Larantuka, Ekorantt.com – Pada hari Sabtu, 6 Juli 2019 mendatang, sebuah pertunjukan kesenian kelas dunia bakal disuguhkan di Kota Larantuka, Kabupaten Flores Timur, NTT.
Para pementasnya merupakan gabungan antara seniman Flores Timur, seniman Indonesia dan para seniman dari Asia. Sebuah kolaborasi internasional yang menjadi jembatan keterhubungan varian kekayaan kesenian lintas pulau dan negara dalam satu panggung.
Aktivitas yang diinisiasi oleh Teater Garasi/ Garasi Performance Institute Yogyakarta-Indonesia tersebut sebetulnya adalah ruang tukar pikiran, berbagi cerita dan saling belajar bagi para seniman satu sama lain.
Yang mana seniman-seniman Asia datang untuk mencerap aspek-aspek sosial dan kultural sembari memaknai situasi/konteks yang ada di Flores Timur, dan para seniman Flores Timur mempelajari keanekaan ekspresi berkesenian dari seniman dari luar daerahnya.
Termasuk menemukan kesamaan latar kondisi sosial-budaya ataupun ekonomi-politik di daerah masing-masing.
Menurut Silvester Hurit, budayawan muda Flores Timur yang juga terlibat dalam penggarapan kolaborasi ini, proses pertemuan antarseniman yang telah berlangsung sejak tanggal 23 Juni 2019 lalu itu mengandung suatu jalinan dialog yang memungkinkan para seniman mengelaborasi dasar-dasar kesenian mereka.
“Di dalamnya ada unsur egaliter. Karena, teman-teman dari Asia datang tanpa punya pengetahuan apa-apa tentang situasi di Flores Timur, sementara teman-teman di sini juga mendengarkan pengalaman teman-teman dari luar yang jam terbangnya sudah tinggi,” paparnya.
Bagi dia, pertunjukan tanggal 6 Juli nanti hanyalah satu puncak dari rangkaian transfer pengetahun dan relasi pertemuan yang sudah dilakukan sejauh ini.
Poin terpentingnya justru terletak pada proses-proses sebelum pertunjukan itu.
“Kita di sini banyak belajar dari profesionalitas mereka. Dan juga mereka belajar soal kebudayaan dan situasi sosial kita.”
Salah seorang seniman Asia, Takao Kawaguchi, dalam perbincangan dengan Ekora NTT, Minggu (30/6/2019), mengatakan, selama berproses bersama-sama di Flores Timur, dia menemukan beberapa keserupaan fenomena sosial seperti yang dia alami di negaranya, Jepang.
Salah satunya, ihwal pergeseran atau pergerakan kehidupan masyarakat yang tak terlepaspisahkan dari kebijakan-kebijakan negara, agama juga adat.
“Saya menemukan hal-hal yang tak jauh berbeda dengan apa yang saya alami di negara saya. Saya dengar cerita-cerita dari kawan-kawan di sini dan itu menghubungkan saya beserta teman-teman Asia lainnya, karena kami punya latar belakan isu yang hampir sama,” pungkas sosok yang santer dengan ragam olah tubuh ini.
Lantas, berkenaan dengan konteks pertunjukan tadi, Takao tentu telah menyiapkan diri dengan baik dan akan memberikan peragaan yang menghibur para penonton.
Namun, menurut dia, kolaborasi skala internasional itu bukan hanya sekadar hiburan semata tapi bagaimana merangsang daya pikir masyarakat.
“Harus memberikan pemikiran baru bagi masyarakat, menggugah kesadaran dan tunjukkan temuan-temuan, tentu lewat kesenian, atas apa yang telah kami lewati sejak pertama kali datang ke sini,” tambahnya.
Sementara itu, Yudi Ahmad Tajudin, Sutradara sekaligus Direktur Teater Garasi/ Garasi Performance Institute Yogyakarta-Indonesia, juga menyampaikan bahwa pertunjukan yang akan disajikan merupakan bentuk respons atas peristiwa perjumpaan para seniman itu sendiri.
“Jadi, ada proses yang sudah dan sedang berlangsung, dan apa yang dipertunjukkan nanti adalah bagian dari proses itu. Panggung adalah hasil dari pertemuan-pertemuan itu. Bukan sesuatu yang lain. Kami sempat pergi juga ke Adonara dan Solor untuk melihat dan menemukan situasi yang terjadi pada masyarakat adat di sana. Merasakan langsung kehidupan mereka dan tentu itu menjadi pengetahuan bagi kami,” kata Yudi yang pada tahun 2013 lalu mewakili Teater Garasi menerima anugerah Prince Claus Awards.
Sebagaimana tersebutkan di atas, momen pertunjukan seni kelas dunia ini akan berlangsung pada Sabtu, 6 Juli 2019 dan terjadi di kompleks Taman Kota Larantuka yang berhadapan langsung dengan Kapela St. Antonius Padua.
Menariknya, pementasan tersebut memadukan naskah lakon klasik karya seniman Norwegia, Henrik Ibsen, berjudul “Peer Gynts”, sehingga nama pertunjukannya, yakni “Peer Gynts di Larantuka (Kisah Para Pengelana dari Asia)”.