Perjuangkan Hak Tanah Ulayat, Masyarakat Adat Suku Tukan Temui Menteri ATR/Kepala BPN

Jakarta, Ekorantt.com – Setelah sekian lama berjuang mendapatkan kembali hak ulayatnya atas tanah bekas Hak Guna Usaha (HGU) PT Rero Lara Hokeng, masyarakat adat Suku Tukan akhirnya menemui Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Sofyan A. Djalil di Kantor Kementerian di Jakarta pada Kamis (26/9/2019).

Masyarakat adat Suku Tukan berdiam di Kampung Sukutukang, Desa Pululere, Kecamatan Wulangitang, Kabupaten Flores Timur.

Sejak 1948, mereka telah berjuang merebut kembali tanah ulayat mereka yang telah dijadikan lahan perkebunan dengan status HGU.

Dalam pertemuan tersebut, Sofyan Djalil didampingi oleh Direktur Jenderal Hubungan Hukum Keagrariaan Suyus Windayana dan Direktur Jendral Penanganan Masalah Keagrariaan dan Pemanfaatan Ruang dan Tanah RB. Agus Wijayanto.

Sementara itu, warga Sukutukan yang diutus untuk menemui Menteri ATR adalah Andreas Rebo Tukan, Agustinus Timu Tukan, Frans X. Sura, Vincentius Kaidja Tukan, dan Filibertus Kurniawan Tukan.

iklan

Lima warga Sukutukan tersebut didampingi oleh aktivis senior, Direktur BaPikir, Anton Johanis Bala dan salah satu Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Sinung Karto, serta pegiat Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA).

Sebelum pertemuan, warga Komunitas Adat Sukutukan telah terlebih dahulu menyurati Kementerian ATR/BPN.

Dalam pertemuan tersebut, utusan masyarakat adat Sukutukan menyampaikan aspirasi mereka terkaitan konflik pemanfaatan lahan eks HGU PT Rero Lara-Hokeng.

Kepada Menteri ATR, Andreas Rebo Tukan menyampaikan tiga tuntutan sebagai berikut.

Pertama, menunda/menghentikan proses izin pembaharuan Hak Guna Usaha atau Hak-hak lainnya berdasarkan UUPA 5/60 atas nama PT Rero Lara Larantuka dan/atau atas nama pihak lain terhadap tanah bekas HGU De Romsh Katolieek Missie De Klene Soendaeilanden sertifikat No. 1/Hokeng dan atas nama PT Rero Lara – Larantuka Sertifikat No. 1/Pululera sampai dengan adanya proses penyelesaian sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku tersebut di atas.

Kedua, mengeluarkan lahan seluas ± 60 Ha yang telah dikuasai masyarakat adat Suku Tukan sejak tahun 1998 dari rencana pembaharuan HGU atas nama PT Rero Lara Larantuka, untuk selanjutnya diterbitkan sertifikat hak milik komunal atas nama masyarakat adat Suku Tukan.

Ketiga, melakukan rekontruksi (penataan ulang peruntukan) secara partisipatif dan transparan untuk kepentingan publik pemerintahan, kepentingan publik keagamaan, kepentingan masyarakat adat Suku Tukan terhadap Tanah bekas HGU PT Rero Lara Larantuka seluas 118,9570 Ha (berasal dari 288,9570 Ha tanah bekas HGU PT. Rero Lara Larantuka kurang (-) 110 Ha yang disetujui masyarakat adat Suku Tukan, kurang (-) 60 Ha yang sudah dikuasai masyarakat adat Suku Tukan sama dengan (=) 118,9570 ha).

Tanah bekas HGU De Romsh Katholieek Missie De Klene Soendaeilanden (1970-1980) saat ini tercatat sebagai “kepentingan masyarakat dan Dinas Perkebunan” seluas 205,8410 Ha, tetapi secara de facto dikuasasi misi Katolik.

Untuk melaksanakan tuntutan ini, perlu dibentuk panitia khusus dengan dasar hukum Surat Keputusan Bupati Flores Timur beserta anggaran pelaksanaannya.

Frans X. Sura, salah satu anggota masyarakat adat Suku Tukan, menambahkan bahwa Suku Tukan merupakan satu-satunya kelompok masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah seluas 638, 24 Ha tersebut sesuai dengan luas lahan HGU yang dipegang oleh De Romsh Katolieek Missie De Klene Soendaeilanden berdasarkan sertifikat Nomor 1/Hokeng 25 Juli 1970 yang berakhir pada 24 September 1980.

Itulah sebabnya mereka pernah menemui BPN pada Mei 2001 dan menolak menyetujui pembaharuan kontrak pada 2016 lalu.

“Nenek moyang kami yang menyerahkan tanah tersebut kepada perusahaan misi. Kami pun telah memperjuangkan tanah ini sejak 1948, dilanjutkan pada tahun 2001, tahun 2016 dan sampai saat ini,” tegasnya.

Tidak hanya itu, menurutnya, ada perluasan secara sepihak sehingga semula luas lahan hanya 110 Ha meningkat menjadi 638,24 Ha.

“Perluasan sepihak ini diduga dilakukan oleh perusahaan misi De Romsh Katolieek De Kleine Soendaeilanden. Selain itu, BPN juga secara sepihak memberikan izin tanpa persetujuan masyarakat adat Suku Tukan,” tambahnya.

Oleh karena itu, Frans Sura meminta Menteri ATR agar tidak memberikan izin sebelum ada pembicaraan dengan masyarakat adat Suku Tukan.

Riwayat HGU dan Peta Pemanfaatan

Perlu diketahui, pemanfaatan atas areal yang dikonflikkan bermula sejak tahun 1922.

Kala itu, terjadi kesepakatan antara Sang Tony Tukan  (Tuan Tanah Suku Tukan) dan Dua Tukan (Kepala Kampung Sukutukang) dengan Misionaris Belanda.

Isinya adalah penyerahan lahan di Hokeng Bele’en seluas 110 Ha kepada De Romsh Katolieek Missie De Klene Soendaeilanden untuk usaha perkebunan.

Kesepakatan itu disaksikan oleh anggota komunitas adat Suku Tukan dan warga kampung lainnya.

Jangka waktu kontrak adalah 75 tahun dengan perjanjian bagi hasil 75 persen untuk Misi Belanda dan 25 persen untuk masyarakat adat.

Namun, kesepakatan tersebut tak pernah dijalankan.

Informasi yang diperoleh Masyarakat Adat Suku Tukan, HGU tersebut telah mengalami beberapa kali perpanjangan kontrak, yakni pertama, sepanjang 1922-1929, kedua, tahun 1929-1947, dan ketiga, 1947-1997.

Akan tetapi, secara resmi baru diketahui tatkala keluar Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5/HGU/BPN/92 tentang Pemberian Hak Guna Usaha Atas Nama PT Rero Lara, Larantuka, Flores Timur.

Dari Keputusan Kepala BPN tersebut, masyarakat baru mengetahui bahwa luas lahan HGU De Romsh Katolieek Missie De Klene Soendaeilanden yang telah berakhir pada 1980 adalah seluas 623, 240 Ha.

Sementara itu, luas lahan untuk kontrak baru atas nama PT Rero Lara adalah 288,9570 Ha.

Artinya, terdapat perbedaan dan selisih seluas 349, 2830 Ha.

Sisa lahan tersebut lantas dibagi-bagikan secara sepihak.

Pada lahan yang dikonflikkan tersebut, sejak 1992, telah terbagi untuk beberapa pihak, yakni PT Lero Lara selaku pemegang HGU menguasai 2 areal, Dioses Larantuka menguasai 8 areal, Rencana SMAN Boru sebanyak 1 areal, Pemda Flores Timur 1 areal, Paroki 1 areal, kepentingan masyarakat dan perkebunan, serta sisanya jalan, sungai, dan lain-lain.

Sementara itu, izin HGU PT Rero Lara telah berakhir pada 31 Desember 2016 lalu.

Menteri ATR: Perpanjangan Kontrak Tidak Bisa Dilakukan

Setelah mendengarkan aspirasi masyarakat adat Suku Tukan, Menteri Sofyan A. Djalil menegaskan, perpanjangan kontrak HGU PT Rero Lara-Hokeng tidak bisa dilanjutkan.

“Izin tidak bisa diberikan bila belum ada kesepakatan dengan masyarakat adat sebagai pemilik hak asal usul. Kami juga memahami tuntutan dari masyarakat adat,” ujarnya kepada perwakilan masyarakat adat Suku Tukan.

Tidak hanya itu, Sofyan Djalil juga berkomitmen menyelesaikan persoalan ini dengan turun langsung ke lapangan untuk mempertemukan para pihak.

“Kami akan turun langsung mempertemukan para pihak agar bisa menyelesaikan persoalan ini dan melakukan redistribusi tanah,” tegasnya.

Terhadap pernyataan Menteri Sofyan, Frans Sura mengapresiasi sikap dan komitmen Menteri ATR.

Meski demikian, dirinya menegaskan, pihaknya ingin perpanjangan HGU Rero Lara hanya mencakup 110 Ha sesuai dengan luasan lahan yang telah diserahkan oleh leluhur Suku Tukan pada tahun 1922 kepada Misi Belanda.

Sementara itu, Anton Johanis Bala mengapresiasi respons Kementerian ATR.

Menurutnya, ini merupakan kesempatan langka di mana masyarakat bisa bertemu langsung dengan menteri dan didampingi oleh dua Dirjen yang berkaitan langsung dengan persoalan di lapangan.

Selain itu, John Bala menilai, menteri sangat respek bahkan mengambil inisiatif untuk menyelesaikan persoalan, termasuk menanyakan kebutuhan masyarakat adat terkait lahan.

Selain itu, Beliau sempat menanyakan nomor Bupati Flores Timur dan Uskup Larantuka untuk berkomunikasi langsung dan menanyakan sikap mereka terkait lahan tersebut.

“Ada optimisme bahwa 60 Ha yang dikuasai itu akan dikeluarkan dari HGU karena sudah melampaui 60 tahun. Sisanya yang akan direkonstruksi,” tandas John.

Sisa yang akan direkonstruksi adalah lahan seluas 110 Ha yang sebelumnya diberikan HGU kepada PT Rero Lara, lahan seluas kurang lebih 205 Ha yang diperuntukkan bagi masyarakat dan Dinas Perkebunan, tetapi secara de facto dikuasasi misi, dan lahan seluas 33 Ha yang sebelumnya diperuntukkan bagi Pemda Flores Timur.

“Kami ingin memperjuangkan agar lahan-lahan yang belum jelas status hukumnya direkonstruksi dan diberikan hak baik itu HGU, hak milik, hak pakai maupun Hak Guna Bangunan (HGB),” tandasnya.

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA