Urgensi GDN di Tengah Wabah Covid-19

Oleh: Bernardus Tube Beding*

Kita semua tahu dan mengalami bersama bahwa penyebaran wabah virus korona telah menjadi salah satu ancaman global. Bahkan, efeknya telah menjadi tekanan publik bagi hampir sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik.

Tentu, pertanyaan klasik yang muncul dari benak kita, yakni “Bagaimana kita semua dapat menghadapi situasi sulit ini?” Menurut saya, jawabannya senada dengan Dimas Oky Nugroho bahwa kuncinya pada kemampuan para pemimpin dalam memberikan kesadaran dan membangun optimisme, serta mengarahkan militansi warganya, khususnya kaum muda, untuk berperan di masa-masa krisis.

Namun, pasti muncul pertanyaan lanjut, “Seperti apa sikap memberikan kesadaran dan membangun optimisme oleh pemerintah kepada masyarakatnya?”

Salah satu jawaban atas pertanyaan lanjutan tersebut, sekaligus sebagai alternatif solusi, yakni Gerakan Disiplin Nasional (GDN). Tentang GDN, saya ‘menjemput’ kembali ingatan kita akan amanat Presiden Soeharto tentang Gerakan Disiplin Nasional dalam pidatonya tanggal 20 Mei 1995.

iklan

Saat itu, langkah awal yang ditempuh melalui tiga entry point, yaitu budaya tertib, budaya bersih, dan budaya kerja. Budaya tertib memberi tekanan pada pola prilaku antri termasuk antri lalu lintas, antri menerima bantuan, dan lain sebagainya. Budaya bersih meliputi kebersihan lingkungan dan juga a clean government. Budaya kerja berorientasi pada proses dan produk akhir yang bermutu.

Secara mikro, tentu setiap wilayah regional menerjemahkan GDN dengan bercermin pada budaya dan sistem sosial setempat. Misalnya, regional NTT menambah budaya malu dan budaya cinta lingkungan. Budaya malu mengingatkan tentang harkat kemanusiaan yang selalu dan terus menerus berikhtiar untuk memilih yang benar dan menghindari kebohongan serta keburukan. Budaya cinta lingkungan memintakan tanggung jawab terhadap lingkungan sebagai sumber kehidupan manusia. Setiap penambahan pada barisan GDN menunjukkan suatu komitmen dan tanggung jawab setiap orang, sekaligus sebagai karakter hidup masyarakat setempat.

Tidak terlalu pagi lagi untuk menilai, apakah implementasi GDN dikatakan berhasil atau tidak sampai saat ini. Karena selain waktu yang lama menghidupinya, Indonesia juga sudah pada tahap intan kemerdekaan yang semestinya GDN menjadi karakter bangsa, walaupun mengandung kesempatan dan tantangan.

Tulisan ini mencoba mengangkat kembali amanat tersebut sebagai suatu keurgensian di tengah kehidupan manusia yang dilanda wabah Covid-19 dari kacamata wacana sosiologis, yakni konteks tata nilai. Tata nilai kita pahami sebagai seperangkat ide atau prinsip yang bermakna bagi kehidupan manusia.

Durkheim memahami disiplin sebagai unsur utama dalam moralitas. Katanya, disiplin adalah suatu kemampuan mengendalikan nafsu egoisme untuk melakukan kewajiban-kewajiban moral.

Dia mengartikan moral dalam tema utama kajiannya tentang masyarakat. Masyarakat tidak dilihat sebagai kumpulan individu, tetapi sebagai satu kesatuan kompleksitas moral. Moral merupakan basis, sumber perkembangan, dan pusat kendali masyarakat. Makna kehidupan dapat dihayati dan dikembangkan tatkala perilaku masyarakat merupakan kekuatan moral. Sumber dan kekuatan solidaritas masyarakat adalah moral. Apa saja yang mendorong manusia untuk bertanggung jawab terhadap sesamanya adalah moral. Dengan demikian, masyarakat sesungguhnya merupakan wahana dan wujud kehidupan moral.

Jika disiplin sebagai unsur utama moral, maka disiplin merupakan elemen penting dari fondasi masyarakat. Pada titik ini, secara khusus dalam situasi pandemik ini, GDN harus menjadi urgenitas pemerintah sebagai “alternatif solusi” tidak saja sebagai political will tetapi terutama sebagai representation of moral will dari masyarakat.

Tentu, gerakan moral ini merupakan cerminan rasa pertanggungjawaban terhadap masyarakat. Oleh karena, kata Durkheim lagi, negara adalah pusat organisasi dan kesadaran bersama masyarakat.

Sebenarnya, pandangan tersebut menunjukkan negara sebagai “aktor utama” dan ditempatkan pada posisi sentral yang memainkan peranan penentu dalam masyarakat.

Dengan demikian, GDN oleh pemerintah sebagai aparat negara merupakan pencerminan dari nurani bersama seluruh bangsa Indonesia. keprihatinan pemerintah terhadap masalah disiplin merupakan ekspresi dan kesadaran moral bangsa. Artinya, disiplin nasional haruslah merupakan gerakan yang mempresentasikan kesadaran dan kekuatan moral masyarakat bangsa Indonesia dalam menghadapi situasi sulit, pandemik ini.

Tentu, konsekuensi dari sudut pandang ini adalah negara dan aparatnya merupakan harus sebagai cermin dari kehidupan berdisiplin sebagai unsur utama dalam kehidupan moral bangsa, khusunya di tengah pandemik ini.

Di sinilah makna dari a clean government seperti yang dikehendaki oleh budaya bersih dalam canangan GDN Presiden Soeharto. Negara sebagai pusat terorganisasi dari kesadaran bersama masyarakat tidak saja dalam arti konsentrasi kekuasaan, tetapi terutama konsentrasi moral. Moral bukanlah subordinasi dari kekuasaan, melainkan justru sebaliknya moral merupakan pengendali implementasi kekuasaan.

Sesungguhnya, GDN merupakan suatu gerakan moral sebagai tuntutan nurani bersama bangsa Indonesia, karena masyarakat sebagai wahana dan wujud kehidupan moral berada di atas segalanya. Segala gerakan moral GDN akan direduksi nilainya, bila dijadikan alat untuk kepentingan kekuasaan atau sekadar tampilan formalitas kedinasan semata. Ia adalah cetusan nurani bersama.

Dalam artian demikian, maka tidak saja negara tetapi setiap lembaga, misalnya, lembaga agama, sosial, ekonomi, dan kelompok apa saja dalam masyarakat haruslah merupakan cerminan dari kehidupan moral bangsa. Dengan begitu, setiap lembaga atau klelompok memainkan peranannya dan benar-benar fungsional bagi masyarakat dalam kehidupan moral.

Memang benar bahwa implementasi GDN merupakan suatu proses yang membutuhkan waktu. Introduksi suatu nilai baru biasanya jatuh bangun dalam dua proses, yaitu internalisasi dan sosialisasi.

Internalisasi adalah proses pembatinan nilai-nilai kehidupan sebagai kewajiban moral setiap kelompok masyarakat dari yang paling kecil sebagai inti, yaitu keluarga sampai kepada yang paling besar sebagai sentra, yaitu negara. Endapan nilai yang berpola pada prilaku selanjutnya ditradisikan dan diajarkan dengan baik kepada generasi baru sebagai proses sosialisasi.

Tentu, dalam proses itu, ada bahaya yang perlu diwaspadai, yang disebut oleh Francis Abraham sebagai kepalsuan perubahan dan oleh Magnis Suseno dinamakan “budaya rekayasa”.

Francis Abraham menyatakan bahwa suatu perubahan tidak dapat dicangkokkan atau dipaksakan begitu saja, karena dapat dimanipulasi oleh berbagai kepentingan atau diterima dengan sikap acuh tak acuh dan dapat menghasilkan suatu masyarakat yang lebih doyan menunggu perintah. Misalnya, disiplin social distancing dan physical distancing dilakukan kalau dijaga petugas keamanan. Oleh karena itu, rekayasa disiplin sangatlah membutuhkan kesabaran dan kerja sama sosial.

Selanjutnya, Magnis Suseno mengingatkan tentang bahaya “budaya rekayasa” ialah tidak memiliki bobot budaya atau hampa makna karena tidak berakar dalam hati masyarakat. Misalnya, keruntuhan Uni-Sovyet. Peringatan ini penting untuk disimak karena proses formasi suatu unsur budaya baru semestinya terjadi dalam suasana kewajaran. Hanya dalam suasana kewajaran itulah suatu unsur budaya baru dapat bertumbuh sebagai suatu proses belajar sehingga dapat dihayati sebagai yang bermakna bagi seluruh masyarakat. Karena memang tata nilai sebagai unsur kebudayaan terbentuk atau diperoleh melalui proses belajar dalam kewajaran.

Kembali ke Pribadi

Kurang lebih 75 tahun bangsa Indonesia mengembangkan peradabannya di atas pilar-pilar utama Pancasila. Tidak dapat dimungkiri bahwa dalam rangka menuju kesejahteraan, peradaban berjalan tidak secara alamiah saja, tetapi dikembangkan dengan sengaja sejalan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dikendalikan oleh norma-norma yang berlaku.

Dalam sejarah peradaban bangsa Indonesia sebagai man made itulah maka refleksi (perenungan) terhadapnya merupakan suatu keniscayaan. Dalam prespektif demikian, maka pidato Presiden Soeharto tanggal 20 Mei 1995 tentang gerakan disiplin nasional (GDN) dapat dipahami sebagai wacana refleksi. Hikmah yang terkandung dalam wacana Presiden ke-2 RI itu adalah kebahagiaan kehidupan bangsa dialami dan terus-menerus dihayati karena memilih yang baik dan terus berikhtiar yang lebih baik lagi.

Namun, realitas menunjukkan bahwa wacana refleksi presiden tersebut masih masih jauh dari harapan. Hal ini tercermin dari seringnya terjadi pelanggaran terhadap norma yang berlaku. Sikap dan prilaku anggota masyarakat yang kurang patuh dan tidak tertib terhadap protokol kesehatan dan arahan pemerintah.

Keresahan terhadap ketidakpatuhan dan ketidaktertiban prilaku orang melawan disiplin social distancing dan physical distancing sangat dirasakan masyarakat, baik pada aras makro nasional maupun mikro regional, bahkan lokal.

Simpul-simpul prilaku ketidakdisiplinan tampak jelas dalam bentuk penciptaan keramaian di tempat-tempat umum, kesemrawutan lalu lintas, korupsi, kolusi, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan menyimpang ini tampaknya telah merupakan suguhan tak sedap yang mau tak mau harus dikecap masyarakat setiap hari, tanpa menyadari akibatnya. Berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik menunjukkan tiada hari tanpa kejahatan dan perbuatan-perbuatan tidak disiplin, bahkan amoral yang terjadi dalam masyarakat Indonesia di tengah pandemik Covid-19.

Sebagai bangsa yang berdasarkan Pancasila, ziarah peradaban bangsa Indonesia harus dihindarkan dari kemandegan. Oleh karena itu, diperlukan koreksi, yakni refungsionalisasi dan revitalisasi pilar-pilar moral yang merupakan rambu-rambu perilaku.

Dengan perkataan lain, timbangan bijak akal budi dan peranan suara hati yang jernih merupakan kendali perilaku setiap orang sebagai subjek yang disadari, dihayati, dan dihormati karena martabatnya sebagai manusia. Dengan demikian, tantangan apa pun, termasuk serangan covid-19 sekalipun akan dengan mudah dikendalikan dan diatasi dengan sukses. Mari kita berdisiplin.

*Pegiat Literasi dan Pendidik di Prodi PBSI UNIKA Santu Paulus Ruteng

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA