Gereja Cukup Sudah, ka…

“Gereja cukup sudah, ka. Kami kuasai sudah, ka. Supaya kita jangan tidak baku baik, ada pembagian tanah yang jelas.”

Maumere, Ekorantt.com – Ungkapan ini keluar dari mulut Blasius Baga (72), tani miskin dari Desa Tuabao, Kecamatan Waiblama, Kabupaten Sikka.

Blasius adalah 1 dari 70 kepala keluarga (KK) dari Desa Tuabao yang menggarap di lokasi tanah bekas Hak Guna Usaha (HGU) Nanghale.

Seperti kita ketahui, selama ini, perkebunan HGU Nanghale dikelola oleh Perseroan Terbatas (PT) Kristus Raja Maumere (Krisrama) milik Keuskupan Maumere.

Kontrak HGU PT Krisrama sudah berakhir pada 2013 lalu.

Sekretaris Desa Tuabao, Evensius Endi kepada EKORA NTT di Kantor Desa Tuabao, Kamis (14/3/2019) memberi informasi, PT Krisrama akan memperpanjang kontrak HGU Nanghale hingga 25 tahun ke depan.

iklan

SKHU Flores Pos, corong dari JPIC SVD dalam edisi 27 Agustus 2014 memang sudah menulis, “pihak Keuskupan Maumere melalui PT Krisrama masih memiliki kewenangan untuk mengelola tanah hak guna usaha (HGU) di Nangahale dan Patiahu hingga 25 tahun ke depan. Kewenangan ini diatur dalam klausul kontrak tanah yang diakui pemerintah dan sah secara hukum.”

Di edisi yang sama, Flores Pos melaporkan, dalam pertemuan yang dipimpin Bupati Sikka Yoseph Ansar Rera, didampingi Ketua DPRD Sikka Rafael Raga, dan Perwakilan BPN Pak Elkana, Jumat (22/8/2014), Perwakilan Keuskupan/PT Krisrama, Pater Anton Jemaru SVD mengungkapkan, tanah HGU yang dalam 25 tahun terakhir dikelola PT DIAK Keuskupan Agung Ende dan kemudian dilanjutkan oleh PT Krisrama Keuskupan Maumere awalnya merupakan tanah yang dikelola Pemerintah Belanda sejak tahun 1912 dengan luas areal 1.438 Ha.

Di atas areal ini, ditanami kapas dan kelapa. Pada tahun 1926, Pemerintah Belanda menjual perkebunan ini kepada Apostolik Vikariat  dengan harga 22.500 golden.

“Ada bukti transaksi jual beli. Pada tahun 1927, ada akte penyerahan tanah. Pada Desember 1956 ada pengembalian sebagian tanah kepada pemerintah, khususnya tanah yang tidak berproduktif untuk meminimalkan pajak yang dibayar Gereja kepada pemerintah,” kata Pater Anton.

Menurut Ekonom Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero ini, PT DIAK Keuskupan Agung Ende mulai mengelola HGU secara resmi pada 5 Januari 1989.

Dalam klausul perjanjian kontrak, HGU Nanghale dikontrak selama 25 tahun dan bisa diperpanjang berdasarkan penilaian pemerintah.

“Sebelum berakhir masa kontrak kerja pada 31 Desember 2013 lalu, Keuskupan Maumere melalui PT Krisrama telah mengajukan proposal perpanjangan pengelolaan. Dengan demikian, sesuai klausul perjanjian, maka hingga saat ini, tanah HGU berada di bawah  kewenangan Keuskupan Maumere melalui PT Krisrama,” katanya.

Penjelasan Pater Anton dipertegas Kabag Tata Pemerintahan Umum Setda Sikka Yoseph Benyamin.

Menurutnya, sesuai hukum dan klausul kontrak kerja, Keuskupan Maumere melalui PT Krisrama merupakan penguasa yang sah atas tanah HGU.

Berdasarkan kontrak kerja dan klausul perjanjian, PT Krisrama diberi kesempatan memperpanjang kerja sama selama 25 tahun ke depan.

“Sesuai UU segala usaha di atas tanah yang saat ini sedang dikelola pihak Keuskupan atau PT Krisrama termasuk kategori penyerobotan dan perbuatan melawan hukum dengan ancaman 9 bulan kurungan,” kata Yoseph.

Akan tetapi, menurut kesaksian Sekretaris Desa Tuabao, Evensius Endi kepada EKORA NTT, hingga sekarang, Pemerintah Desa Tuabao belum mendapatkan dokumen perpanjangan kontrak HGU Nanghale dari PT Krisrama.

Akibatnya, Warga dari Suku Soge, Suku Gobang, dan suku-suku lainnya yang mengklaim tanah bekas HGU sebagai tanah ulayat sudah menduduki HGU Nanghale sejak 2013.

Dari total 225 KK, 70 KK dari Desa Tuabao yang menduduki tanah HGU Nanghale terdiri atas pertama, 17 KK yang tidak punya tanah, kedua, 10 KK yang hanya memiliki tanah kintal atau pekarangan rumah seluas 15 – 20 Meter.

Ketiga, puluhan KK lainnya yang memiliki tanah seluas 0,5 – 3 Ha, tetapi tanah tersebut sudah ditanami tanaman jangka panjang seperti kemiri.

Menurutnya, Blasius Baga adalah salah satu KK yang tidak punya tanah.

Atas dasar informasi dari Evensius, kami pun menemui Blasius Baga di rumahnya di lokasi bekas HGU Nanghale.

Blasius dan keluarganya ternyata baru menduduki tanah HGU Nanghale pada 2018. Ia mengaku tidak tahu informasi perpanjangan kontrak HGU Nanghale.

Walau Kepala Desa Tuabao tidak setuju warganya menduduki bekas HGU Nanghale, ia tetap bersikeras turun ke HGU Nanghale karena ia sudah tidak punya lahan di Desa Tuabao untuk ditanami tanaman berjangka pendek.

Berbeda dari penjelasan pemerintah desa, ia ternyata punya tanah seluas 1 Ha di Tuabao. Namun, tanah itu sudah ditanami tanaman berjangka panjang seperti mahoni, jati, dan jambu mente.

Blasius dan keluarga berani menduduki tanah HGU Nanghale karena pertama, kontrak PT Krisrama milik Keuskupan Maumere yang mengelola tanah HGU itu sudah berakhir pada 2013 lalu.

Kedua, ia yakin, area HGU adalah tanah ulayat sukunya, yaitu Suku Soge. Berdasarkan dua (2) hal itu, ia berpendapat, dengan menduduki tanah HGU, ia tidak merampas tanah milik orang lain.

Ia merasa, ia adalah pemilik sah dari tanah tersebut. Alih-alih takut, ia malah merasa senang.

“Kami rasa senang karena kembali ke kami punya tanah. Dulu, tanah ini milik bersama Suku Soge,” ungkapnya.

Pria kelahiran Tuabao, 1 Juli 1946 ini menduduki lokasi tanah HGU di sebelah bawah Jalan Trans Flores Maumere-Larantuka, Desa Nanghale, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka.

Luas lahan yang mengarah langsung ke Pantai Perairan Teluk Maumere itu 25 X 30 Meter. Di atas lahan tersebut, terdapat puluhan pohon kelapa milik PT Krisrama.

Namun, Blasius dan keluarganya tidak bisa sembarangan ambil kelapa tersebut. Sebab, PT Krisrama punya petugas ronda yang mengawasi perkebunan kelapa.

Barang siapa berani mencuri kelapa akan ditangkap.

Sebagai gantinya, di atas lahannya yang sempit itu, Blasius menanam padi, jagung, pepaya, dan kacang-kacangan.

Saat saya dan rekan jurnalis dari Ekora NTT mengunjunginya, Kamis (14/3/2019) tanaman jagung sedang tumbuh menghijau.

Hasil tanaman itu sebagian besar dikonsumsi dan sebagian kecil lainnya dijual di pasar.

Kalau dirupiahkan, penghasilan Blasius sebulan maksimal Rp200 ribu. Ia tidak punya daya beli untuk membeli lauk.

Lauk diperolehnya dari hasil pancingan anaknya di Perairan Teluk Maumere. Alih-alih lauk, ia dan keluarga agak sedikit susah untuk bisa makan normal 3 X sehari.

Wajar saja tubuh ringkih Blasius, anak, dan cucunya tinggal tulang berbalut kulit. Kulit Blasius hitam legam dan kurus sekali.

Saat itu, Blasius sedang sakit asam urat. Saya beberapa kali memapahnya untuk bisa duduk dengan baik di bangku dan bercerita.

Blasius mengaku, ia hanya punya satu rumah di lokasi HGU Nanghale.

Ukuran rumah kecil sekali. Di rumah yang terbuat dari halar itu, ia tinggal bersama dengan 5 orang anggota keluarga.

Ia sebenarnya punya delapan (8) orang anak. Tetapi, enam (6) orang lainnya sudah meninggal.

Dua orang anaknya yang masih hidup kini tinggal bersamanya di gubuk reot itu. Pendidikan tertinggi anaknya adalah kelas V sekolah dasar.

Ia tidak punya uang yang cukup untuk biayai ongkos pendidikan anak.

Saat ditanyakan, apa harapan terbesarnya saat ini, Blasius menjawab, “PT Krisrama harus mundur supaya kami bisa punya tanah sendiri di sini.”

 

 

 

TERKINI
BACA JUGA