Kupang, Ekorantt.com – Staf peneliti bahasa daerah dari Balai Bahasa Provinsi NTT, Erwin Saputra Kembaren, menyebut, empat dari 72 bahasa daerah di provinsi itu, terancam punah.
“Keempat bahasa daerah itu dari Kabupaten Alor, seperti bahasa Sar di Pulau Pantar Timur, bahasa Nedabang di Pantar, Bahasa Reta di Pulau Pura, dan bahasa Beilel,” kata Erwin kepada Ekora NTT di Kantor Bahasa Provinsi NTT, di Kelurahan Naikoten, Kota Kupang, Jumat (20/03/2021).
Erwin menjelaskan, sesuai hasil penelitian LIPI, beberapa bahasa daerah yang terancam punah ini disebabkan oleh jumlah penutur yang sedikit.
“Khusus bahasa Beilel memang sangat terancam. Bahasa ini sudah tidak digunakan lagi dalam komunikasi sehari-hari. Penutur bahasa Beilel kini hanya tersisa 3 orang,” ujarnya.
“Kami masih melakukan penelitian terhadap bahasa Beilel berkaitan dengan kosa kata bahasanya,” tambah Erwin.
Menurutnya, potensi punahnya bahasa daerah di NTT sangat tinggi. Tak hanya bahasa daerah yang memiliki sedikit penutur, tetapi juga bahasa daerah yang memiliki jumlah penutur yang banyak.
“Tergantung konsistensi jumlah penutur dan situasi daerah tutur. Apakah semakin banyak pendatang dari suku atau bahasa lainnya, kawin campur dengan suku lain, dan orang tua yang tidak mewariskan bahasa ibunya terhadap anak-anaknya di rumah,” ungkap Erwin.
Ia menyebut, faktor lain yang menyebabkan bahasa daerah terancam punah yakni
kurangnya perhatian pemerintah daerah di NTT untuk melestarikan bahasa daerah sebagai bahasa ibu bagi masyarakat.
Padahal, kata dia, berdasarkan peraturan pemerintah, kelestarian kekayaan bahasa daerah merupakan tanggung jawab pemerintah daerah.
“Balai Bahasa sifatnya hanya menyokong,” ucapnya.
Menurutnya, akhir-akhir ini memang pemerintah daerah sudah mulai melihat pentingnya bahasa daerah sebagai refleksi nilai-nilai kearifan lokal dan ketahanan multikultural. Namun, di sisi lain, bahasa daerah yang menjadi bahasa ibu bagi suatu komunitas masyarakat sering dilupakan dan tidak diperhatikan karena belum memiliki pengaruh penting seperti perekonomian, kesehatan, dan lainya.
“Pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab untuk mendorong pemahaman masyarakat bahwa bahasa daerah itu penting, jadi harus tetap dipelajari dan diperhatikan,” ungkapnya.
Menurut Erwin, pemerintah daerah mesti menstimulasi penggunaan dan pengembangan bahasa daerah di tengah masyarakat dengan kegiatan-kegiatan lomba yang menggunakan bahasa daerah, membina komunitas-komunitas adat di daerah, dan merangkul LSM yang secara khusus menaruh perhatian kepada pengembangan bahasa daerah.
“Kalau menggunakan Tenun dalam satu hari sudah dibuat oleh Pemda. Kalau satu hari menggunakan bahasa Inggris sudah ada. Namun pada suatu daerah yang memiliki bahasa yang homogen, sudah adakah kebijakan untuk satu hari menggunakan bahasa daerah?,” tutupnya.