Maumere, Ekorantt.com – Naluri kemanusiaan saya langsung tersentak manakala mengunjungi gubuk mama Luspina Sana. Janda berusia 78 tahun ini hidup sebatang kara dicerai mati suaminya Yosef Lawe enam tahun lalu.
Hari-hari hidup suami istri ini sebelumnya adalah penjaga kuburan Islam Wolomarang. Sejak suaminya meninggal, Mama Sana terpaksa tak mampu menjalani pekerjaan membersihkan kuburan.
Ia hanya tetap terus tinggal di gubuk reot peninggalan suaminya yang didirikan di atas tanah pekuburan. Gubuk berukuran 2×3 meter ini beratapkan seng bekas dan berdinding bambu cincang.
Langit-langit gubuk penuh sarang laba-laba. Atap seng bagian dalam hitam pekat akibat masak menggunakan kayu api. Setiap malam Mama Sana hanya mengandalkan lampu pelita.
Hidup tanpa suami membuat hidupnya bertambah melarat. Beruntung pihak pengelola kuburan Islam Wolomarang tak sampai hati menyuruhnya pergi.
Ia setia menjalani hari-hari hidupnya dalam kemelaratan. Ketika mengunjungi gubuknya pada 17 Oktober lalu, saya didampingi Maria Laju anggota Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI). Ikut bersama kami ada Martinus Rao dan Andika.
Mama Sana beralamat di RT/RW-Kelurahan Wolomarang. Kepada kami Mama Sana mengungkapkan ia sangat susah sejak awal kehidupan perkawinan mereka.
“Setiap hari saya bersama suami kerja apa saja yang penting bisa mendatangkan uang dan bisa beli beras. Kami tidak punya anak jadi ketika bapak meninggal saya semakin menderita”, ujar Mama Sana.
Getirnya hidup Mama Sana membuatnya hanya berharap padab elaskasiha dari sesama. Jalannya saja tertatih-tatih. Pendengarannya sudah tidak bagus lagi.
Dia hanya berada di rumah dan menggantungkan hidupnya dari sebatang pohon mete yang tumbuh di depan gubuknya. Dari pohon mete itulah ia mendapatkan rejeki dari sekilo dua kilo dari biji mete yang ditimbangnya.
“Baru-baru ini saya pilih biji mete dan menimbangnya dan dapat uang Rp 300 ribu tetapi ketika bangun dari tidur siang, uang tidak ada lagi. Orang curi itu. Ceritanya sambil berurai air mata.
Suster Regina dari Kongregasi Abdi Roh Kudus Waidoko Maumere yang hari itu berkunjung mengemukakan setiap hari para suster setia mengantarkan makanan untuk Mama Sana.
“Kami sudah setahun ini mengantarkan makanan dan minuman untuk Mama Sana. Kami igin membawanya tinggal di biara tapi ia menolak. Rumah biara kami adalah rumah formasi untuk pendidikan para calon suster, jadi agak sulit juga kalau Mama Sana tinggal di sana. Jadi kami membawakan saja makan dan minuman untuknya setiap hari”, ujar Suster Regina.
Suster Regina menambahkan pernah ada bantuan dari komunitas Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) berupa beras, minyak dan sabun tetapi bantuan itu juga dicuri orang tak dikenal.
Mama Suebang tetangga dekat Mama Sana yang rumahnya di luar pagar pekuburan mengaku prihatin akan kehidupan Mama Sana.
“Tak satu pun keluarga yang datang mengunjungi dia. Hidup sebatang kara apalagi jalannya sudah sempoyongan. Kasian tidak orang yang temani dia paling hanya para Suster yang datang. Saya sering antar dia air dan berkunjung sebentar lalu pulang,” kata Mama Suebang.
Yuven Fernandez