40 Tahun Mengenang Tsunami Waiteba, Lembata

Lembata, Ekorantt.com – Bencana terjadi karena bencana sebelumnya dilupakan. Dasar ini rupanya jadi semacam memoria passionis bagi Pemerintah Kabupaten Lembata dan Gereja Lokal Keuskupan Larantuka untuk mengenang perstiwa paling memilukan empat puluh tahun silam.

Tepatnya 18 Juli 1979 atau 19 Juli dini hari.  Hari itu jadi hari yang paling mengenaskan. Kampung Waiteba, Kecamatan Atadei, Pulau Lembata longsor dan langsung tersapu gelombang pasang yang naik setinggi 50 meter.

539 orang tewas, 364 orang hilang dan 470 orang lainnya menderita luka-luka.

Peristiwa empat puluh tahun silam pada malam yang menyayat hati itu seperti baru terjadi dan tampak di depan mata.

Dan peristiwa kelam itu pun dimaknai dalam perayaan ekaristi atau misa kudus, Rabu 17 Juli 2019, di Kampung Waiteba, guna mengenang dan mendoakan jiwa para korban.

iklan

Ekaristi kudus dipimpin oleh Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung Pr. 

Wakil Bupati Lembata, Thomas Ola Langoday, kepada segenap warga yang hadir dalam acara misa tersebut mengungkapkan, peristiwa empat puluh tahun yang lalu hendaknya tetap hidup dalam ingatan warga dan jangan sampai terlupakan.

Bencana itu dekat dan kapan saja bisa terjadi. Maka, sikap waspada mesti jadi keutamaan. Terutama kepada kurang lebih 12 kepala keluarga yang saat ini mendiami wilayah Waiteba.

Wakil Bupati Thomas Ola juga mengingatkan bahwa siklus alam terus berputar. Dan tak ada jaminannya bahwa ke depannya bencana serupa tidak terjadi lagi di Waiteba.

Thomas lalu mengingatkan kepada dinas yang terkait langsung dengan urusan bencana agar terus mengedukasi warga dalam hal manajemen risiko bencana.

Tentang bencana 40 tahun silam itu, sebelumnya sudah diwanti-wanti oleh Peter A. Rohi, jurnalis Sinar Harapan Jakarta asal NTT yang terjun langsung ke Waiteba, Lembata pada pertengahan tahun 1978.

Liputannya bahwa Waiteba akan dilahap bencana rupanya tidak ditanggapi serius oleh Pemerintah Provinsi NTT kala itu.

Ben Mboi yang pada masa itu menjabat sebagai gubernur NTT rupanya berang dengan liputan Peter.

Kepada warga, Ben Mboi justru menyampaikan agar mereka tak boleh percaya pada apa yang ditulis wartawan, tetapi apa yang dikatakan para ahli.

Menurut Peter A. Rohi, apa yang ditulisnya tentang Waiteba berangkat dari rasa keterpanggilan hati nurani sebagai seorang jurnalis.

Dalam telusuran Ekora NTT atas sejumlah referensi dan juga dinding Facebook Peter A. Rohi, terpampang narasi memilukan yang seharusnya sudah bisa diantisipasi terlebih dahulu dengan jalan mengevakuasi penduduk Waiteba.

Seorang jurnalis harus merasa terpanggil untuk langsung berada di lapangan melaporkan apa yang dilihatnya, apa yang sudah terjadi atau apa yang bakal terjadi. Demikian insting jurnalis seorang Peter.

Berikut beberapa petikan narasi yang sempat dikisahkan Peter A. Rohi.

Berawal dari informasi yang saya terima dari adik saya, Welhelmus Rohi, seorang vulkanolog lulusan Jepang, tentang Gunung Hobal di dasar Laut Sawu yang berhadapan dengan Pulau Lembata.

Mendengar peristiwa besar yang akan menimpa Waiteba, saya bergegas ke sana, dengan biaya sendiri sebagaimana kebiasaan saya kala melakukan hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan.

Di Larantuka, kebetulan saya bertemu dengan dua pejabat daerah, yang kebetulan juga ketika kuliah di Kupang dan kos di rumah saya.

“Piet, sebaiknya jangan pergi ke sana, gempa sudah sering terjadi. Berbahaya”, ujar keduanya. Tapi justru itulah yang membuat saya ‘bernafsu’ ke Waiteba.

Kapal motor yang menuju Lewoleba hanya ada pada hari pasar. Tetapi di pantai saya menyewa sebuah perahu berlayar satu, yang saya kemudiakan sendiri menuju pantai terdekat, Loang. Hari telah malam, saya menginap di rumah Camat Hillarius.

Pagi subuh camat yang berbaik hati mengirim seorang pegawainya membawa surat-surat ke Lewoleba, tetapi sebenarnya ia ingin agar saya tidak berjalan sendiri.

