Persoalan Agraria dan Korupsi di Flores

Oleh Emilianus Yakob Sese Tolo*

Sebagai bagian dari bangsa Astronesia, masyarakat Flores tidak mengenal konsep tuan tanah, kecuali penjaga tanah (land guardian) yang tidak berhak mengklaim tanah suku sebagai milik pribadi.

Namun, setelah kolonialisme berakhir, para golongan aristokrat tradisional (mosalaki) di Flores mulai mengklaim diri sebagai tuan tanah (land lord) yang berhak memiliki kekuasaan atas tanah yang luas.

Di bawah pengaruh kolonialisme, pada tahun 1930an, misalnya, “Flores […] yang tidak terkena hukum “hak pribadi atas tanah” pada dasarnya dikuasai oleh para tuan tanah yang tidak lain adalah “raja-raja” lokal.”

Para tuan tanah di Flores ini – di bawah pengaruh penetrasi kapitalisme– terus mereproduksi kekuasaan mereka di pelbagai institusi modern yang penting di Flores hari ini.

iklan

Alhasil, para tuan tanah dan keluarganya sudah bertransformasi menjadi birokrat, politisi, dan pemimpin dalam Gereja Katolik, yang kerap tersandung kasus-kasus korupsi hari ini.

Persoalan Agraria

Pekerjaan dominan di Flores hari ini adalah bertani.

Pada 2013, penduduk Flores yang aktif bekerja di sektor pertanian sebanyak 415.433 orang.

Dalam waktu lima tahun, jumlah petani Flores ini hanya meningkat sedikit menjadi 460.820 orang di tahun 2018.

Namun, dari jumlah ini, pada tahun 2013, terdapat 112.384 petani gurem (termasuk petani bertanah kecil atau tak bertanah), yang meningkat menjadi 134.004 pada tahun 2018, yang berarti bahwa petani gurem selama lima tahun terakhir bertambah 2%.

Tentu, petani gurem di Flores akan terus bertambah dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya penetrasi kapitalisme ke wilayah pedesaan di Flores hari ini.

Di persawahan Mbay, misalnya, akibat penetrasi kapitalisme hari ini, surplus pertanian mulai terkonsentrasi pada petani kaya dan, bahkan, tanah dikuasai oleh petani kaya, termasuk para petani sayur yang berasal dari Bima.

Konsentrasi tanah pada golongan tuan tanah telah membawa dua implikasi.

Pertama, jumlah tuna kisma meningkat, yang terpaksa bekerja sebagai penggarap dan buruh tani untuk dapat mereproduksi diri dan keluarganya secara subsisten.

Kedua, banyak petani di Flores yang memutuskan untuk merantau sebagai buruh migran ke Malaysia.

Di dua dekade pertama abad ke-21, NTT setiap tahun mengirim sekitar 200.000-400.000 orang ke luar negeri baik secara legal maupun ilegal.

Banyak dari orang-orang yang bekerja di luar negeri ini berasal dari keluarga petani gurem yang memiliki pendidikan formal yang rendah dan, karena itu, mereka tidak memiliki keterampilan yang memadai dan harus bekerja di sektor-sektor produksi di luar negeri yang berbahaya, seperti di sektor konstruksi dan pertanian, khususnya di perkebunan kelapa sawit di Malaysia.

Alhasil, banyak dari pekerja migran asal NTT di luar negeri ini yang meninggal dunia.

Berdasarkan data, pengiriman mayat dari luar negeri ke NTT terus meningkat, yakni dari 27 mayat tahun 2014 menjadi 107 mayat di tahun 2018.

Dari tahun 2014-2018, NTT sudah menerima 268 peti mayat TKI asal NTT dari luar negeri.

Di tahun 2019, hingga pertengahan September, NTT sudah menerima sekitar 85 mayat dari luar negeri.

Korupsi di Flores

Kondisi ketimpangan agraria di Flores di atas telah membuka peluang lebih besar bagi kalangan aristokrat tradisional untuk melakukan mobilitas kelas sosial.

Karena dewasa ini, tanah tidak lagi menjadi satu-satunya sumber ekonomi dan politik seperti di masa lalu, maka para golongan aristokrat tradisional yang berkuasa di Flores hari ini melihat institusi politik, birokrasi, dan Gereja Katolik sebagai “sumber ekonomi dan politik baru” agar bisa terus mereproduksi kekuasaannya.

Penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi merupakan hal lazim di institusi birokrasi dan politik di Flores.

Sekitar 97% dana APBD di Flores yang digelontorkan oleh pemerintah pusat menjadi sumber daya ekonomi yang “diperebutkan” oleh para birokrat dan politisi.

Dana desa sering dikorupsi oleh kepala desa di Flores.

Contoh lain adalah korupsi dalam sektor infrastruktur, yang mana para politisi dan birokrat senior meminta 10% dari total nilai satu proyek infrastruktur dari para kontraktor.

Di Flores, lembaga yudikatif juga tak luput dari praktik korupsi infrastruktur.

Seorang kepala dinas pekerjaan umum (PU) di salah satu kabupaten di Manggarai dipenjara di Kupang akibat terjerat kasus korupsi.

Alasan terjeratnya kepala dinas PU ini tak terlepas dari intervensi lembaga yudikatif di Flores.

Tentang terjeratnya kepala dinas PU ini, seorang responden menjelaskan demikian:

“Jaksa meminta tiga proyek, tetapi dia hanya memberikan satu proyek sesuai dengan arahan bupati. Selang sebulan, kasus korupsi lamanya diangkat, dia pun diciduk, dan dipenjara satu tahun lebih di Kupang. Artinya, jika dia masih layani permintaan oknum jaksa bersangkutan, berarti kasus korupsinya yang lama tidak diproses.”

Gereja Katolik juga tak jarang tersandung kasus korupsi.

Korupsi yang paling tenar yang pernah dilakukan oleh Gereja Katolik di Flores baru-baru ini dilakukan oleh Uskup Hubertus Leteng, yang menilep dana Keuskupan Manggarai sebesar Rp1,6 miliar.

Tentang hal ini, Charles Beraf, seorang pastor Katolik dari serikat religius Serikat Sabda Allah (SVD), menulis bahwa uskup Hubertus Leteng “telah menyalahgunakan dana Gereja Katolik lokal di Keuskupan Ruteng untuk membiayai studi seorang anak yang dituduhkan sebagai hasil dari perselingkuhannya dengan seorang ibu di Ruteng.”

Selain itu, hari ini, Gereja Katolik di Flores menjadi seperti Gereja pembangunan (developmental church).

Gereja pembangunan – seperti halnya Negara pembangunan (developmental state) – yang mengurus dan mengolah uang dalam jumlah besar, yang sering sibuk dengan pelbagai proyek pembangunan – seperti pembangunan gedung Gereja megah di tengah kemiskinan masyarakat Flores hari ini – cenderung terjebak dalam praktik-praktik koruptif, yang merugikan umat (massa rakyat). 

Namun, korupsi dalam tubuh Gereja Katolik sulit disingkap.

Sebab, Gereja Katolik adalah salah satu institusi berpengaruh secara ekonomi politik di Flores.

Apalagi, Gereja Katolik mengelola dana-dana non-pemerintah, yang tidak menjadi fokus pekerjaan aparatus Negara dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Mewabahnya korupsi di Flores terefleksi dalam data korupsi beberapa tahun terakhir.

Pada 2007, kota Maumere di Flores pernah menjadi kota terkorup di Indonesia.

Sementara itu, berdasarkan survei Indonesian Corruption Watch 2015, Provinsi NTT merupakan provinsi terkorup kedua di Indonesia setelah Sumatra Utara.

Pada 2018, Indonesia Corruption Watch melaporkan 19 kasus korupsi dan suap di NTT dengan kerugian Negara Rp10,7 miliar.

Reforma Agraria

Secara ekonomi politik, fakta korupsi di Flores dilakukan oleh golongan-golongan aristokrat tradisional yang hari ini menguasai institusi birokrasi, politik, dan Gereja Katolik.

Korupsi yang dilakukan oleh golongan aristokrat tradisional ini sulit diendus.

Sebab, golongan inilah yang menguasai sumber daya ekonomi – terutama tanah – di Flores hari ini.

Dengan kekuasaan ekonomi dan politik yang besar, mereka bisa berkelit untuk terlepas dari kontrol publik dan jerat hukum.

 Sementara itu, masyarakat miskin di Flores tidak menantang tindakan koruptif para aristokrat tradisional ini akibat kemiskinan dan politik patron-klien.

Kemiskinan membuat mereka tidak bisa mengakses pendidikan dan, karena itu, tidak sadar akan hak-hak mereka.

Apalagi, organisasi politik akar rumput di Flores sudah mati sejak lama, terutama pasca pembantaian 1965.

Politik patron-klien – misalnya antara penduduk desa dan seorang kepala desa yang adalah tuan tanah di pedesaan – membuat mereka enggan bersikap kritis.

Bersikap kritis dapat berimplikasi negatif berupa hilangnya sumber daya ekonomi untuk sekedar bersubsistensi.

Akibatnya, korupsi di Flores menjadi lumrah, tak terdeteksi, dan sulit dikontrol.

Penguatan kerja lembaga KPK – yang hari ini sedang dilemahkan oleh negara – di Flores dan pemberian penyadaran kritis kepada masyarakat memang patut dilakukan di Flores hari ini.

Hanya saja, hemat saya, upaya yang bersifat teknis dan jangka pendek ini harus diikuti oleh upaya perombakan struktur agraria di Flores yang bersifat ekonomi politik dan jangka panjang, yang merupakan akar persoalan korupsi di Flores hari ini.

Reforma agraria di Flores sejatinya tidak harus menjadi persoalan yang rumit.

Sebab, seperti yang ditegaskan di awal tulisan ini, di Flores seharusnya tidak terdapat tuan tanah melainkan penjaga tanah yang tidak serta merta mengklaim tanah suku milik seluruh  anggota suku sebagai tanah pribadi.

Apalagi, selain tanah-tanah yang dikuasai oleh pemerintah dan Gereja Katolik dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) yang bisa dijadikan objek reforma agraria, hingga hari ini masih banyak tanah suku di Flores yang belum dibagi, yang bisa menjadi objek reforma agraria di Flores.

*Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores, NTT

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA