Jakarta, Ekorantt.com – Lokataru Kantor Hukum dan HAM, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam tindakan PT. MSM yang melakukan sejumlah pelanggaran HAM terhadap Masyarakat Adat di Sumba Timur.
Hasil investigasi di Sumba Timur pada bulan Januari 2019 hingga Maret 2019 di lima desa yang berada di tiga kecamatan berbeda di Kabupaten Sumba Timur, terkuak fakta adanya beberapa pelanggaran Hukum dan HAM yang disebabkan oleh bisnis perkebunan tebu milik PT. Muria Sumba Manis (PT. MSM).
Dalam catatan kami, setidaknya terdapat lima bidang pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PT. MSM yakni dalam bidang Lingkungan Hidup, bidang Keagamaan dan Kebudayaan, bidang Ketenagakerjaan, bidang Pertanahan, dan bidang Pemidanaan.
Pertama, dalam bidang lingkungan hidup. Kerusakan hutan, padang penggembalaan, kerusakan ladang pertanian, dan adanya privatisasi air yang berujung pada krisis air bagi masyarakat.
Wilayah hutan Bulla sebesar 0,58 hektar diokupasi untuk pembangunan embung. Sedangkan pada hutan Mata yang terletak di Desa Wanga juga mengalami kerusakan akibat pembangunan embung penadah air sementara persis di tengah Daerah Aliran Sungai (DAS).
Selain itu, kerusakan daerah aliran sungai akibat dibendung di bagian hulu oleh PT. MSM mengakibatkan kekeringan yang berkepanjangan dan berimbas pada gagalnya ladang pertanian Masyarakat Adat.
Sementara itu, sabana sebagai padang penggembalaan hewan masyarakat dialih fungsikan menjadi lahan konsesi perkebunan tebu.
Kedua, dalam bidang keagamaan dan kebudayaan. Sebagai imbas dari pembukaan lahan dan rusaknya lingkungan hidup, kerusakan pada situs adat dan peribadatan bagi Masyarakat Adat yang menganut keyakinan marapu menjadi masalah yang juga dihadapi oleh masyarakat adat di Sumba Timur.
Ketiga, dalam bidang ketenagakerjaan. Masyarakat yang akhirnya beralih pekerjaan dan berubah menjadi pekerja/buruh bagi PT. MSM tak serta merta lepas dari semua penderitaan di atas.
Tidak adanya jaminan kesehatan bagi para pekerja, tidak adanya fasilitas kesejahteraan bagi pekerja/buruh misalnya toilet, tempat istirahat, dan kantin, serta tidak adanya perjanjian kerja tertulis sehingga membuat perusahaan bertindak sewenang-wenang dengan menetapkan target kerja yang tak manusiawi dan upah yang tak sepadan.
Keempat, dalam bidang pertanahan. Pelepasan tanah ulayat milik beberapa marga/kabihu secara sepihak oleh oknum pemerintahan di tingkat desa dan kecamatan, pelepasan lahan dengan penggunaan status tanah ex swapraja atas lahan yang sebenarnya merupakan tanah ulayat yang dilakukan oleh kepala suku, proses pengukuran secara sepihak oleh PT. MSM dan oknum pemerintahan dengan dalih demi kepentingan umum, penggunaan istilah uang sirih pinang yang disamakan dengan uang pengalihan lahan, serta penerbitan izin lokasi dan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan prosedur hukum merupakan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat dalam bidang pertanahan.
Terakhir, yakni adanya pemidanaan yang terkesan dipaksakan dengan adanya empat masyarakat adat yang dilaporkan kepada pihak kepolisian selama proses advokasi ini.
Perkembangan proses hukum yang tak sesuai serta tekanan yang terus menerus diterima Masyarakat Adat juga menambah banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi.
Berbagai upaya dan tindakan yang telah dilakukan mulai dari surat menyurat kepada lembaga terkait, aksi massa dalam rangka penolakan investasi PT. MSM di Sumba Timur, hingga pelaporan beberapa pihak kepada pihak kepolisian, nyatanya hingga kini tak menyurutkan PT. MSM untuk terus beraktivitas di atas penderitaan Masyarakat Adat.
Oleh karenanya, kedatangan Masyarakat Adat dari Sumba Timur ke Jakarta ini merupakan bentuk upaya nyata untuk mengais keadilan.
Sekaligus, membuktikan bahwa tidak ada langkah penyelesain dan keberpihakan dari pemerintah Kabupaten Sumba Timur dalam menyelesaikan seluruh permasalahan di atas.
Slogan PT. MSM yang berbunyi “mensejahterakan masyarakat sekitar” nyatanya bertolak belakang dengan berbagai fakta yang terjadi di Sumba Timur.
Pada akhirnya, selain mendesak adanya evaluasi bagi jajaran pemerintah Kabupaten Sumba Timur, segala bentuk pelanggaran Hukum dan HAM yang dilakukan oleh PT MSM harus dihentikan dan ditindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.
Demikian siaran pers yang dihimpun Ekora NTT dari Lokataru Kantor Hukum dan HAM, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) bertanggal 7 Juli 2019 mengenai praktik buruk yang dilakukan oleh PT. Muria Sumba Manis di Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT.