Kisah Kasih Avenita dan Kristoforus: Pasangan Difabel yang Usaha Pembalut di Labuan Bajo

Labuan Bajo, Ekorantt.com – Pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak bagi kesehatan, namun juga ekonomi dan sosial. Sejumlah masyarakat menghadapi tantangan hidup, seperti kehilangan separuh penghasilan, pekerjaan, bahkan terpaksa beralih profesi untuk bertahan hidup.

Kondisi ini juga dialami, Avenita Surya (37) dan Kristoforus Degal (44), pasangan difabel yang menetap di Golo Koe, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar). Mereka berusaha bertahan. Meski hasilnya pas-pasan.

Avenita warga Satar Mese, Kabupaten Manggarai. Sementara Kristoforus, warga Kuwus Manggarai Barat. Keduanya menjalin asmara saat mengenyam pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) di Ruteng, Manggarai. Kini mereka dikaruniai dua orang buah kasih.

“Kami pacaran dua tahun. Setelah itu kami putuskan untuk hidup bersama dan menikah. Dulu kami pernah di Ruteng kemudian pinda ke Labuan Bajo. Sejak 2016 kami menetap di Golo Koe,” katanya saat ditemui di Labuan Bajo belum lama ini.

Tiba di Labuan Bajo, ia kemudian bekerja sebagai tukang pijat. Namun, tidak bertahan lama. Usaha itu bangkrut. Dengan segala keterbatasan fisik, keduanya mulai banting setir untuk menyambung kebutuhan hidup.

“Puji Tuhan pada awal tahun 2020, Oma Bekti mendatangi kami dan menawari untuk bekerja di Rumah Pekerti. Kebetulan saya senang menjahit. Kalau suami saya dia bantu bekerja di tempat produksi. Jadi sampai sekarang kami sudah bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga,” katanya.

Setiap hari Avenita menghasilkan 20-25 pembalut setengah jadi. Lalu diantar ke tempat produksi untuk proses finishing. Pembalut yang ia dihasilakan dibeli dengan harga Rp.7.000 per pembalut.

“Kalau sebulan saya rejeki itu bisa dapat Rp.1.000.000 bahkan lebih. Uang itu selain untuk kebutuhan keluarga, saya harus beli kain dari Surabaya untuk buat pembalut,” ujarnya.

Ia mengaku bahagia bisa belajar di Rumah Pekerti, sebab dari pekerjaannya ia bisa membantu untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sang suami, Kristoforus, berujar, usaha apapun meski dikerjakan dengan tulus.

Ia bersyukur karena Tuhan masih diberi kesempatan untuk menikmati hidup. “Kami bersyukur karena Tuhan masih memberikan nafas kehidupan dan rahmat melalui orang-orang baik,” ucapnya.

Inisiator Rumah Pekerti, Margareta Subekti, menjelaskan, kelompok perfect fit (khusus untuk pembutan pembalut) beranggotakan 10 orang. Ada tujuh orang sebagai penjahit. Sementara tiga orang bekerja di bagian finishing. Kelompok ini khusus memproduksi pembalut. Pembalut yang sudah siap pakai dibanderol harga Rp100.000 per paket.

“Satu paket itu ada empat isinya. Bagi sebagian orang mungkin harga ini terlalu mahal tapi pemakaiannya akan berlangsung selama dua tahun,” jelasnya.

Ia menjelaskan, Rumah Pekerti merupakan sebuah kelompok industri rumahan khusus para ibu-ibu, korban KDRT, lansia, juga disabilitas yang berpusat di Golo Koe, Labuan Bajo.

Subekti mengatakan, untuk mempromosikan hasil karya dari Rumah Pekerti mereka bekerja bersama beberapa hotel di Labuan Bajo. Selain itu, juga memanfaatkan media sosial, faceboook, instagram, dan whatsapp. “Saya pikir dengan adanya media sosial kita cukup terbantu selama ini,” katanya.

Subekti mengaku, beberapa hasil olahan Rumah Pekerti dikirim keluar daerah. Sebab, para pembeli memesannya secara online. “Kita sering krim ke luar daerah,” katanya.

Meski di tengah situasi pandemi, ia optimis untuk terus mengembangkan usaha bersama para kelompok rentan di Rumah Pekerti. “Mimpi saya agar mereka bisa mandiri secara ekonomi,” pintanya.

Sandy Hayon

spot_img
TERKINI
BACA JUGA