Oleh: Gerardus Kuma Apeutung*
Manusia hidup dalam tiga lintasan waktu. Masa lalu. Masa kini. Dan masa depan. Masa lalu dikenal sebagai kenangan. Masa kini adalah kenyataan. Masa depan merupakan harapan.
Setiap orang yang menjalani hidup saat ini pasti telah melewati waktu lampau. Dan punya angan-angan akan masa yang akan datang. Dan orang yang telah melewati masa lampau tentu punya kenangan. Kenangan itu bersifat personal. Misalnya, kenangan akan masa kecil. Kenangan pada suatu peristiwa. Kenangan pada suatu tempat. Kenangan terhadap seseorang.
Setiap kenangan selalu mengendap dalam diri pribadi masing-masing orang. Orang boleh memilih untuk mengingat atau melupakan setiap kenangan. Tetapi itu tidak akan menghilangkan kenangan. Sebuah kenangan bisa ditutup oleh kenangan lain. Tetapi kenangan tidak akan terhapus dari memori.
Sebagaimana kata Ilham Gunawan, tidak ada yang dapat melenyapkan kenangan. Kita hanya bisa menimbunnya dengan kenangan baru yang lebih besar nilainya.
Kenangan tidak hanya sebatas ingatan. Di balik kenangan ada makna yang bisa digali. Di dalam kenangan ada pelajaran yang bisa ditimba. Dari kenangan ada nilai yang bisa diteguk. Melalui kenangan ada hikmah yang dapat dipetik.
Kenangan berisi ingatan akan hal-hal yang pernah dilakukan. Momen-momen yang pernah dilalui. Tempat-tempat yang pernah dikunjungi. Orang-orang yang pernah dijumpai.
Itulah sebabnya, kenangan selalu membangkitkan perasaan. Bila diingat, kenangan yang paling membahagiakan adalah saat kecil. Masa yang penuh kegembiaraan. Saat penuh kesenangan. Momen yang selalu diwarnai sukacita. Dan kenangan masa kecilku tiba-tiba menyeruak, tumpah menggenangi memoriku; ingatanku penuh dengan kisah masa kecil dulu setelah membaca kumpulan cerpen dalam buku “Penggali Sumur”.
Penggali Sumur adalah buku kumpulan cerpen karya Selo Lamatapo yang diterbitkan penerbit Ikan Paus Lamalera. Buku berisi 15 cerita pendek ini secara umum memotret kehidupan masyarakat desa. Mengangkat kisah orang-orang kecil. Melukiskan perjuangan orang-orang lemah.
Kelima belas cerpen Selo kental unsur lokalitas. Hal ini dapat dilihat dari latar dan tokoh cerita dalam cerpen-cerpen tersebut. Dari cerpen pertama Penggali Sumur hingga cerpen terakhir, Menunggu Maria berlatar kampung. Tokoh-tokoh dalam cerita juga merupakan orang-orang kampung; nama-nama seperti Kedaman, Olak, Banus, Kapitan, Ama Sili, Ola Nilo, Ina Peni, Ama Kopong, Ina Bengan, Nela Perada, Deran, Barek, dan lain-lain adalah nama orang kampung.
Sebagai orang kampung (lahir dan menghabiskan masa kecil di kampung dan kini tinggal di kampung), cerpen-cerpen Selo dalam Penggali Sumur memiliki kedekatan emosional dengan saya. Karena itu membaca karya Selo Lamatapo menghantar saya bernostalgia dengan masa kecil dahulu. Suasana kampung di masa itu seolah hidup kembali. Saya seperti dipanggil pulang ke kampung halaman Leuwayan, Kedang.
Mengingat masa kecil, saya serasa bertemu teman sepermainan dahulu. Mengenang kisah-kisah di kampung, saya seolah diantar ke tempat-tempat bermain kala itu. Benar kata penyair terkenal, Kahlil Gibran, ingatan adalah sebentuk pertemuan.
Pengali Sumur membangkitkan memori masa kecil saya akan satu hal: sumur. Sumur atau perigi merupakan sumber air yang digali dalam tanah. Di sumur manusia memenuhi kebutuhan hidupnya akan air. Sebagai sumber air, sumur adalah sumber kehidupan.
Di kampung kami yang terletak di bawah kaki gunung Uyelewun, di tepi pantai Utara pulau Lembata, terdapat tiga sumur kala itu (sekarang ada lima). Di sumur tersebut, semua kebutuhan akan air terpenuhi. Orang datang untuk mandi, mencuci, menimba air untuk kebutuhan di rumah.
Dengan adanya sumur, kebutuhan kami akan air terpenuhi.
Air adalah salah satu kebutuhan vital makhluk hidup. Aktivitas manusia seperti mandi, masak, minum, mencuci pakaian, kebutuhan rumah tangga, membutuhkan air. Hewan dan tumbuhan pun demikian. Membutuhkan air untuk kelangsungan hidupnya. Tanpa air tidak akan ada kehidupan.
Menurut Departemen Pekerjaan Umum, konsumsi air bersih setiap orang per hari adalah 126,9 liter. Namun jumlah kebutuhan air tersebut belum terpenuhi. Besarnya kebutuhan akan air tidak diimbangi dengan ketersediaan air yang cukup. Sumber air yang terbatas menyebabkan banyak orang kekurangan air.
Data Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2019 menunjukkan 2,2 miliar orang atau seperempat populasi dunia masih kekurangan air minum yang aman dikonsumsi. Sementara itu, 4,2 miliar orang tidak memiliki layanan sanitasi yang aman dan 3 miliar orang tidak memiliki fasilitas cuci tangan dasar.
Laporan Bappenas, ketersediaan air di sebagian besar wilayah pulau Jawa dan Bali saat ini sudah tergolong langka hingga kritis. Sementara itu, ketersediaan air di Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan diproyeksi akan menjadi langka atau kritis pada tahun 2045 (sumber: https://envihsa.fkm.ui.ac.id/2021/09/30/krisis-air-bersih/).
Kelangkaan air juga dialami masyarakat Lembata. Sebagian masyarakat Lembata kesulitan memenuhi kebutuhan hidup akan air. Wilayah yang mengalami krisis air bersih paling parah adalah Kedang dan Ile Ape. Di sini, cerita masyarakat yang berjalan berkilo-kilo meter mencari air untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah kisah klasik.
Untuk mengatasi kekurangan air ini, di Kedang masyarakat yang berada di pedalaman membangun bak penadah air hujan. Hampir setiap rumah memiliki bak untuk menampung air hujan. Sementara masyarakat di pesisir pantai menggali sumur. Tidak heran, banyak ditemukan sumur di wilayah pantai.
Sebagaimana kampung-kampung di pinggir pantai, sumur menjadi andalan di kampung kami. Sebagai sumber air, sumur di kampung kami tidak pernah sepi. Selalu ramai dikunjungi orang setiap hari. Dari pagi hingga malam selalu penuh dengan manusia. Baik orangtua maupun anak-anak. Bila orang tua datang ke sumur untuk menimba air, anak-anak menjadikan sumur arena bermain.
Selain masyarakat di kampung kami, sumur tersebut juga digunakan oleh masyarakat dari kampung lain. Orang yang bepergian jauh juga sering menyinggahi sumur tersebut. Sumur menjadi medan perjumpaan. Di sumur ada kebersamaan, persaudaraan, kegembiraan, sukacita. Di sumur ada gelak-tawa, dan canda-ria.
Inilah hakikat sumur yang digali oleh Selo. Bila Om Banus menggali sumur agar masyarakat menimba air darinya, Selo menggali “sumur” agar kita dapat menimba maknanya. Selo menulis “Keberadaan sumur tidak hanya memperpanjang hidup kami di musim kemaraun, tetapi menumbuhkan cinta, persaudaraan, keakraban, dan kebersamaan warga di kampung kami. Di sumur itu, kami menunggu giliran sambil bercerita, melepas penat kerja seharian, dan bergurau dalam suasana penuh keakraban. Siapa pun yang datang pasti menemukan cinta yang bahagia dan menyaksikan persatuan himpunan manusia yang tak membedakan suku, agama, dan ras di kolong langit ini” (hal.2).
Mengenang kembali kisah masa kecil di kampung dulu, saya merefleksikan bahwa pengalaman di masa kecil itulah yang membentuk pribadi saya saat ini dan menghantar saya hingga ke titik ini. Tanpa ada sumur di kampung, mungkin kami akan menderita kehausan.
Lebih dari itu, dari sumur, kami tidak hanya menimba air tetapi juga menjalin relasi kemanusiaan. Lewat perjumpaan dengan sesama di sumur, kami merayakan kegembiraan, menghidupkan suasana kekeluargaan, dan mempererat tali persaudaraan.
*Penulis adalah guru di SMPN 3 Wulanggitang, Flores Timur