Nostalgia Susilarini, Tetangga Pramoedya Ananta Toer

Maumere, Ekorantt.com – Warung kecil Mbak Susilarini di Kompleks Frateran Maumere, Jalan Kimang Buleng, Kelurahan Kota Uneng, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka, tampak ramai.

Saya masuk ke dalam dan duduk di salah satu kursi yang tersedia di situ. Sementara Mbak Susilarini dan seorang pelayan sibuk menyiapkan menu untuk para tamu. Saya memesan nasi ikan.

“Mas, dari mana?” tanya dia, sebagaimana kebiasaan penjaga warung mengakrabkan diri dengan pengunjung.

“Saya dari Bajawa, Soa, Mbak,” jawab saya.

“Oh, kerja di sini, ya, Mas,” katanya.

iklan

“Iya, Mbak. Sa di Maumere sudah hampir 6 tahun. Mbak sendiri dari mana?” tanya saya sekenanya untuk basa-basi.

“Saya dari Jawa Tengah, Mas. Kampung saya Blora. Saya tinggal di Maumere sejak tahun 2012 lalu,” Susilarini menjawab.

“Oh, Blora, ya? Apakah Mbak kenal dengan Pramoedya Ananta Toer? Dia itu sastrawan besar dari Blora,” tanya saya ingin tahu.

“Wah, kenal sekali, Mas. Saya tetangganya. Rumah kami berdekatan. Waktu masih kecil, saya sering main ke rumahnya,” Mbak Susilarini terkejut. Dia tampak antusias.

Tentu saya lebih antusias lagi. Saya lepaskan nasi ikan lezat yang sudah dihidangkan dan ingin mencari tahu lebih jauh. Ini kejutan yang menyenangkan.

“Saya salah satu penggemar beliau, Mbak. Saya punya koleksi bukunya, terutama Tetralogi Buru. Sa akan senang sekali kalau Mbak mau bercerita.”

“Haha, iya, Mas. Saya cerita sejauh yang saya ingat saja, ya. Soalnya, sudah lama sekali,” katanya.

Nostalgia Mbak Susilarini tentang Pram lantas meluncur lancar. Saya asyik menyimak. Sebuah cerita masa lalu yang penuh dengan kenangan yang membahagiakan. Sejam berlalu, Susilarini tutup cerita.

“Mbak, kalau berkenan, nanti saya dan teman saya wawancara Mbak tentang pengalaman masa kecil bersama Pram. Semoga Mbak bersedia.”  

“Tentu saya mau, Mas. Hanya saya cerita sejauh ingatan saya, ya. Hehe,” katanya.  

Sejarah tidak cantumkan Pram sebagai seorang tokoh, demikian Susilarini memulai cerita saat ditemui Ekora NTT di angkringannya beberapa saat setelah perjumpaan tadi.

Dirinya tak dengar cerita secuil pun tentang ketokohan Pram. Buku pelajaran di sekolah juga membisu.

Para tetangga anggapnya warga biasa. Ketokohan Pram sebagai seorang sastrawan besar sama sekali kempot di kampung halamannya. Anak manusia sungguh tak dihargai di tanah kelahirannya.

“Tahunya beliau ini orang yang suka kasih motivasi untuk belajar saja. Kami belum tahu dia sastrawan besar. Saya tahu setelah SMA. Mulai terbuka sedikit-sedikit. Saya omong ke suami, saya baru sadar bahwa dia tokoh besar baru beberapa tahun yang lalu. Masa kecilku saat sekolah dasar (SD) sering main di rumahnya,” katanya.

Menurut Susilarini, rumah Pram terletak di Desa Tambarejo, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora. Menurut telusuran Ekora NTT, rumah masa kecil Pram terletak di Jalan Sumbawa Nomor 40, Kelurahan ‎Jetis, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora.

Sekarang, rumah itu ditinggali adik kandung Pram, Soesilo Toer bersama istri dan anak semata wayangnya, Benee Santoso.

Soesilo Toer sendiri adalah seorang master jebolan University Patrice Lumumba dan doktor bidang politik dan ekonomi dari Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov Uni Soviet yang menulis puluhan buku, tetapi memilih profesi menjadi pemulung.

Akibat dituduh antek komunis dan terlibat PKI seperti kakak sulungnya, Pram, ia dipenjara selama 6 tahun usai menginjakkan kaki di bandara pada 1973.

Di rumah tempat Pram dan 8 saudara lainnya jalani masa kecil inilah, Soesilo Toer bangun Perpustakaan Pramoedya Anak Semua Bangsa (Pabata) mengenang sang kakak (Kompas, 7/6/2018).

Susilarini dan teman-teman sering main di rumah Pram. Ia punya kesan, rumah Pram sangat sederhana dan terbuka bagi anak-anak.

“Rumah Pak Pram di pinggir jalan raya. Di halaman, ada pohon mangga gulek. Pohon mangga itu besar sekali. Kami suka curi. Halaman rumahnya kecil. Model rumahnya memanjang. Ada kios. Sempat beroperasi, tetapi tidak lama ditutup. Kami biasa jajan di situ. Pak Pram biasa melayani di kios itu,” kenangnya sambil goreskan tinta di kertas untuk lukiskan peta rumah Pram.

Sejauh pengamatan Susilarini, rumah Pram sederhana. Tiada barang berharga.

Foto diri yang tandakan ketokohan pun tak terpasang. Cuma sebuah foto tua ayahanda Pram.

“Kayaknya mereka keluarga yang sederhana. Saya ingat kursi rotan yang pegangannya melengkung. Ada meja kecil di sudut. Ada empat kursi dari jati,” katanya.

Saat masih kecil, Susilarini kenal Pram dengan nama Pramoedya Ananta.

Ia sering ke rumah Pram untuk bermain dan melihat koleksi buku-buku Pram di sana. Di rak, banyak buku terpajang.

Tiada nasihat lain yang diserukan Pram kecuali belajar, belajar, dan belajar. Baca, baca, dan baca.

“Kami sempat merasa, mengapa dia omong itu terus. Nggak ada yang lain kecuali diajak belajar, belajar, dan belajar. Baca, baca, dan baca. Bagi saya, dia adalah figur pahlawan karena sudah beri motivasi saat kami masih kecil untuk belajar. Saya menyadari, saya sudah bertemu dengan tokoh yang sangat luar biasa,” katanya.

Ingatan tentang masa lalu punya titik batas.

Akan tetapi, masa lalu yang mengesankan biasanya buat tipis batas ingatan.

Masih pekat dalam ingatan Sulastri, rimbun pohon mangga, sejuk rumah yang sederhana, dan baju daster dan kacamata istri Pram yang setia berdiri di depan pintu rumah.

Pram biasa duduk nongkrong dan ngobrol bersama warga desa di angkringan di depan rumahnya. Tema obrolan ringan, tetapi sesekali berat seperti filsafat dan politik.

Warga yang mengaso ikut nimbrung. Termasuk Susilarini dan bapaknya.

Telinga kecil Susilarini tangkap omongan Pram sebagai sangat kritis dan tajam. Kalau ada hal yang tidak ia sukai, ia akan omong langsung.

“Ngomongnya tajam. Itu yang buat beberapa orang nggak suka. Saya waktu itu sempat berpikir, Bapak ini ngomongnya tajam, ya? Pasti ada sesuatu ini,” katanya.

Romantisme masa lalu Susilarini kecil bersama Pram mengantarnya pada sebuah refleksi bahwa yang berat itu bukan rindu, tetapi meluruskan sejarah.

Pelurusan sejarah selalu akan pinta korban. Sebab, pelurusan sejuruh dalam artinya yang paling manusiawi adalah menulis ulang sejarah dari sudut pandang korban.

Negara belum tentu akui kesalahan masa silam karena negara punya semacam egoisme untuk selamatkan muka pihak-pihak yang bersalah.

Kalau sejarah ditulis ulang dari kacamata korban, di mana muka para pelaku kejahatan HAM masa lalu harus disimpan?

“Tapi, untuk sesuatu yang terlewatkan, kita bisa reuni ke sana. Ambil sesuatu yang mesti ditaruh di depan. Mungkin Beliau tidak angkat senjata, tetapi Beliau termasuk tokoh. Pemikiran saya begitu,” katanya.

Susilarini (43) lahir di Desa Jatisari, Kecamatan Rendublatung, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah pada 2 April 1975.

Karena sering sakit, ia ganti nama tiga kali: Sulasi, Asesusilowati, dan Susilarini. Ia habiskan masa kecil di Desa Tambarejo/Plotot, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah.

Di desa inilah, ia bertetangga dengan sastrawan besar tanah air yang berkali-kali masuk nominasi peraih nobel sastra, Pramoedya Ananta Toer.

Susilarini lulus SMA pada 1993/1994. Ia keluar dari Blora pada 1994, merantau di Solo ½ tahun, di Batam selama 4 tahun, dan akhirnya ke Maumere, Flores pada tahun 2013 silam.

Di Nian Tana Sikka, ia buka usaha angkringan warung makan di sekitar kompleks Frateran Maumere.

Ijazah hanya buktikan seseorang pernah sekolah, tetapi tidak pernah buktikan ia pernah berpikir.

Dengan kantongi ijazah SMA, isi otak Susilarini lampaui nilai yang tertera dalam ijazah. Susilarini seorang pembaca marxis yang tidak khatam.

Ia pertama kali baca “Madilog” Tan Malaka pada tahun 1997.

Ia juga simpan buku tokoh-tokoh marxis, antara lain menantu Karl Marx, Paul Lafargue seorang jurnalis, kritikus sastra, penulis politik, dan aktivis revolusioner Perancis yang nikahi putri kedua Marx, Laura dan meninggal bersama-sama karena bunuh diri pada tahun 1966.

“Saya punya dua bukunya. Saya suka baca buku-buku Marx. Tapi, kemudian berhenti karena buat saya pusing,” katanya.

Silvano Keo Bhaghi dan Elvan De Porres

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA