Manusia yang Terjebak, Manusia yang Menebak (Catatan atas Pameran “KAHE Exhibition: Anak dan Rumah”)

Maumere, Ekorantt.com – Pameran seni rupa “KAHE Exhibition” yang diselenggarakan oleh Komunitas KAHE Maumere, dari tanggal 1 sampai 14 Mei 2019 di Studio Maumere TV, menyodorkan tema “Anak dan Rumah”.

Tema ini berangkat dari visi terhadap rumah yang bukan saja sekadar bangunan fisik semata, melainkan mengandung emosi dan suasana dalam laku hubungan orang-orangnya. Di dalamnya bisa terdapat keteraturan hidup, pranata-pranata, refleksi, ataupun konfrontasi dan gunjingan dan benturan.

Namun, mungkinkah anak dan rumah tak hanya ditatap sebagai hitam dan putih, baik dan buruk, damai dan ricuh, harmonis dan tragis, tapi menjadi labur kosong lantas diciptakan masing-masing kepala. Menjelma jadi sesuatu yang lebih luas dengan segudang peluru tafsiran. Dan mungkin menyempil kecil-kecil tanpa perlu bangun deret elaborasi macam-macam.

Sebagai misal, bagi seorang pejalan yang tak punya tempat tinggal tetap, anak atau rumah barangkali terwujud dalam alam luas persinggahan-persinggahan dia. Bagi seorang selibat, anak atau rumah dapat terkandung pada segala hal yang dia doakan dan layani.  Atau, bagi seorang seniman, anak atau rumah adalah lalu-lalangnya ide-ide yang kemudian diterjemahkan ke dalam medium penciptaan karya seni.

Tentu, hal ini akan jadi sangat panjang, tergantung pada sudut pandang mana yang akan kita pakai. Namun, para seniman yang berpartisipasi di pameran “Anak dan Rumah” kali ini setidaknya telah membuat definisi atas konsep tersebut dengan kreativitas masing-masing. Boleh jadi berangkat dari riwayat personal, kegelisahan sosial dan perwujudan ekspresi imajinasi yang tak biasa, tak tertebak.

iklan

Namun, definisi dalam tataran ini bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dapat ditangkap-diukur lewat potongan-potongan lain. Dibicarakan. Digali lagi dan lagi. Ataukah itu dipertautkan begitu saja dalam satu garis lurus perihal ideal anak dan rumah itu sendiri.

Pengunjung di tengah-tengah pameran instalasi “Di Meja Makan Kami” karya Rolly Davinsi. Foto: Instagram Bernard Lazar (@brnrdlzr).

Pameran seni rupa “KAHE Exhibition: Anak dan Rumah” secara garis besar memanfaatkan ruang atau kamar kosong (baca: tersembunyi) sebagai locus unjuk karya. Setidaknya ada lima seniman yang bermain-main dengan ruang tersebut.

Rolly Davinsi berusaha memanfaatkan setiap bentangan ruang kosong dengan instalasi karya fotografi juga perkakas-perkakas yang lazim ditemui pada sebuah ruang makan dalam rumah.

Oan Wutun dan Black Finit saling berbagi instalasi dalam kamar lainnya. Yang mana yang satu tampil dengan lukisan tanpa banyak warna, di dalamnya karya sastra puisi tertangkupkan, sementara yang lainnya menonjolkan permainan gambar banyak bentuk, baik warna maupun polanya.

Sepintas kilas, dari konteks sajiannya, ada semacam tabrakan yang dimunculkan. Lukisan “datar” melawan gaya yang “berantakan”; juga penempatan (positioning) yang teratur berperkara dengan statement yang menyibukkan mata juga kepala.

Rongga lainnya dihuni oleh karya-karya Christyan AS yang memberi judul pamerannya “A(E)FEKSI”. Christyan menaruh fokus pada sudut ruangan dan meletakkan segala hal di sana. Ada meja belajar, catatan-catatan yang tercecer, dan tempelan lukisan-lukisan dia yang mendapat porsi pencahayaan cukup kuat. Sementara di sebelah Christyan, Qikan Nong Goa dengan judul “A HOPE” menampilkan gantungan boneka-boneka kain kecil berbalutkan cahaya merah yang buram juga suram.

Menikmati karya “A(E)FEKSI” karya Christyan AS

Adapun pada bagian tengah dari keseluruhan ruang pameran, karya lukis “Orang Rumah” milik Mando Soriano terpacak pada dinding. Seperti menjadi penunjuk arah untuk karya-karya yang tersembunyi tadi dan membentuk jembatan penghubung antara ruang yang satu dan lainnya.

Hanya saja, seni atau kesenian tak berpatok pada baik atau buruk, teratur atau semrawut, mudah dibaca atau bikin pusing isi kepala. Para seniman tentu saja membawa dan mungkin menyimpan sesuatu di dalam diri mereka yang kemudian dilihat dalam perspektif penikmat yang datang dengan ukuran yang berbeda-beda pula.

Ukuran, kita tahu, bisa datang dari teks dan konteks. Dari realitas dan imajinasi. Dari pengalaman buruk sampai orgasme spiritual. Dari kecelakaan kecil di jalanan sampai dapat kupon undian akibat membeli mainan tertentu.

“Rumah Makan Kami” karya Rolly Davinsi mengusung pesan soal meja makan sebagai pusat kehidupan sebuah rumah dan keluarga. Di meja makan, cerita antarmanusia bisa terajut serentak hadirkan peneguhan-peneguhan. Makanya, properti yang disuguhkan berupa piring, gelas dan meja makan sudah barang tentu merujuk pada kondisi sebuah ruang makan dalam pengertian konvensional.

Namun, menariknya, di antara seliweran barang-barang itu ada juga bingkai-bingkai karya fotografi. Yang kebanyakan memberi porsi besar atas sosok anak-anak dengan varian ruang lingkup pergerakan mereka.

Keberadaan properti ruang makan dan foto-foto termaksud merupakan dua perkara berbeda tapi saling mengisi. Ruang makan dengan kondisi-kondisinya memungkinkan lahirnya anak-anak dengan beragam karakter. Atau sebaliknya, anak-anak sebagai identitas yang bergerak bebas butuh “pendampingan” lebih lanjut yang terjadi di ruang makan itu sendiri.

Pada aspek lain, membaca “Rumah Makan Kami” memang butuh pemahaman terhadap detail. Sebab, di dalamnya kita akan temukan jarum jam yang berputar dengan arah berlawanan, serakan daun kering, kursi yang ditempatkan terbalik, tong sampah dan beberapa percobaan desain untuk membentuk aura dulu tentang rumah dan keluarga.

Sang seniman barangkali sedang mencibir bahwa ruang makan atau model keluarga masa lalu tak lagi ditemukan saat sekarang. Ideal-ideal itu seperti berguguran dan menjadi sampah dan sudah diputarbalikkan. Dan yang ditemukan hanyalah kenangan-kenangannya saja.

Sementara itu, karya-karya Black Finit menunjukkan bahwa anak dan rumah adalah hal yang fleksibel, bergerak bebas dan bisa diciptakan sendiri oleh masing-masing orang. Gambar-gambarnya yang kelihatan simpel, tapi sebetulnya rumit karena menggunakan teknik penggambaran satu dimensi, sepertinya mematahkan anggapan bahwa anak dan rumah harus jadi begini atau begitu.

Poin ini tampak kian kuat dengan adanya berbagai macam eksperimen terkait medium juga alat-alat menggambar. Dia menggunakan pensil, arang, kapur, uang koin, dan memanfaatkan kanvas, kertas juga tembok. Ada banyak warna dan bentuk yang terlihat dan menyerupai suatu instalasi dengan karakter khas.

Gambar yang satu bisa ada pada gambar lainnya, atau gabungan dua gambar dapat mewujud pada satu gambar lainnya, atau potongan gambar ini bisa ditempelkan pada gambar itu demi keterciptaan gambar tertentu.

Dalam pengertian lain, kita bisa mengangkat tempel gambar-gambar tersebut, bila diizinkan senimannya tentu saja, dengan leluasa untuk membentuk apa yang kita kehendaki. Bagi sang seniman, konsep anak dan rumah sesungguhnya merupakan putusan bebas pikiran manusia, sebagaimana dijelaskan di atas, tergantung pada sudut pandang mana yang kita pakai.

Lukisan lainnya dari Oan Wutun mengambil hal-hal keseharian dalam hidup manusia. Oan, misalnya, bermain-main dengan payung, rumah, pohon, balon, sosok ibu dan anak, dan direspons langsung oleh puisi-puisi yang ada di dalam karyanya. Tapi, dia tak serta merta secara realis mewujudkan kenyataan-kenyataan itu dan malah punya kecenderungan mengaduk-aduk imajinasi para penikmat.

Melihat karya-karya dia, pertanyaan-pertanyaan seperti kenapa payung harus digambar untuk melindungi rumah, atau bisakah perahu  ada di langit luas, atau mengapa balonnya harus berwarna hijau, bisa saja muncul dan mengganggu pikiran kita.

Perspektif anak dan rumah dari lukisan-lukisan Oan menunjukkan kehidupan alam maharaya ini. Rumah bisa jadi adalah bumi itu sendiri. Anak yang bahagia mungkin anak yang bermain balon berwarna hijau dan bukannya memegang gadget atau menonton televisi. Sementara kehidupan, suatu saat nanti, barangkali terancang untuk menerbangkan perahu.

Temuan-temuan itu tampak menggelisahkan, tapi kita kemudian ditopang oleh puisi-puisi tadi untuk hadirkan tanggapan. Puisi dan lukisan dalam instalasi ini bukanlah dua paradigma berbeda melainkan dibaca sebagai satu kesatuan. Bisa membuat pemaknaan jadi lebih nyaman ataukan malah membikin runyam.

Selanjutnya, instalasi “A(E)FEKSI” Chrystian AS sekali lagi tak terlalu banyak mengeksplorasi ruangan dan hanya memanfaatkan bagian sudutnya saja. Namun, ada kepadatan yang terjadi di situ. Seolah-olah dia tak mau menyia-nyiakan kesempatan mengolah ruang dan menajamkan pelbagai pernyataan dia.

Kehadiran meja dengan pernak-perniknya boleh jadi merupakan ruang yang lain di mana ide-ide berkelindan dan produk-produk kebudayaan diolah. Manusia bisa membaca, menulis, melukis, ataupun sekadar merenung di sana. Ada juga proses pertumbuhkembangan seorang anak manusia yang belajar merumuskan cita-cita. Artinya, anak dan rumah mengandung peristiwa penempaan juga pergumulan-pergumulan kecil sebagai bentuk penemuan diri (baca: refleksi) terus-menerus.

Sang seniman dapat dikatakan melihat rumah dalam porsinya yang paling kecil. Bahwa sebelum membincangkan atau menyelesaikan hal-hal yang besar, manusia memang semestinya mengurus perkara-perkara sederhana terlebih dahulu. Bahwa di balik lukisan-lukisan yang bersinar cerah, sejatinya ada medium kerja yang muram, berantakan dan penuh  coretan sana-sini.

Ruangan paling ujung diisi oleh karya Qikan Nong Goa berjudul “A HOPE”. Sebagai padanan kata, “A HOPE” merupakan sesuatu yang netral. Tapi, penempatan boneka-boneka yang menggantung dengan tekstur cahaya merah remang-remang memberi penegasan untuk beberapa hal.

Rumah (ruang) dapat menjadi medan pertarungan harapan-harapan baik. Di situ mimpi dibunuh ataupun dibiarkan tak terurus seperti mengawang-awang dan tak punya titik pijak. Rumah tampil layaknya medan horor yang tak memberikan rasa tenang. Atau, meskipun ia kelihatan tenang-tenang saja, barangkali terciprat dendam serta kemarahan yang dipendam.

Mural di depan Studio Pameran bersama Komunitas Huruf Kecil pimpinan Qikan Nong Goa.

“A HOPE” dapat ditatap sebagai sisi pudar kehidupan itu sendiri. Tapi, dia bukanlah negasi. Dia semacam pesimisme atas kemapanan-kemapanan berpikir soal anak dan rumah yang dipahami selama ini. Bila instalasi lainnya merespons tema “Anak dan Rumah” dengan membuat penegasan ataupun pertentangan, karya ini malah mempertanyakan ulang konsep tersebut. Kenapa harus anak dan rumah? Seperti apakah anak dan rumah itu?

Satu karya terakhir yang dipajangkan di “KAHE Exhibition” adalah “Orang Rumah” milik Mando Soriano. Berdiri bebas di ruang terbuka dan di tengah-tengah pameran, “Orang Rumah” dapat menjadi pintu masuk bagi para penikmat untuk menengok karya-karya lainnya yang berada di dalam ruangan.

Adanya beberapa gambar berupa situasi tradisional rumah dan keluarga membuat kita melihat dan mengenang kembali masa lalu. Ada kehidupan kampung juga cerita masa kecil. Ada awasan beriringan dengan nasihat sebagaimana hal-hal yang dialami seorang anak pada umumnya.

Dalam konteks pameran, “Orang Rumah” yang tampil tanpa punya variasi macam-macam boleh jadi menyuguhkan pesan bahwa hidup memang begini adanya. Tak usah dibikin tafsir yang rumit-rumit. Cukup dipahami dan direnungkan saja lewat kata-kata ilustrasi yang dituliskan di dalamnya.

Dan sebagai saluran penghubung bagi labirin-labirin lain, karya ini menunjukkan bahwa untuk menelisik masuk ke dalam pemahaman mengenai anak dan rumah dengan seabrek kompleksitasnya, kita sepatutnya paham dulu hal-hal lahiriah berkenaan dengan itu. Bahwa sebelum membuat interpretasi, manusia harus mengerti dulu perkara-perkara hidup yang biasa.

Pada akhirnya, “Anak dan Rumah” memang bukanlah hitam atau putih, baik atau buruk, bagus atau jelek, melainkan membuka pertanyaan juga temuan-temuan. Masing-masing orang tentu saja mencarinya sesuai dengan ukuran yang ada dalam tempurung kepala mereka.

Dan di dalam “KAHE Exhibiton: Anak dan Rumah” ini, kita barangkali menemukan rumah yang lain ataupun mendapati kembali rumah kita yang dulu. Kita bisa pula membikin anak baru ataupun menemukan anak juga impian dalam bayang-bayang masa lalu, kini dan akan datang.

Pada satu sisi, kita bisa terjebak. Sisi lainnya, kita menebak-nebak.

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA