Pada bulan Agustus 2019 lalu, EKORA NTT turunkan berita “Sopir Gugat Baba Toko Agung Maumere” (baca di sini).
Antonius, sang sopir, menggugat Baba Amung, pemilik Toko Agung, karena dia tidak mendapatkan uang pesangon alias Uang Penggantian Hak (UPH) paska dirinya mengundurkan diri pada Januari 2019 lalu.
Hingga kini, kasus di atas belum diselesaikan.
Dinas Nakertrans Kabupaten Sikka berdalih, pemerintah belum bisa melakukan mediasi karena Antonius tidak membuat surat aduan tertulis.
Sekarang, muncul lagi kasus serupa. Dengan modus yang berbeda.
Seorang karyawan Toko Go Maumere bernama Nus melawan tindakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diduga dilakukan secara sepihak oleh Baba Suwarno Goni, pemilik Toko Go Maumere.
Nus menunjukkan perlawanannya dengan cara melaporkan kasus tersebut ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) Kabupaten Sikka.
Berbeda dengan kasus Antonius versus Baba Amung, terjadi perselisihan pendapat antara Nus selaku pekerja dan Baba Goni selaku pemberi kerja atau pengusaha tentang status PHK Nus.
Di satu sisi, Nus bersikeras mengatakan bahwa dia di-PHK secara sepihak oleh Baba Goni pada pada tanggal 2 Juli 2019.
Sebagai pekerja, dia menuntut hak-haknya berdasarkan Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan.
Di lain sisi, Baba Goni juga keukeuh mengatakan bahwa dia tidak pernah mem-PHK Nus, melainkan Nus sendirilah yang mengajukan pengunduran diri.
Sebagai pengusaha, dia tidak punya kewajiban apa pun untuk memenuhi hak-hak Nus.
Perselisihan hubungan industrial (PHI) pun tak terelakkan.
Berbeda dengan kasus Antonius vs Baba Amung, kasus PHI antara Nus vs Baba Goni sudah melewati tahapan mediasi.
Mediasi difasilitasi oleh Dinas Nakertrans Sikka.
Dari tiga (3) surat panggilan untuk mediasi yang dilayangkan Nakertrans Sikka, hanya satu kali saja pimpinan Toko Go Maumere duduk semeja dengan Nus dan Nakertrans sebagai mediator.
Satu kali mangkir, sedangkan sekali lainnya hanya ditanggapi melalui sepucuk surat tanggapan.
Akan tetapi, mediasi tetap gagal menemui kata sepakat karena baik Nus maupun Baba Goni tetap mempertahankan pendapatnya masing-masing.
Nus tetap menuntut hak, sedangkan Baba Goni tetap tidak mau memenuhi hak Nus.
Dari perspektif hukum, menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial atau UU No. 2/2004, karena mediasi atau konsiliasi tidak mencapai kesepakatan, maka atau Nus atau Baba Goni dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial (Pasal 1 Ayat (17)).
Sikap kami adalah mengapresiasi dan mendukung langkah berani Nus memperjuangkan hak-haknya sebagai pekerja.
Keberanian Nus ibarat pelita kecil di tengah lorong gelap ketakutan juncto ketidaktahuan para pekerja di Maumere memperjuangkan hak-haknya.
Sama seperti kasus Antonius vs Baba Amung, dukungan kami terhadap Nus berdasarkan argumen dari tradisi sosialisme berikut (baca juga di sini).
Kaum sosialistis sangat menekankan perbedaan atau diferensiasi kelas sosial di tengah masyarakat.
Misalnya, dalam masyarakat Industri di Inggris semasa Marx (sekitar akhir abad ke-XVIII), terdapat pertentangan kelas antara kapitalis dan proletar.
Kapitalis adalah pemilik alat-alat produksi, sedangkan proletar tidak punya alat produksi.
Kaum proletar harus menjual tenaga kerjanya kepada kapitalis untuk mendapatkan upah.
Profit kapitalis diperoleh dengan cara menghisap nilai lebih dari tenaga kerja proletar.
Dalam kasus Nus vs Baba Goni, sang pemilik alat produksi atau kapitalis adalah Baba Goni, sedangkan si proletar adalah Nus.
Untuk bisa bertahan hidup, Nus jual tenaga kerjanya dengan menjadi pekerja di Toko Go Maumere.
Nus lantas mendapat upah atas jasa tenaga kerjanya itu.
Akan tetapi, Toko Go Maumere didirikan untuk mendulang laba atau profit.
Profit Toko Go Maumere diperoleh dari selisih antara pendapatan kotor dan biaya produksi.
Upah Nus termasuk ke dalam item biaya produksi.
Semakin upah Nus ditekan serendah mungkin, semakin besar pendapatan kotor dan laba bersih Toko Go Maumere.
Dengan perkataan lain, Toko Go Maumere meraup profit dengan menghisap nilai lebih dari tenaga Nus.
Nilai lebih dihitung dari selisih antara jumlah tenaga kerja yang dikeluarkan Nus dan upah yang diterimanya.
Sepanjang Juni 2017 – Juli 2019, Nus di-upah Rp950 Ribu – Rp1.500.000,00 per/bulan. Tidak mencapai UMP NTT 2019 sebesar Rp1.795.000,00.
Selama dua tahun, dia melakukan banyak pekerjaan di Klinik Go, Toko Go, Go Hotel, Ramayana Motor, dan Perusahaan Wailiti.
Nilai lebih di atas, yakni selisih antara upah sesungguhnya yang mesti diterima Nus berdasarkan jumlah jam kerja dalam sehari (8 jam sehari) dan upah riil yang diterimanya, kemudian di-akumulasi, di-konsentrasi, dan di-sentralisasi menjadi harta karun Toko Go Maumere.
Akumulasi kekayaan Toko Go Maumere terjadi melalui praktik perampasan (accumulation by dispossession) nilai lebih Nus.
Dengan corak relasi produksi seperti ini, maka wajar jika Toko Go Maumere menjadi semakin kaya dan Nus menjadi semakin miskin.
Menurut perspektif sosialistis, keadilan digapai manakala setiap orang sanggup memenuhi kebutuhannya.
Prinsip mereka yang terkenal dari Karl Marx adalah “from each according to his ability, to each according to his needs” atau “dari setiap orang menurut kemampuannya, kepada setiap orang menurut kebutuhannya” (K. Bertens, 2000, p. 99).
Apakah Nus sudah diperlakukan adil “sesuai kemampuan dan kebutuhannya”?