapi juga boleh memanen buah positif dari keterampilan dan perilakunya. Gerakan literasi, menciptakan dan melahirkan ragam keterampilan itu.
Ruang bagi guru untuk mengembangkan gerakan literasi masih terbuka. Belum terlambat.
Hanya ada dua alternatif yang boleh dipilih oleh guru. Rela mengambil peran ekstra membantu anak bangsa dalam mengembangkan potensi dalam bidang literasi, ataukah cukup menjadi penonton saja? Kembali kepada pribadi guru yang bersangkutan.
Penulis memberikan tiga pokok pikiran yang sederhana kepada teman-teman seperjuangan (baca:guru) semoga dapat terangsang dan bergerak mengambil peran menggerakan literasi.
Pertama, berlangganan koran dan majalah. Guru yang berlangganan koran dan majalah, akan memiliki referensi yang cukup berupa berita aktual, karya tulis dari sekian penulis, termasuk ide inspiratif dari penulis.
Bahan bacaan yang sudah dikonsumsi oleh guru, dapat digunakan sebagai informasi untuk anak-anak.
Selain itu, guru yang membaca majalah dan koran secara tidak langsung mengikuti informasi seputar aktivitas gerakan literasi di sekolah lain yang dapat dipedomani.
Kedua, mengkoleksi buku. Salah satu indikator guru profesional adalah memiliki koleksi buku selain buku mata pelajaran.
Ia yang berupaya menyisihkan sedikit penghasilannya untuk membeli buku. Membaca buku, menambah wawasan dan pengetahuan. Otak terisi dengan berbagai informasi, teori dan gagasan yang hebat.
Selanjutnya, buku yang dimiliki guru, dapat dipinjamkan kepada siswa. Menugaskan mereka meringkas isi bacaan, menyebutkan judul dan nama pengarang, juga memberi kesempatan kepada mereka untuk memberikan pendapat akan isi buku yang dibaca.
Jika metode ini membudaya, anak akan menjadi pembaca yang cerdas, penulis hebat, dan mampu berpikir logis serta komunikatif.
Ketiga, menggagas terbentuknya komunitas literasi di sekolah. Adanya komunitas literasi di sekolah menjadi wadah strategis membangun GLS.
Pengelolanya adalah guru-guru di sekolah tersebut. Aktivitasnya dimulai dari merancang visi misi, program kerja, tujuan, jadwal kegiatan, narasumber (internal dan eksternal) dan menargetkan hasil-hasil yang akan dicapai setelah proses dilalui.
Lewat komunitas ini, ikatan emosional anak tercipta dan mampu mendorong mereka untuk semakin mudah bekerjasama dalam menghasilkan karya.
*Maksimus Masan Kian adalah Ketua Asosiasi Guru Penulis Indonesia/AGUPENA Cabang Flores Timur