Maumere, Ekorantt – Jumat, 12 Oktober 2018, saya mampir sejenak di Sea World Club Beach Resort, Waiara, Maumere, Flores.
Tujuan saya sekadar berjalan-jalan sembari mengambil beberapa gambar untuk kepentingan fotografi.
Dulu ketika masih kecil, saya memang sering berkunjung ke tempat ini bersama keluarga dan teman-teman sebaya.
Namun, seiring berjalannya waktu juga dilanda berbagai kesibukan, tempat ini nyaris tak lagi tersambangi. Bahkan beberapa tahun lalu, ketika saya sedang menjalankan studi di luar kota Maumere, nama Sea World Club nyaris tak punya gema.
Sementara di sepanjang pesisir pantai Maumere sendiri semakin banyak hotel dan resort dibangun. Beberapa investor dari luar NTT bahkan datang berjubel.
Namun, belakangan ini beredar kabar bahwa pesona Sea World Club kembali menunjukkan titik denyarnya.
Hal ini saya dengar dari salah seorang kawan musisi lokal yang selalu diundang ke tempat tersebut untuk membawakan acara.
“Sea World sekarang sudah makin keren. Apalagi yang kelola kita punya orang sendiri,” kata dia.
Awalnya saya tak terlalu percaya. Tapi, saya tetap menyimpan niat untuk kembali datang berkunjung ke lokasi tetirah semasa kecil dulu itu.
Tentu saja, sebagaimana yang saya ketahui juga orang-orang Maumere umumnya, Sea World merupakan tempat tinggal Pastor Bollen, SVD. Beliau jugalah yang memiliki tempat tersebut.
Untuk masuk ke Sea World, siapa saja yang berstatus sebagai tamu harus melapor diri dulu di pos satpam pada area depan. Setelah itu barulah diizinkan melakukan pelesir di bagian dalamnya.
Tatkala masuk, saya menyaksikan suasana Sea World semakin banyak dipenuhi tanaman hijau juga bunga-bunga beraneka. Pohon-pohon kelapa hias ditanam sepanjang pesisir pantai.
Menariknya, hunian-huniannya juga lebih banyak terbuat dari kayu lokal. Tempat-tempat duduknya pun terbuat dari bahan-bahan alam.
Lokasi itu memang sangat luas dan cocok untuk melepas lelah sembari menikmati momen bersendiri.
Beberapa wisatawan asing tampak lalu-lalang. Saya menyapa dan mereka membalas ramah.
Rasa penasaran saya semakin membuncah. Saya akhirnya memutuskan untuk menemui General Manager tempat tersebut untuk bertanya lebih lanjut.
Saya melapor diri pada resepsionis. Lima menit berselang, beberapa petugas mengarahkan saya untuk bertemu dengan sang manajer.
Namanya Martinus Wodon, seorang pria yang sangat enerjik dan berjiwa muda. Dia mengajak saya untuk duduk bercerita di restoran.
Saya merasa sungkan tapi tersebab keramahannya, saya bisa rileks juga.
Martin lalu menjelaskan, Sea World memiliki sebuah aturan khas pada pagi hari. Para tamu yang sarapan harus disuguhkan makanan-makanan lokal dari kebun Sea World sendiri.
Tak ada satu jengkal bahan makanan pun yang diimpor atau dibeli dari luar.
“Itu sudah jadi semacam rumus tersendiri bagi kami di sini. Pokoknya, produk lokal itu harus diutamakan,” tegasnya.
Bagi dia, tampilan seperti itu bukanlah untuk gaya-gayaan belaka. Ada poin esensial yang hendak dia angkat. Memberdayakan sumber daya alam di tanah Flores.
Yang jelas, kebijakan semacam itu malah begitu disenangi para tamu. Mereka sangat menikmati setiap menu tersajikan pada pagi hari, demikan pungkas Martin.
Beberapa makanan yang disuguhkan antara lain, madu hutan, selai nanas, pepaya, irisan ikan, dan roti tawar.
“Bila bahan makanan itu tidak tersedia di kebun, kami biasanya beli di pasar atau harus mencari di petani-petani di sini,” tambah sosok yang bersekolah khusus di bidang pariwisata ini.
Menurutnya juga, respek terhadap para petani atau pedagang lokal semestinya menjadi salah satu poin utama bila ingin industri pariwisata berkembang. Pariwisata semestinya melibatkan mereka semua.