Hampir siang kami berhenti di tenda para penyelam mutiara. Kami makan siang di situ dengan daging kerang mutiara. Lezat sekali.  Saat berpamitan saya dihadiahi sebuah mutiara kecil dari mereka sebagai kenangan.

Beberapa jam berjalan menyusuri pantai, beberapa perempuan membawa ember menuju pantai. Ternyata mereka menimba air tawar pada beberapa mata air yang muncul saat air laut surut. Tentu saja saya merasakan air tawar Lembata yang memang nyaman saat sedang haus.

Malam itu juga saya menemui Pembantu Bupati Sumarmo mengatakan niat saya ke Waiteba. Pagi hari ia mengutus pegawainya Michael, menemani saya sambil memantau kondisi Waiteba dan Gunjung Hobal.

Kami mengambil jalan memotong yang harus mendaki beberapa gunung terjal mirip kerucut. Ketika dahaga sudah tidak tertahankan, kami singgah di kampungnya mantan Ketua DPRD NTT Jan Kiapoli. Kami disuguhi tuak asam (laru). Hari mulai senja kami bertemu Camat Atadei Yusuf Dolu ditemani seorang pegawainya yang akan menuju Lewoleba. Kami hanya bercakap sebentar.

Malam hari di rumah Kepala Desa Waiteba saya heran karena disediakan air panas di kamar mandi.

“Sumur-sumur di sini sudah mendidih,” kata Kepala Desa menjelaskan.

Keesokan harinya Hari Minggu, perempuan-perempuan menuju ke gereja menyusuri pantai sambil di tangannya pemintal benang menari-nari. Di pantai tampak ikan-ikan besar terdampar bagai sudah direbus.

Sejak semalam gempa terus-menerus. Saya dan Michael mendaki bukit untuk membuat foto-foto. Tetapi bukit itu pun longsor dan kami berguling-guling bersama bebatuan. Saya hanya menjaga tustel Canon FTB agar tidak lepas dan tenggelam di antara batu-batu.

Hari itu juga kami bergegas pamit. “Jangan lupakan kami, pesan seorang ibu. Kami pun Golkar,” Saya tidak tahu makna pesan itu, tapi tentu ia mengharapkan pemerintah agar segera turun tangan.

Kali ini memilih menyusuri pantai dan mendaki menuju sebuah desa, di mana kami bermalam di rumah Kepala Desa. Ia baru tiba dari Jakarta dan menyarankan kami pagi-pagi bergesa ke desa pantai yang ada sebuah kapal motor menuju Lewoleba.

Dari Lewoleba saya dengan kapal motor yang memuat masyarakat dari pasar menuju Larantuka. Penuh sesak. Saya sudah tidak sabar lagi memberitakan apa yang saya saksikan dan menyatakan keprihatinan agar mesyarakat Waiteba segera diungsikan.

Gubernur Ben Mboy marah besar membaca berita saya. ia datang ke sana dengan serombongan orang dan KNPI (Komite Nasional Pemuda) NTT.

Ia memberikan kecaman pada bnerita saya, setelah mencabut sebatang ubikayu di ladang petani.

“Ini tanah sangat subur. Jangan percaya pada itu wartawan”, kata Ben Mboy, KNPI  pun ikut berjanji “kalau terjadi apa-apa, kami yang akan menyelamatkan saudara-saudara”

Beberapa bulan kemudian bencana besar itu sungguh-sungguh terjadi. Tengah malam tanggal 19 Juli 1979, gunung Hobal, gunung berapi yang berada di bawah permukaan laut tiba-tiba meletus. Letusan dasyat itu diikuti dengan gempa bumi berkekuatan super dan gelombang laut setinggi 50 meter. Saat itu, warga yang tinggal di pesisir pantai Desa Waiteba, ibu kota Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata, sedang tidur nyenyak. Mereka tak menyangka bencana sedang menghimpit. Seketika, bangunan beserta pemiliknya disapu gelombang dan ditarik masuk ke dasar laut. Tak banyak yang tahu kejadian tengah malam itu. Namun keesokan harinya, terlihat Desa Waiteba tinggal tanah lapang tak berpenghuni. Gubernur diam, dan KNPI pun tak pernah datang menyelamatkan mereka.

40 tahun sudah kisah Waiteba itu berlalu dan cerita tentang Gunung Hobal, gunung bawah laut yang meletus dan memakan korban jiwa itu tetap hidup dalam ingatan orang-orang Lembata.

Pada saat perayaan ekaristi mengenang korban semua umat diingatkan lagi oleh Uskup Frans dan Wakil Bupati Thomas untuk senantiasa waspada. Terlebih kepada 12 kepala keluarga yang saat ini tinggal di Waiteba.

TERKINI
BACA JUGA