Berenang di Antara Ikan Hiu

Maumere, Ekorantt.com – Empat (4) hari sebelum Pemilu serentak 2019, “Sexy Killers” diunggah Rumah Produksi “Watchdoc Documentary” ke Youtube.

Film dokumenter yang sudah tembus 18 juta penonton ini bikin oligark di negeri ini panas dingin. Sebab, film ini mengungkap jaringan oligarki di balik tambang batu bara di Kalimantan Timur yang sudah merenggut banyak nyawa.

Di Kubu Jokowi-Amin, ada nama-nama seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Fachrul Razi, dan Suadi  Marasambessy yang tergabung dalam tim Bravo 5.

Juga Harry Tanoesoedibjo, Surya Paloh, Sakti Wahyu Trenggono, Jusuf Kalla, Andi Syamsuddin Arsyad, dan Oesman Sapta Oedang.

Di Kubu Prabowo-Sandi, ada nama-nama seperti Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto, Maher Al Gadrie, Hashim Djojohadikusumo, Sudirman Said, Ferry Mursydan Baldan, dan Zulkifli Hasan.

iklan

Menariknya, PT Saratoga Investama milik Sandiaga Uno sudah melepas saham sebesar Rp130 Miliar ke PT Toba Bara milik Luhut Pandjaitan.

Selain itu, sebagian saham PT Adaro Energy milik Sandiaga Uno dimiliki oleh adik kandung Erick Tohir, Ketua Tim Pemenangan Jokowi-Amin.

Usai Pemilu 17 April lalu, publik pun bertanya-tanya, siapakah pemenang sesungguhnya dalam pesta demokrasi di negara demokratis terbesar ketiga di dunia ini?

New Mandala Indonesia Fellow, Australian National University’s College of Asia and the Pacific, Canberra, Australia, Emilianus Yakob Sese Tolo kepada Ekora NTT, Selasa (23/4) mengemukakan, terdapat minimal tiga (3) jawaban.

Pertama, berdasarkan hasil quick count, orang awam akan menjawab, pemenang Pilpres adalah pasangan Jokowi-Amin.

Kedua, Novelis Eka Kurniawan dalam tulisan di New York Times berpendapat, apa pun hasilnya, pemenangnya adalah golongan Islam populisme yang berhasil bernegosiasi dan mempengaruhi proses demokrasi elektoral.

Ketiga, beberapa analis berpendapat, apa pun hasilnya, pemenangnya adalah Sandiaga Salahudin Uno.

Para analis yang memberi jawaban ketiga berpendapat, Pilpres 2019 secara ekonomi dan politik menguntungkan Sandi.

Secara politik, Pilpres 2019 hanyalah batu loncatan dan modal besar bagi Sandi untuk bertarung sebagai Capres di Pemilu 2024.

Secara ekonomi, ia tetap akan meraup keuntungan besar walaupun berdasarkan hasil quick count kalah.

Sebab, banyak proyek bisnisnya memiliki relasi yang cukup dekat dengan oligarki yang melingkari kubu Jokowi.

Misalnya, Sandi menjalin kerja sama bisnis dengan Luhut Pandjaitan, orang penting dalam Kabinet Jokowi yang mungkin sangat mempengaruhi kebijakan ekonomi dan politik Jokowi.

Oleh karena itu, paska 2019, Sandi akan menjadi pebisnis yang berhasil karena merupakan bagian dari lingkaran kekuasaan Jokowi.

“Dari ketiga jawaban ini, jawaban ketiga ini menurut saya lebih masuk akal. Karena jawaban ketiga ini didasarkan pada relasi kekuasaan yang melatari Pilpres 2019. Pilpres 2019 ini adalah pertarungan kaum oligark di Indonesia. Siapa pun pemenangnya, pemenangnya adalah kaum oligarki. Oleh karena itu, apa pun hasil dari Pilpres 2019 ini tidak membawa perubahan yang signifikan terhadap sistem ekonomi dan politik di Indonesia,” ungkapnya.

Menurut Emil, demikian ia biasa disapa, hasil Pilpres 2019 tetap akan menguntungkan kaum oligark yang adalah kaum kapitalis yang mengorganisasi dan menguasai aktivitas produksi di negeri ini.

Pilpres sebagai bagian dari upaya kaum oligark menggunakan sistem demokrasi liberal untuk mengamankan dan memenangkan kepentingannya sama sekali tidak demokratis.

“Sebab, apa yang mereka lakukan hanyalah bagian dari tindakan semu meraih kesuksesan ekonomi dan politik yang lebih besar dan merepresi kelas pekerja,” ungkapnya.

Alumni The University of Melbourne ini berpendapat, jalan keluar dari lingkaran kekuasaan oligarkis adalah dengan menciptakan sebuah gerakan politik alternatif untuk melawan sistem politik liberal yang penuh dengan kepentingan kaum oligarki.

Beberapa orang sudah berusaha melawan sistem ini dengan menjadi Golput di Pilpres 2019. Beberapa santri di Jawa Timur sebelum Pilpres sudah memutuskan untuk Golput.

Alasannya, Pilpres 2019 adalah bagian dari pertarungan antarkelas kapitalis atau oligarkis atau borjuasi nasional.

“Memutuskan untuk memilih dalam Pilpres sama halnya dengan melegitimasi sistem kapitalisme dan sistem ekonomi yang mana Negara memfasilitasi proses akumulasi di dalam negara untuk kepentingan kaum kapitalis dan oligarkis,” katanya.

Emil mengatakan, dalam era neoliberal hari ini, Pilpres sebagai pertarungan elektoral hanyalah jalan untuk melegitimasi berbagai macam penindasan dan eksploitasi yang terjadi dalam sektor produksi.

Korbannya adalah kelas pekerja.

Sebab, kelas yang berkuasa sudah menghegemonisasi Negara. Negara memberi kekuasaan dan perangkat legalitas untuk proses akumulasi yang sarat dengan berbagai macam bentuk eksploitasi.

Berdasarkan latar belakang seperti ini, demikian Emil, politik alternatif yang mesti dibangun adalah berusaha mengubah sistem ekonomi di level produksi yang eksploitatif itu.

Caranya adalah mengorganisasi kelas pekerja secara nasional.

Kerja-kerja pengorganisasian ini harus dilakukan untuk melawan hegemonisasi kaum oligarkis melalui sistem ekonomi dan sistem politik yang melanggengkan proses akumulasi yang eksploitatif itu.

Namun, lanjut Emil, pengorganisasian kelas pekerja tak bisa dilakukan tanpa sebuah organisasi, katakanlah partai kelas pekerja.

Pengorganisasian itu harus berpuncak pada lahirnya partai kelas pekerja.

Partai kelas pekerja berupaya menghasilkan sebuah gerakan alternatif yang tujuan utamanya adalah menolak segala bentuk sistem ekonomi yang eksploitatif dan menindas kelas pekerja.

Menurut Emil, kerja-kerja pembentukan partai kelas pekerja mesti didukung oleh berbagai pihak, terutama kaum intelektual.

Kaum intelektual bertugas memberi dasar legitimasi terhadap gerakan alternatif sembari memberi jalan alternatif yang tepat sesuai dengan kondisi objektif masyarakat Indonesia dewasa ini.

Kerja kaum intelektual atau aktivis atau scholar aktivist penting dalam upaya mengorgansisai kelas pekerja agar mereka bisa membentuk partai kelas pekerja yang secara sunguh mewakili kelas pekerja vis a vis kepentingan kaum borjuasi atau kaum oligark atau kaum kapitalis.

“Tanpa politik alternatif ini, maka sistem ekonomi yang terus berpihak pada kelas oligark atau kapitalis atau borjuasi nasional tetap berjalan atau eksis di Indonesia. Kalau hal itu terus terjadi, maka penyingkiran dan penindasan kelas pekerja akan terus berjalan dan keadilan sosial tidak akan terealisasi,” ungkapnya.

“Mau atau tidak mau, kita harus berupaya mencari jalan politik alternatif yang menurut saya adalah pembentukan partai kelas pekerja dalam kerangka besar politik alternatif melawan dominasi dan hegemonisasi politik liberal atau demokrasi liberal yang cenderung diboncengi oleh kelas-kelas berkuasa di dalam sektor produksi di Indonesia hari ini,” pungkasnya.

Richard Robison dan Vedi R. Hadiz dalam buku “Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets” berpendapat, usai krisis moneter pada 1997 dan kejatuhan rezim otoritarianisme Suharto pada 1998, terjadi perebutan kekuasaan dan kekayaan yang luar biasa dalam sistem parlementer dan partai.

Sementara itu, negara dan bisnis tetap menjaga hubungan harmonis agar kerajaan perusahaan tetap utuh.

Menurut mereka, hal paling menonjol dalam politik di Indonesia paska Suharto adalah oligarki dan para pendukungnya sebagai produk Suharto telah mereorganisasi atau menyusun kembali kekuasaan sosial dan politik mereka dalam era demokrasi baru.

Hal ini ditandai dengan munculnya partai dan parlemen untuk memperkuat aliansi predatoris mereka. Hal ini juga menunjukkan bahwa relasi kekuasaan yang lama dapat bertahan dalam institusi kekuasaan yang baru.

Dalam studi ini, mereka meneliti kemunculan kembali oligarki politik dan bisnis dari dalam sistem pemerintahan otoriter Orde Baru.

Para oligark atur ulang kembali kekuatannya melalui krisis berturut-turut dan ambil alih lembaga-lembaga politik dan pasar.

Sementara itu, dalam suatu kesempatan kuliah umum “Kepresidenan Jokowi dan Masalah Oligarki” di Universitas Negeri Jakarta pada 8 Juni 2015 lalu, Professor Jeffrey A. Winters, Penulis Buku “Oligarchy”, memaparkan, oligarki muncul karena konsentrasi kekayaan.

Konsentrasi kekayaan atau stratifikasi kekayaan itu muncul sejak 5000-an tahun yang lalu. Stratifikasi kekayaan ini bertahan baik dalam sistem pemerintahan monarki, otoritarian, maupun sistem pemerintahan demokratis.

Stratifikasi kekayaan juga menyintas dalam sistem ekonomi agrikultural, industrial, maupun sistem ekonomi digital.

Bahkan sejak demokrasi muncul pada sekitar 200 atau 300 tahun yang lalu, tingkat stratifikasi kekayaan semakin meningkat.

“Mengapa demokrasi tidak membuat sistem ekonomi kita lebih fair, lebih adil?” tanya Winters.

Winters menjelaskan, pada zaman perbudakan Romawi Kuno dahulu, 500 senator di Roma menguasai 10.000 kali kekayaan lebih besar dari rakyat biasa.

Pada zaman pemerintahan demokratis sekarang, di Amerika, 500 orang terkaya memiliki kekayaan 20.000 kali lebih besar dari pada rakyat biasa.

Di Indonesia, 50 orang terkaya punya kekayaan 630.000 kali lebih besar dari pada rakyat biasa.

Menurut Winters, konsentrasi kekayaan memiliki pengaruh atas konsentrasi kekuasaan. Sebab, kekayaan adalah salah satu sumber daya kekuasaan.

Kekayaan atau uang adalah bentuk kekuasaan yang sangat fleksibel karena bisa dipakai dalam situasi yang berbeda-beda.

Konsentrasi kekayaan adalah sesuatu yang sangat kuno dan sulit diatasi dalam sejarah umat manusia.

Winters menjelaskan, transisi dari sistem pemerintahan otoritarianisme menuju sistem pemerintahan demokratis tidak menghapus konsentrasi kekayaan.

Bahkan dalam sistem “satu orang, satu satu suara,” para oligark, yaitu dia yang berkuasa karena kekayaannya, punya “satu suara” yang berbeda dari pada rakyat biasa lainnya terutama karena ia memiliki media.

Para oligark ini membiayai kampanye dan partai politik untuk berpartisipasi dan berkontestasi dalam demokrasi elektoral.

Paradoks demokrasi di Indonesia adalah orang Indonesia boleh memilih calon, tetapi tidak bisa menentukan siapa yang menjadi calon.

Siapa yang menjadi calon dan agenda politiknya ditentukan oleh oligarki.

Semua pilihan adalah pilihan oligarkis.

Menurut Winters, masyarakat sipil di Indonesia tidak diorganisasi dengan baik.

Padahal, semua diskusi politik tanpa organisasi kekuasaan rakyat atau masyarakat sipil adalah konyol.

Oleh karena itu, kompetisi paling besar dalam politik di Indonesia adalah di antara para oligark, bukan kompetisi antara oligark dan masyarakat biasa.

Winters mendefinisikan oligark sebagai orang yang bisa pakai kekayaan untuk mempertahankan kekayaannya dan memperjuangkan kepentingan politiknya.

Fokus politik oligark adalah mempertahankan kekayaannya. Sifat oligarki di Indonesia berdasarkan ideologi bagi-bagi kekuasaan di antara segelintir elite.

Sekitar 98% dari semua politik di Indonesia berdasarkan perjuangan untuk bagi-bagi kekuasaan.

Bagi-bagi kekuasaan dilakukan dengan santun atau teratur dan kekerasan. Pada zaman Suharto, para oligark hanya perlu bertandang “minum teh” ke Cendana untuk bagi-bagi kekuasaan.

Kompetisi di antara para oligark diatur oleh Suharto.

Sekarang, kompetisi di antara para oligark berlangsung liar karena sistem hukum di Indonesia paska lengsernya Suharto tidak berjalan baik.

Winters menandaskan, oligark di Indonesia bersifat ekstraktif, bukan produktif. Tujuan utama oligark adalah membagi kekayaan sumber daya alam.

Oligark yang berkuasa di Indonesia hanya mementingkan konsumsi dan pembagian kekayaan.

Kira-kira 60 tahun belakangan ini, tujuan utama politik mereka adalah ekstraksi semaksimal mungkin, yaitu minyak, gas bumi, mineral, batu bara, dan lain-lain.

Para oligark di Indonesia melihat masa depan Indonesia di ekstraksi, bukan industri. Oleh karena itu, industrialisasi tidak mungkin menjadi agenda politik mereka.

“Masa depan Indonesia di mana? Pilihannya jelas. Apakah Indonesia dalam perjalanan ke arah China, yaitu industrialisasi atau dalam perjalanan ke arah Filipina? I am sorry to say, you are on the way to Piliphine, not to China,” katanya.

Menurut Winters, hal itu terjadi karena oligark yang berkuasa hanya melihat satu zaman dan satu kepentingan, yakni meraup sebanyak mungkin dari kekayaan yang ada.

Hal ini tampak dalam koalisi dan kabinet “warna-warni” yang memiliki basis “bagi-bagi kekuasaan.”

Sementara itu, organisasi rakyat dari bawah sesudah tahun 1965 tidak bertumbuh di Indonesia untuk memperjuangkan agenda politik pemerataan ekonomi dan melawan kekuasaan oligarkis.

Ancaman utama oligark berasal dari oligark lain, bukan organisasi rakyat.

“Di Indonesia, perlu 1 juta atau 500 ribu orang untuk mengimbangi satu orang oligark,” ungkapnya.

Menurut Winters, Jokowi memang bukan seorang oligark.

Namun, dia tidak mungkin pindah dari Solo ke Jakarta tanpa dukungan para oligark di sekilingnya.

Dalam Pemilu, dukungan para oligark terbelah pada Jokowi dan Prabowo.

Namun, siapa pun yang terpilih, para oligark tidak akan pernah merasa terancam karena baik Jokowi maupun Prabowo tidak memiliki agenda non-oligarkis.

Sesungguhnya Jokowi tidak jelek.

Namun, dia menjadi presiden di antara oligark yang jauh lebih kuat dari padanya.

“Jadi, dia coba berenang di antara ikan hiu ini. Apakah dia harus membantu oligarki ini atau kelompok itu? Harus. Jika mau survive,” katanya.

Sementara itu, demikian Winters, sebagian oligark tidak mendukung Prabowo bukan karena ia punya agenda melawan oligarki, melainkan sentimen anti-China.

Rakyat Indonesia sesungguhnya tidak punya pilihan progresif karena politik Kiri raib semenjak tahun 1965.

Spketrum politik Indonesia adalah kanan atau sangat kanan.

Winters mengungkapkan, dalam Pemilu di Indonesia, para oligark menetapkan agenda memilih calon.

Lalu, rakyat dipersilahkan memilih di antara pilihan yang sudah ditentukan.

Tidak ada calon atau Parpol yang bisa bersaing tanpa duit yang banyak.

Juga tidak ada calon yang merupakan hasil dari kekuasaan mobilisasi dan organisasi rakyat.

“Boleh memilih, tetapi kekuasaan yang lain menentukan siapa yang menjadi calon,” katanya.

Winters berpesan, kalau mau benar-benar melawan kekuasaan oligarki di Indonesia harus ada mobilisasi rakyat untuk menentukan calon pemimpin.

Ross Taspell dalam buku “Kuasa Media di Indonesia: Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital” mengatakan, warga berdaya yang punya akses kepada internet dapat menggunakan teknologi digital untuk melawan dominasi dan hegemonisasi oligarki.

Ia berpendapat, “teknologi digital yang baru membawa Indonesia ke dua arah. Di satu sisi, digitalisasi membuat kaum oligark mengontrol ranah media arus-utama dan mendorong struktur kekuasaan elite terpusat di sektor politik dan media.

Pada saat yang sama, berbagai platform media digital juga digunakan oleh warga untuk tujuan-tujuan aktivisme dan pembebasan, dan warga biasa dapat menantang struktur kekuasaan elite melalui penggunaan media digital yang efektif.”

TERKINI
BACA JUGA